Tindakan terakhir Luke telah mempertegas tema-tema Buddhisme dalam saga Skywalker.
Pada titik dua jam dan delapan menit penayangan The Last Jedi, Luke Skywalker (Mark Hamill) memproyeksikan avatar dirinya dari satu sudut galaksi ke sudut lainnya untuk berhadapan dengan Kylo Ren (Adam Driver) dan menyelamatkan kelompok Resistance. Aku menonton film ini di bioskop dua kali. Sekali di Mumbai, dan sekali di New Delhi, ribuan mil jauhnya. Pemandangan Luke yang duduk bersila, melayang di udara, larut dalam pertapaan mendalam, selalu disambut dengan tepuk tangan menggelegar. Adegan ini tak hanya memamerkan siasat cerdas bagi para penggemar sihir Force; bagi para penonton di dunia timur, pemandangan sang Jedi melayang sambil duduk bersila di atas bukit membangkitkan imaji Siddharta Gautama, Sang Buddha Pertama, yang telah terpatri dalam arca dan tergambar dalam lukisan selama berabad-abad.
Penampakan klimaks Luke, terhanyut dalam pertapaan intens di Ahch-To (lokasi pengasingan dirinya, tempat dia menjalani kehidupan bebas dari keduniawian serupa biksu Buddhis) mengambil ruang yang biasanya diisi oleh “adegan koboi” standar, sebuah teknik pengambilan gambar dari sudut yang menangkap subyek dari paha ke atas untuk menunjukkan para tokoh meraih senjata mereka dari sabuk. Teknik ini telah dipakai dalam Star Wars sebelumnya. Secara otomatis, kebanyakan penonton barat mengerti apa maksudnya setiap kali gambar dibingkai dengan sudut seperti ini, apalagi diikuti dengan pergerakan kamera mendekat sebagai penekanan (seperti yang dilakukan pada Rey ketika dia pertama kali mengayun senjatanya dalam The Force Awakens). Adegan ini pasti akan diikuti oleh adegan aksi heroik; sebuah singkatan visual yang telah akrab dan membangkitkan insting seperti halnya klise lainnya yang membentuk sebuah genre. Namun, dalam The Last Jedi, selagi kamera mendekat ke Luke, sinyal yang mengarah pada klimaks adalah sesuatu yang jauh lebih akrab bagi penonton di Asia Tenggara dan Selatan. Bagiku, adegan yang terbangkitkan adalah arca Buddha raksasa di Gua Ananta, satu dari sekian biara Buddhis yang diukir di batuan pegunungan yang jejak sejarahnya dapat dilacak hingga abad ke-2 Sebelum Masehi.
Imaji Buddha yang duduk bersila dalam pertapaan adalah imaji yang paling umum untuk menggambarkan seorang biksu mencapai nirwana, sebuah bentuk pemahaman spiritual mendalam dalam agama-agama Asia Selatan seperti Hindu, Jaina, dan Buddha. Yang terakhir, kini agama terbesar keempat di dunia, dipercayai terbentuk pada abad V SM oleh Siddharta Gautama. Siddharta, menurut kebanyakan sejarawan, meninggalkan kehidupan materi sebelum memulai perjalanan untuk belajar dan mengajar seumur hidupnya; detil-detil kecil lebih sulit diverifikasi kebenarannya, meskipun kebanyakan penulis biografi menuliskan tempat lahirnya sebagai Lumbini — sekarang Nepal. Dalam tradisi Buddhisme yang lahir di abad-abad berikutnya, nirwana (atau “pemunahan hakiki/pencapaian puncak”) menjadi salah satu prinsip inti Buddhisme, sebuah kesempatan lepas dari tumimbal lahir. Nirwana dapat dicapai melalui pemahaman mendalam, membantu sesama, dan kehidupan tentram tanpa hasrat.
Terlepas dari pilar-pilar politik dan estetikanya, filosofi serial Star Wars sebelumnya selalu merupakan campuran beragam ide-ide ketimuran, mengaduk Taoisme, Buddhisme, dan Zen jadi satu. Dalam film pertama serial ini, kepercayaan para Jedi terhadap Force serta sisi ‘gelap’ dan ‘terang’ yang dikandungnya mencerminkan konsep Tao mengenai Qi (atau Ch’i, “energi kehidupan”) dan dualisme yin-yang. Tak lama setelahnya [i]The Empire Strikes Back[/i], melalui karakter seperti Master Yoda (Frank Oz), menguatkan konsep bahwa penggunaan Force tak ubahnya Zen — atau setidak-tidaknya, versi sederhana Buddhisme Zen yang telah menarik perhatian penyair Beat semacam Allen Ginsberg dan Jack Kerouac dan menyeruak ke barat dalam semangat dekade ’50-’60an. Di Barat, istilah “Zen” telah membentuk artian “keadaan tenang penuh perhatian”, dan dalam keadaan ini “segala tindakan yang dilakukan diarahkan oleh intuisi”, persis seperti ajaran Force yang diterima Luke. “Bagaimana aku bisa memisahkan baik dan buruk?” tanya Luke, yang dijawab Yoda dengan, “Engkau akan mengerti ketika mencapai ketenangan, kedamaian. Pasif.”
Namun, perilaku Jedi yang bertolak belakang dari prinsip ini terlihat dalam Return of the Jedi ketika Obi-Wan bersikeras bahwa untuk mengalahkan Sang Kaisar Luke harus memberantas Darth Vader melalui dominansi fisik. Tindakan ini mengharuskan Luke untuk menjauhkan dirinya secara emosional dari ayahnya sendiri sekaligus melanggar ajaran Yoda padanya. “Seorang Jedi menggunakan Force untuk pengetahuan dan pertahanan diri,” sebut Yoda, “bukan untuk menyerang.” Di akhir film, Luke menolak kedua sisi ekstrem Force, tidak memercayai kebencian buta Sisi Gelap maupun mengikuti dogma hampa Jedi yang juga akan membawanya pada kekerasan. Setelah memukuli Darth Vader dalam kemarahan yang memuncak, Luke membuang lightsaber miliknya dan menawarkan pengampunan pada lawannya.
Dalam The Last Jedi, Luke telah memutus hubungannya dengan Force setelah gagal menghilangkan kegelapan dalam diri keponakannya Ben Solo. Dalam kilas balik, kita melihat Luke sekali lagi tergoda sesaat oleh kedua sisi mata uang: potensi berdarah dalam dirinya yang dapat ditarik oleh Sisi Gelap, dan panggilan dogmatik para Jedi ke kehidupan monastik tanpa-ikatan untuk memusnahkan kejahatan. Dalam titik ini, seperti saat Luke hampir membunuh Darth Vader, baik Sisi Gelap maupun jalan para Jedi seolah sama saja. Luke membayangkan (dan hampir sungguh-sungguh) membunuh Ben. Dia tidak jadi melakukannya, namun sudah terlambat: Ben yang merasa terkhianati, ditolak dari pengampunan oleh pamannya sendiri, telah menapaki jalan kegelapan dengan kakinya sendiri. Kedua kalinya seorang Skywalker menjadi penjahat akibat fanatisme Jedi.
“Sungguh guru terbaik, kegagalan,” kata Yoda pada Luke, membawanya kembali ke jalan yang benar. Walau penampilan secara langsung di pertempuran Crait tentu juga dapat memenuhi tuntutan plot, cara Luke hadir, bertarung dengan Ben (kini Kylo Ren), kemudian mati, menutup kisahnya dengan tematik. Luke tidak menggunakan Force untuk “melenggang dengan pedang laser dan menghadapi keseluruhan First Order,” seperti kelakarnya di awal film, namun sebagai bentuk penyatuan spiritual, seperti halnya Force hadir bagi Kylo dan murid baru Luke, Rey (Daisy Ridley). Meski Rian Johnson mendapatkan ide “proyeksi astral” dari buku referensi Star Wars The Jedi Path: A Manual for Students of the Force, proyeksi astral sebagai konsep spiritual telah lama ada dalam kitab-kitab Buddhis. Dalam Samannaphala Sutta, atau “Buah-buah Kehidupan Perenungan,” sang Buddha berkata:
“Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, terang, tak bercacat dan tak bercela, luwes, elastis, teguh dan tak tergoncang, sang biksu dapat mengarahkan dan mengaturnya untuk mewujudkan sebentuk ‘tubuh ciptaan batin’. …Ia menjadikan dirinya terlihat atau tidak dapat dilihat, Ia berjalan menembusi dinding, benteng, dan pegunungan tak ubahnya menembus udara. Dia menyelam keluar-masuk muka bumi selayaknya air. Dia berjalan di permukaan air tanpa tenggelam, tak ubahnya tanah kering. Dengan duduk bersila dia melayang-layang di udara selayaknya burung bersayap.”
Perpindahan adegan dalam The Last Jedi, antara duel panas dan Luke yang duduk bersila dalam pertapaan menyiratkan pencapaian pengertian hakiki, pembebasan pikiran. Konsep Nirwana terkait dengan konsep Buddhis inti tentang pembebasan dari tumimbal lahir dan pencapaian [i]moksa[/i], yakni pembebasan dari derita; penderitaan Luke, sepertinya, adalah rasa bersalah dari kegagalannya. Dalam Buddhisme, untuk mencapai tingkat moksa ini, seseorang mesti melalui tahapan-tahapan yang dilalui Luke — dari ceto-vimutti, tahapan hidup sederhana tanpa hasrat, ke pañña-vimutti, pelepasan dari penderitaan fisik melalui wipashyana atau pertapaan. Istilah Nirwana secara harafiah berarti “pemadaman”, seperti pada lilin. Sementara Luke menyambut kematiannya, dilatari cakrawala bermandi cahaya mentari, energi kehidupannya perlahan memudar bak api meredup.
Pencerahan Luke dan penolakannya atas dogma para Jedi pun cocok sekali untuk menggambarkan jarak antara dua sekte besar dalam Buddhisme: Therawada, Aliran Para Tetua, dan Mahayana, atau Kendaraan Besar.Therawada, bentuk Buddhisme paling tua dan ortodoks, mengajarkan bahwa jalan menuju Nirwana hanya dapat diperoleh melalui perjuangan keras para biksu terpilih yang dapat hidup dalam aturan-aturan monastik yang ketat. Pencerahan pribadi mereka diprioritaskan di atas membantu sesama. Sebaliknya, Mahayana yang lahir sekitar abad 1 Sebelum Masehi, memperkenalkan ajaran baru yang lebih longgar yang dianggap tidak otentik oleh banyak pemeluk Therawada. Ajaran ini memberikan kesempatan bagi umat awam untuk menjalani tahapan pencerahan dan memberi lebih banyak tekanan pada pemberian bantuan bagi sesama yang berada dalam kesulitan meski harus mengorbankan kesempatan diri sendiri untuk mencapai Nirwana lebih awal. (Kebetulan, Mahayana juga merupakan asal muasal Buddhisme Zen).
Jurang pembeda ini terlihat pula dalam paradigma yang ditawarkan film-film Star Wars baru yang mengedepankan tegangan antara warisan pertalian darah yang kaku—dari Vader hingga Kylo Ren—dan kedatangan Rey sang pendatang baru yang juga menggunakan Force dan menggoyahkan struktur yang telah baku.
Rey juga merupakan juru kunci dalam imaji Buddhisme yang digunakan dalam serial ini. Titik pencerahan pribadinya yang datang saat mencari identitas orang tuanya di gua Ahch-To tercapai ketika dia menatap barisan cermin tak berhingga. Dalam beberapa sekte Buddhisme, cermin dianggap obyek yang memantulkan kondisi spiritual; Master Zen abad ke-17, Hakuin Ekaku, menganggap cermin memberikan bayangan palsu atau ilusi atas realita. Begitulah, “kebenaran” yang dicari Rey dalam cermin-cermin ini awalnya hadir sebagai sebentuk ilusi — dua siluet manusia, mungkin orang tuanya, berjalan ke arahnya — sebelum berubah menjadi pantulan dunia apa adanya. Dalam melihat kedua bayangan ini menyatu dengan pantulan dirinya sendiri, Rey, sang gadis yang tumbuh besar dengan mandiri di Jakku, mulai menerima bahwa bukanlah bayangan orang tua yang dia harapkan, sosok panutan seperti Luke dan Han yang dia jadikan sandaran, atau Kylo Ren yang sempat menggodanya yang akan menunjukkan jalan baginya. Jalannya adalah sesuatu yang dia bentuk sendiri.
Rey bukanlah satu-satunya orang luar yang penting di The Last Jedi. Rose (Trần Loan) dan Finn (John Boyega) menyelamatkan seorang anak penjaga kandang kuda (Temirlan Blaev) di Canto Bight, kota kasino yang sering dikunjungi tentara bayaran galaksi. Ibukota ini penuh kekerasan dan pernak-pernik keduniawian, berlawanan dengan konsep Buddhisme untuk mengakhiri penderitaan (dukkha) dan menjauhkan diri dari hasrat duniawi yang menyebabkannya (samudaya). Di akhir film, sang penjaga kandang kuda, yang terinspirasi oleh cincin pemberontak yang diberikan padanya oleh Rose serta legenda Luke Skywalker, diperlihatkan menggunakan Force. Dalam interpretasi langsung, anak ini adalah simbol dari perlawanan yang terus berlanjut, kelahiran generasi Jedi yang baru, dan seperti Rey, pewaris spiritual dari kisah Skywalker.
Tapi ke mana lagi Force akan dibawa, setelah penolakan mutlak Luke akan kekerasan dan dogma Jedi? Bagaimana kakas misterius dan helaian realita spiritual ini akan dipandang, dikanonisasi, dalam dan setelah Rise of Skywalker? Jawabannya mungkin akan hadir separuhnya di serial baru Star Wars live action yang tayang di Disney Plus, The Mandalorian. Serial ini, yang saat ini telah mencapai episode enam dari delapan, memperkenalkan karakter baru yang sering disebut “Baby Yoda” oleh orang-orang. Sang bayi bisu yang berasal dari spesies yang sama dengan Yoda yang telah kita kenal mencoba menggunakan Force untuk menyembuhkan luka para Mandalorian. Penggunaan Force untuk penyembuhan fisik adalah sesuatu yang sebelumnya belum ditelusuri oleh Star Wars, meski rasanya hal ini tetap terkait dengan penggunaan Force oleh Luke sebagai media penyembuhan spiritual di The Last Jedi.
Di awal film, Luke telah menapaki jalan kegelapan sebagaimana ramalan didaktik Yoda belasan tahun silam: “Ketakutan membawa kemarahan. Kemarahan membawa kebencian. Kebencian membawa penderitaan.” Namun, di akhir, Luke telah lepas dari lingkaran derita ini dengan menemukan alternatif dari tiga baris mantra Yoda, alternatif yang mirip sekali dengan Empat Kebenaran Mulia Buddhisme, inti dari ajaran Sang Buddha: Derita itu ada. Ada sebab derita. Ada lenyapnya derita. Ada sebuah jalan mulia untuk mengakhirinya derita.. Masa depan Force sepertinya ada pada penyelesaian penderitaan, bukan menjawab panggilan kekerasan. Seperti kata Rose, “Bukan memerangi apa yang kita benci, tapi menyelamatkan apa yang kita cintai.”
Maka sejauh ini telah terjalin sebuah saga yang harmonis, membawa Luke Skywalker, seorang anak petani dari Tatooine yang hanya ingin menjadi bagian pergerarakan besar, memenuhi takdirnya dengan menjadi satu dengan Force. Dalam perjalanannya dia dibantu oleh Master Yoda, tak lain dan tak bukan, yang pencerahan pribadinya telah membawanya menyatu dengan alam. “Kita adalah batu loncatan bagi pertumbuhan mereka,” kata Yoda tentang murid-murid Jedi mereka. “Itulah beban terbesar setiap guru.” Selagi saga ini terus berkembang ke arah tradisi Mahayana, tujuan sang Jedi bijak dan generasi tua para Jedi adalah membimbing para pahlawan baru — serta para orang luar — menuju pengertian spiritual mereka sendiri.
Luke tidak hadir di hadapan Kylo Ren untuk bertarung, namun untuk memandu yang lain menuju tempat aman. Ketika keterampilan-keterampilan barunya yang menakjubkan diperlihatkan, semuanya adalah jalan menuju keselamatan — bagi Kylo, bagi para pemberontak yang terjebak, dan bagi para Master Jedi — bukan untuk menumpahkan darah. Ketika Luke diperlihatkan melayang di atas bukit, kekuatan yang menerima tepuk tangan meriah dari penonton bukanlah perwujudan fantasi berdarah, namun sebuah jalan menuju perdamaian.
Sumber: https://www.polygon.com/star-wars/2019/12/13/21012853/the-last-jedi-luke-skywalker-buddhism-star-wars-philosophy
Diterjemahkan oleh Lisa Santika Onggrid