oleh Chatresa7
Rasa takut yang tak terkendali akan membimbing kita ke kemarahan, lalu ke kebencian, dan akhirnya penderitaan-Master Yoda
Ketika kita membahas Saga Star Wars, ada satu ikatan yang sangat kental dan tidak bisa dilepas dari film, yaitu bertumpu pada guru. Baik anda seorang Jedi ataupun Sith dalam film, semuanya menekankan bertumpu pada ‘guru spiritual/ mereka masing-masing. Bahkan Master Yoda pernah mengatakan dalam episode pertama bahwa jika ikatan itu sudah terbentuk maka tidak bisa diganti begitu saja di tengah jalan.
Film ini dimulai pertama kali sejak tahun 1977, dan yang terbaru dirilis atau episode ke-9 sedang diputar di bioskop Indonesia baru-baru ini. Namun, yang ingin saya garis bawahi dan bahas dalam artikel kali ini bukanlah keseluruhan saga film ini, dan bukan juga bayi Yoda dari seri spin-off yang akhir-akhir ini viral karena keimutan dan kepolosannya. Sesuai judulnya, saya akan mencoba membawa pembaca merasuki pikiran seorang Kylo Ren, tokoh kunci dalam Episode VII-IX yang mengisi sejarah panjang Saga Star Wars dalam beberapa tahun terakhir. Janji saya tidak akan ada spoiler dalam artikel ini walaupun saya sudah menontonnya demi penyelesaian artikel ini.
Kylo Ren
Sosok ini sejak awal memang sudah terbebani dengan status keluarganya. Ayahnya seorang pahlawan perang besar, ibunya jenderal besar, pamannya adalah seorang Jedi legendaris, dan kakeknya adalah tokoh yang memiliki kemampuan pengendalian Force lebih hebat atau sebanding dengan tokoh-tokoh legendaris. Bisa dibilang status sosial keluarga yang terlalu besar membebani masa kecil Kylo Ren.
Sosok Kylo Ren ini sebenarnya sosok yang sangat butuh kasih sayang. Namun, di sisi lain, dia merasa kasih sayang itu justru membuatnya semakin lemah. Dia membunuh ayahnya sendiri untuk membuktikan bahwa dia sudah meninggalkan welas asih dan mantap pada jalan yang dia jalani saat itu. Namun, hal tersebut justru membuat rasa takut dan frustasi dalam hati kecilnya makin besar. Dia pun memilih untuk menutupinya dengan mencari ambisi dan kekuatan besar, ambisi yang saat itu hampir dipenuhi oleh kakeknya Sang Darth Vader, yaitu menguasai galaksi dan menjadi pemilik Force terbesar dalam seluruh galaksi.
Sepanjang dua film Star Wars dengan Kylo Ren, kita akan disuguhi pada sosok yang selalu lari dari ketakutan terdalamnya. Kylo Ren selalu memilih fokus kepada ambisinya untuk mendapatkan kekuatan daripada menghadapi ketakutan di dalam dirinya. Akhirnya ketakutan tersebut merubahnya menjadi konflik batin yang tak terselesaikan. Dia sebenarnya lelah akan konflik batin tersebut, tapi tidak tahu harus bagaimana keluar dari konflik batin itu. Pada masa seperti inilah dia membutuhkan sosok pembimbing atau guru yang tepat.
Bertumpu Pada Guru
Dalam sebagian besar hidup kita, ego yang besar dan rasa sombong kita selalu menutupi ketakutan kita terhadap konflik batin, sama seperti Kylo Ren. Alih-alih kita memutuskan untuk menghadapi dan menyelesaikan konflik ini, kita malah mencari kebahagiaan sesaat atau pengalihan perhatian sesaat untuk mengatasinya. Hal ini tentu tidak akan pernah menyelesaikan konflik batin kita.
Pada masa-masa konflik batin seperti inilah kita baru merasa pentingnya peran guru spiritual. Apakah memiliki guru spiritual menjamin konflik kita terselesaikan? Tentu saja tidak dan bukan begitu ceritanya. Dalam Saga Star Wars banyak diceritakan bagaimana seorang Jedi dilatih agar mampu hadapi setiap konflik batin dan ketakutan yang dia punya. Lalu, apa peran Guru spiritual ini baik dalam film maupun dalam kehidupan sehari-hari kita? Peran mereka sama, yaitu mereka menunjukkan jalan menuju ketenangan batin dan kebahagian, dan hanya sebatas itu, karena diri kita sendiri yang harus menapaki jalan tersebut.
Kenapa guru spiritual tidak pernah membantu langsung dengan mengambil masalah-masalah kita? Pertamam mereka bukan pesulap yang bisa menyulap habis masalah kita, dan kedua, disinilah letak kebijaksanaan dan welas asih mereka. Guru spiritual ingin agar kita mampu berkembang dalam setiap masalah yang kita hadapi. Dengan menghadapi masalah, kapasitas kita akan meningkat. Luke Skywalker pun dalam film juga tidak pernah membantu Rey maupun Kylo Ren langsung dengan mengambil masalah mereka, tapi Beliau memutuskan untuk mengamati dan hanya memberi petunjuk. Jalan apa yang mereka tempuh sepenuhnya menjadi keputusan mereka sendiri. Hanya inilah satu-satunya cara agar murid mampu berkembang sepenuhnya.
Lalu mari kita berandai-andai, apakah Ren bertumpu pada mahaguru Lamrim mampu memberi jaminan bagi Kylo Ren untuk meraih kebahagiaan dan pembebasan dari konflik batin yang dia hadapi dalam film? Untuk menjawabnya saya akan mengutip dari buku “Lakon Hidung Sang Penerang” karya Shantidewa:
“Setelah merenungkan hal ini,
aku akan berupaya mengamalkan ajaran sebagaimana telah dijelaskan,
karena, bagaimana seseorang bisa sembuh dari sakitnya jika ia tidak mematuhi nasihat tabib yang merawatnya?”
Hal ini serupa dengan nasehat Guru Yoda pada Luke ketika dalam pelatihannya: “Lakukan sepenuhnya atau jangan sama sekali, tidak ada yang namanya coba-coba!”. Intinya, semua kembali kepada sosok Kylo Ren itu sendiri, apakah dia mau mengamalkan nasihat ajaran Lamrim dari sang guru atau tidak.
Satu hal jaminan yang bisa saya berikan. Ketika Kylo Ren bertumpu pada mahaguru Lamrim, maka saya yakin sepenuhnya mahaguru tersebut tidak akan gegabah sampai konfrontasi langsung dengan Kylo Ren yang masih berlatih sehingga alur trilogi akhir Star Wars tentunya akan berbeda.
May The Force Be With You untuk para pembaca!