oleh Shierlen Octavia
2 Maret 2020. Hari yang seharusnya tenang, damai, dan mungkin kita bayangkan akan berjalan seperti biasa. Siapa yang bermimpi bahwa di hari tersebut Presiden Jokowi mengumumkan bahwa virus corona sudah masuk ke Indonesia?
Terhitung hingga hari ini, sudah lebih dari satu bulan kasus COVID-19 (Coronavirus Disease – 2019) dinyatakan masuk ke Indonesia. Sejak bulan Januari, virus yang telah merebut perhatian masyarakat karena merenggut nyawa banyak orang di Kota Wuhan ini telah berubah menjadi pandemi. Pandemi ini kini seakan merampas banyak hal dari hidup kita, mulai dari pekerjaan, kebebasan, kesenangan, bahkan waktu berharga bersama sahabat dan keluarga tersayang bagi mereka yang terpaksa mengarantina diri. Seakan belum cukup menjadi masalah, penyebaran COVID-19 juga amat mengganggu ketenangan batin banyak orang sebab hal ini memicu rasa takut, gelisah, cemas, bahkan mungkin tak sedikit dari teman-teman kita yang kemudian menjadi depresi karenanya.
Pada masa-masa seperti ini, pasti ada saatnya kita mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada diri kita mengenai wabah ini: Mengapa semua ini harus terjadi padaku? Mengapa aku harus menjalani rutinitas seperti ini; tidak bisa jalan-jalan ke mall, nonton bioskop, bahkan mudik saja tidak boleh? Apa penyebab dari semua hal ini? Bagaimana bisa virus corona yang digadang-gadang disebabkan oleh negara lain malah mempengaruhi kehidupanku?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita butuh merenungkan sifat-sifat karma. Pertama, karma bersifat pasti; yang baik hanya akan membuahkan hasil baik, yang buruk hanya akan membuahkan hasil buruk. Segala ketidaknyamanan yang kita rasakan saat ini—tidak bisa keluar rumah, merasa takut dan gelisah bagi sebagian dari kita yang masih harus pulang pergi kantor, mengalami kenaikan harga barang bahkan kelangkaan barang—tak ayal terjadi karena perbuatan kita sendiri di masa lampau. Kita mungkin tidak eling mengenai seberapa banyak perbuatan buruk yang kita lakukan sehari-hari. Saat pertama kali mendengar berita corona yang terjadi di Wuhan, seberapa banyak dari kita yang melontarkan guyonan kasar dan sumpah serapah terhadap negara Cina? Pernahkah terpikir bagaimana perasaan mereka? Dulu, sebelum ada wabah ini, seberapa sering kita bersikap pelit terhadap orang lain yang membutuhkan bantuan kita? Pernahkah kita mencoba memposisikan diri kita seperti mereka? Kemudian, berapa banyak dari kita yang menyiksa kecoa yang sudah kita anggap layaknya musuh bebuyutan kita dengan berbagai metode sebelum membunuhnya? Pernahkah kita membayangkan seberapa takutnya ia ketika kita melakukan hal tersebut? Perbuatan-perbuatan semacam itulah yang menyebabkan kita saat ini dipenuhi kecemasan akan kesehatan kita, kesehatan orang yang disayang, akan hari esok, akan banyak sekali hal lain yang mendadak berubah karena virus corona. Kita butuh sadar bahwa dunia tempat kita tinggal tidak sedang dalam keadaan baik. Berbagai jalan karma hitam pastinya telah kita lakukan. Yang lebih parahnya, kita dan banyak orang lainnya di dunia melupakan hal sepenting kepastian karma. Tak heran bila saat ini, kita tertimpa musibah besar.
Kedua, karma berkembang pesat. Hal-hal buruk yang kita anggap remeh dan tidak mungkin menyakiti kita ternyata benar-benar mengkhianati kita. Sebatang pohon mangga yang besar, kokoh, memiliki banyak ranting dan cabang, tidak datang dari sesuatu yang besar. Ia datang dari biji mangga yang amat kecil, yang disirami terus menerus. Sama halnya dengan karma, setitik karma buruk yang telah kita perbuat akan berkumpul menjadi besar sebagaimana setetes demi setetes air memenuhi ember. Sebagai buah dari hal-hal “sepele” yang kita perbuat; senang akan musibah yang menimpa orang lain akan menuntun kita menuju rasa senang yang lebih besar lagi ketika musibah yang lebih hebat menimpa orang tersebut. Melakukan hal-hal buruk sedikit demi sedikit akan membentuk kebiasaan kita hingga kita tidak perlu lagi dengan sengaja melakukan perbuatan buruk. Akibatnya, kita menjadi orang yang amat pencemas ketika musibah terjadi pada diri kita. Inilah mengapa, tanpa kita sadari, hal buruk yang kita rasa tidak akan membawa kita pada bencana, nyatanya menghadapkan kita pada pandemi yang harus kita tanggung bersama.
Ketiga, kita perlu memahami bahwasanya tidak ada asap tanpa api. Sebagaimana dijelaskan oleh Buddha dan guru-guru besar lainnya, tidak mungkin karma bisa berbuah tanpa penyebab. Contoh mudah bagi kita memahami hal ini adalah: bagaimana mungkin kita bisa mendapatkan uang kalau kita tidak bekerja? Bahkan Buddha yang sudah mengulurkan tangan pun tak akan bisa membantu jikalau kita tidak bertindak dengan menyambut uluran tangan tersebut. Sama halnya dengan wabah COVID-19, peristiwa ini tak mungkin terjadi begitu saja lalu mempengaruhi kehidupan kita. Setelah merenungkan dua poin sebelumnya, pastilah kita telah melakukan penyebab-penyebab timbulnya virus tersebut, dengan lengkap dan mungkin tanpa cacat, hingga kita harus mengalami ketidaknyamanan di masa kini.
Keempat, karma tidak akan kehilangan kekuatannya untuk berbuah. Karma yang kita ciptakan tahu betul siapa tuannya. Ia tidak akan mencari tetanggamu atau pacarmu untuk berbuah. Jika tak ada hal tertentu yang kita perbuat, ketika tiba waktunya bagi karma untuk berbuah, ia akan tetap berbuah, bahkan jika ia butuh beribu-ribu kalpa untuk berbuah. Oleh karenanya, meskipun kita tidak merasa melakukan perbuatan buruk di kehidupan saat ini, kita tidak tahu perbuatan buruk apa yang telah kita lakukan di kehidupan sebelumnya. Buktinya adalah kehidupan kita saat ini di samsara dan penderitaan yang harus kita alami karena virus ini.
Selain 4 sifat karma tersebut, penting bagi kita untuk merenungkan ajaran Buddha mengenai ‘kesalingbergantungan’. Tidak ada satu pun hal di dunia ini yang terkondisi yang mampu berdiri sendiri. Semua hal eksis karena hubungannya dengan hal lain. Entah kita sadari atau tidak, kita hidup saling bergantung di dunia yang terus menerus berubah ini. Virus corona mengajak kita untuk menyadari bahwa masing-masing dari kita sesungguhnya tak hanya mempengaruhi kehidupan kita pribadi saja, tetapi juga hajat hidup orang lain. Kita bisa melihat bahwa dampak dari keputusan seorang presiden, bisa begitu mempengaruhi kehidupan orang banyak. Keputusan kita seorang untuk mematuhi atau tidak mematuhi peraturan mengenai pencegahan COVID-19, akan mempengaruhi angka penyebaran virus di negara kita. Keserakahan kita untuk menimbun masker dan hand sanitizer, akan membahayakan lebih banyak lapisan masyarakat. Oleh karena itu, menjawab pertanyaan di awal, kemalangan yang kita alami saat ini terjadi karena perbuatan kita bersama di masa lampau.
Biarpun terdengar keji, karma sesungguhnya bersifat sangat adil pada setiap makhluk. Memahami sifat-sifat tersebut secara tidak langsung juga mengajarkan kita bahwa setiap usaha kita akan dihargai oleh si ‘karma’. Artinya, hanya jika kita berbuat sesuatu terhadap bibit karma yang telah kita tanamlah buah karma buruk yang lebih besar lagi bisa kita hentikan. Meskipun ada kalanya kita berbuat buruk karena kecerobohan kita, kita tetap dapat berbuat sesuatu untuk menghentikan atau memperlemah akibat dari karma tersebut. Oleh karena itu, wabah ini pun dapat terhenti jika kita melakukan usaha terhadapnya.
Hanya dengan mempraktikkan 4 cara yang tepatlah kita dapat mempurifikasi karma buruk yang telah kita lakukan hingga menimbulkan bencana ini. Pertama adalah membangkitkan rasa penyesalan. Penyesalan yang dimaksud adalah penyesalan yang ditujukan pada karma buruk yang telah kita perbuat. Setelah kita merenungkan kembali penyebab keresahan yang kita rasakan sekarang karena takut tertular virus, misalnya karena sebelumnya kita pernah dengan sengaja menakut-nakuti orang lain, kita harus menumbuhkan rasa penyesalan tulus setelah berbuat demikian. Agar bisa menimbulkan rasa tersebut, kita perlu memeditasikan konsekuensi negatif yang ditimbulkan karenanya; bayangkan bagaimana perasaan tidak nyaman yang kita rasakan saat ini amat mengganggu karena kita pernah melakukan hal itu sebelumnya. Betapa bodohnya aku menyebabkan penderitaan bagiku sendiri?
Sama halnya dengan kita yang akan mencari penawar ketika memakan racun, kita juga harus mencari cara untuk ‘menawar’ karma buruk yang sudah terlanjur dilakukan. Cara yang kedua ini, yakni menerapkan penawar, dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan merenungkan Dharma, melafalkan sutra dan mantra, membuat persembahan kepada para Buddha, atau melakukan praktik purifikasi terhadap 35 Buddha. Jika hal ini terdengar asing bagi kita, ingatlah sifat dasar dari aktivitas-aktivitas Buddha yang terdiri dari kebijaksanaan, welas asih, dan kekuatan, serta bagaimana Buddha selalu bekerja untuk semua makhluk. Oeh karena itu, menggantungkan diri terhadap praktik-praktik tersebut menghasilkan kebajikan yang besar. Usaha yang kita lakukan dalam menerapkan penawar tersebut merupakan aktivitas ketika kita menyambut uluran tangan Buddha yang selama ini kita abaikan dengan berbuat buruk.
Meskipun demikian, menyesal dan memohon pertolongan Buddha saja belum cukup untuk mempurifikasi karma buruk yang kita lakukan. Cara ketiga, yaitu bertekad tidak mengulangi dengan melakukan hal yang sebaliknya, adalah poin penting yang juga harus kita lakukan. Rasa penyesalan yang telah kita bangkitkan tidak memberi hasil maksimal jikalau kita melakukan perbuatan buruk tersebut kembali di kemudian hari. Dikatakan pula, baru ketika kita melakukan perbuatan yang sebaliknya dari perbuatan buruk tersebut, penyesalan benar-benar terbentuk. Jika selama ini kita sering menakut-nakuti orang lain, berpalinglah dari perbuatan tersebut dan kini berikanlah banyak penghiburan bagi orang lain. Alih-alih membunuh serangga-serangga yang kita benci, bantulah mereka menemukan jalan keluar dari rumahmu.
Keempat, kita harus senantiasa ingat untuk berlindung kepada Triratna. Memperteguh keyakinan terhadap Triratna akan semakin meyakinkan kita pula untuk melakukan aktivitas purifikasi, berikut menghindari sebab-sebab buruk lainnya yang mungkin akan mengarahkan kita pada bencana lainnya. Tanamkanlah dalam hati kita bahwa Buddha hidup dan mampu melindungi kita dari bahaya yang mengancam. Dharma sebagai jalan yang ditunjukkan Buddha, memberikan kita penerangan untuk melakukan aktivitas bajik agar kita bisa tetap bahagia dalam kondisi sulit seperti kini dan menciptakan lebih banyak kondisi yang membahagiakan di masa mendatang. Kemudian yakinlah bahwa Sangha sebagai sahabat sejati, adalah mereka yang memiliki aspirasi yang sama denganmu dalam mengembangkan kebajikan dan mempurifikasi ketidakbajikan, yang akan menjadi pembimbingmu untuk selalu mengingat Buddha dan Dharma.
Terakhir, kembangkanlah bodhicita; semangat untuk membantu semua makhluk dalam mencapai Kebuddhaan. Secara konkret, bantulah mereka yang saat ini juga tengah berada dalam masa sulit karena wabah COVID-19, sesederhana mendanakan sedikit dari yang kita punya kepada para pedagang yang tidak bisa mencari nafkah dengan niat membebaskannya dari penderitaan sementara. Sebab hal ini sungguh merupakan sebuah latihan yang amat berharga dalam mempurifikasi ketidakbajikan. Kemudian, doakanlah mereka yang bahkan di tengah krisis seperti ini pun masih harus tetap berjuang untuk merawat pasien tanpa mempedulikan keselamatan mereka sendiri. Mungkin kita berpikir bahwa tak banyak hal yang bisa kita lakukan perihal ini, namun ingatlah kesalingbergantungan yang telah Buddha babarkan. Dengan melakukan peran kita sebaik mungkin, berusaha sekecil apapun itu untuk kepentingan banyak orang, perbuatan kita akan berpengaruh layaknya riak menggerakkan air di sekelilingnya.
Sebagaimanapun buruknya hal yang saat ini mesti kita hadapi, monster bernama corona yang terus menjadi momok selama beberapa bulan ini juga memberikan banyak hal baik bagi kita. COVID-19 tidak hanya memberikan tamparan bagi kita untuk senantiasa merenungkan Dharma, namun juga menata ulang batin kita, membuat kita lebih menyadari hal-hal yang sepatutnya kita lakukan. COVID-19 juga mengajarkan bahwa apapun yang diri kita—sesuatu yang kecil di tengah hamparan manusia yang amat banyak—ini lakukan akan berdampak bagi diri sendiri dan orang lain. Hal ini merupakan sebuah kabar baik sebab ini artinya perbuatan bajik apapun yang kita usahakan akan berdampak pada hal yang bajik pula. Selama setiap dari kita berusaha mengembangkan hati yang baik, mempertahankan sila dengan baik, dan secara aktif melakukan perbuatan bajik, yakinlah bahwa badai hebat yang saat ini kita hadapi pun akan berlalu. Lalu, hal-hal baik akan datang menjemputmu dan banyak orang di dunia.
Referensi:
- “Karma dan Akibatnya” oleh Guru Dagpo Rinpoche
- “Jika Hidupku Tinggal Sehari” oleh Guru Dagpo Rinpoche
- “Steps on The Path to Enlightenment” oleh Geshe Lhundup Sopa