oleh Samantha J.
Pandemi COVID-19 membuat pola hidup kita semua berubah drastis. Laju kehidupan yang serbacepat bahkan sempat melambat. Perubahan ini memberi kita kesempatan untuk mengamati hal-hal yang biasanya tidak kita sadari, salah satunya adalah ekologi. Virus yang merebak di seluruh dunia seolah merupakan panggilan Ibu Bumi pada kita, “anak-anak” yang terlampau larut dalam pencarian materi sehingga nyaris durhaka pada Sang Ibu yang telah memberikan kehidupan. Mungkin ini yang melatarbelakangi pemilihan tajuk “Bhumisodhana: Ekologi dan Bencana dalam Refleksi Kebudayaan Nusantara” sebagai tema Borobudur Writers & Cultural Festival 2020.
Bagian dari acara ini yang ingin saya ceritakan juga merupakan sesuatu yang biasanya luput dari perhatian saya dan jutaan wisatawan maupun pencari Dharma yang mengagumi relief di Candi Borobudur kebanggaan bangsa kita, yaitu webinar baca relief bertema “Relief Flora di Candi Borobudur” bersama Dr. Destario Metusala & Drs. Handaka Vijjananda, Apt. di hari kedua Borobudur Writers & Culture Festival (BWCF) 2020, tanggal 21 November lalu.
Dharma pohon – Flora dari sudut pandang Buddhis
Webinar dimulai dengan pemaparan dari Pak Handaka seputar pentingnya tumbuh-tumbuhan, khususnya pohon, dalam Buddhadharma. Berbagai peristiwa penting dalam riwayat hidup Buddha Shakyamuni seperti kelahiran Beliau, meditasi pertama, pencapaian penerangan sempurna, hingga parinirwana terjadi di bawah naungan pohon. Dalam ajaran Buddha, tanaman dianggap sebagai benda hidup yang bernafas meski tak memiliki kesadaran. Aturan dalam Winaya Pitaka pun melarang perusakan pohon.
Sang Buddha sendiri sangat sering memberikan pengajaran Dharma dengan kiasan tanaman atau pohon. Jadi, dalam Buddhadharma, pohon dan aneka tanaman lainnya bukan hanya sumber kehidupan, tapi juga sumber kebijaksanaan yang harus dihormati dan dipelihara dengan sepenuh hati.
Relief Candi Borobudur: Potret Kebijaksanaan, Potret Keanekaragaman
Webinar kemudian dilanjutkan oleh Dr. Destario yang menjelaskan hasil penelitiannya seputar flora dalam relief Candi Borobudur, khususnya bagian Sutra Lalitawistara yang menggambarkan riwayat Buddha Shakyamuni mulai dari kelahiran Beliau sebelumnya di alam dewa hingga pembabaran Dharma pertama kepada lima pertapa. Ternyata terdapat tidak kurang dari 84 spesies flora dapat ditemukan di relief Lalitawistara!
Setiap spesies tumbuhan ini diukir dengan sangat rinci dengan mengacu pada bentuk tanaman asli. Kerincian dan ketepatan inilah yang memungkinkan para peneliti mengidentifikasi setiap ukiran flora dengan cara yang kurang lebih sama dengan mengidentifikasi tanaman sungguhan di masa modern, baik dari bentuk batang, bentuk daun, jumlah dan arah tumbuh daun, buah, dan lain-lain. Bahkan tak hanya jenisnya yang beragam, setiap tanaman pun digambarkan dalam berbagai fase. Misalnya tanaman seroja digambarkan tidak hanya dalam bentuk mekar seperti yang umumnya ditemui, tapi juga dalam kondisi kelopak yang sudah gugur. Penempatan jenis tanaman juga menyesuaikan dengan adegan yang digambarkan. Pepohonan di adegan berlatar istana memiliki jenis yang berbeda dengan pepohonan di latar perkampungan rakyat jelata. Selain beberapa jenis flora yang secara khusus disebutkan dalam kitab Lalitawistara, dapat disimpulkan juga bahwa tumbuh-tumbuhan yang diukir dalam relief merupakan penggambaran yang cuku akurat mengenai keanekaragaman flora di Jawa kuno saat relief tersebut dibuat.
Keanekaragaman flora merupakan kekhasan yang bisa jadi hanya ada di relief Candi Borobudur. Banyak bangunan kuno lain yang memiliki relief yang tak kalah indah, misalnya Angkor Wat di Thailand, tapi flora yang ada dalam relief-relief tersebut hanya berfungsi sebagai dekorasi yang cenderung monoton karena hanya terdiri atas satu jenis. Dari temuan ini, Dr. Destario dan tim menyimpulkan bahwa leluhur kita yang membangun Candi Borobudur memandang keanekaragaman sebagai keindahan. Karena itulah mereka dengan telaten mengukir begitu banyak jenis flora dalam mahakarya yang menjadi persembahan tertinggi mereka kepada para Buddha sekaligus dana Dharma untuk semua orang yang kelak akan membaca relief-relief tersebut.
Persembahan Tertinggi, Kerja Sepenuh hati
Relief Candi Borobudur memang dapat disebut sebagai komik raksasa. Namun, relief ini bukan komik biasa. “Komik” di dinding Candi Borobudur merupakan penggambaran visual dari berbagai Sutra-Sutra Buddha yang mengandung kebijaksanaan adiluhung. Pak Handaka juga sempat memaparkan bahwa relief ini memungkinkan peziarah mancanegara memahami ajaran Buddha di Nusantara yang kala itu merupakan salah satu pusat Buddhadharma dunia tanpa terhalang tembok bahasa. Sesungguhnya sah-sah saja jika seniman-seniman pembuat relief ini hanya menggambarkan tanaman yang mudah dibuat berdasarkan ingatan, tapi mereka mengerahkan usaha ekstra dalam mengamati alam di sekitar mereka dan menangkapnya seakurat mungkin dalam bentuk ukiran batu tanpa kehilangan gaya artistik. Sebagai ilustrator amatir, saya pun merasa tertampar karena malas mencari referensi dan puas dengan template yang disediakan oleh aplikasi. Padahal mengamati detail alam bisa dilakukan dengan mudah tanpa perlu beranjak dari tempat duduk!
Para seniman relief Borobudur tentu tidak berpikir, “Ah, ukir seadanya saja, toh ndak ada yang ngerti,” melainkan dengan sepenuh hati membaktikan diri dalam mengukir dana tertinggi mereka yang berbentuk Dharma dalam bentuk rangkaian ukiran raksasa panel demi panel. Usaha tentu tidak mengkhianati hasil. Berkat kerja keras mereka, selain mendapatkan pengetahuan ilmiah seputar keanekaragaman flora di Jawa kuno, kita yang hidup di zaman modern yang serba instan dan miskin spiritualitas bisa mendapatkan inspirasi dari para seniman Jawa kuno untuk berkarya dengan sepenuh jiwa demi semua makhluk yang tak terhingga banyaknya.