Oleh: Candrika Jayawardhani
Orang Indonesia generasi 80an dan 90an tentunya akrab dengan nama besar Susi Susanti, pebulutangkis perempuan kelahiran Tasikmalaya yang telah mengharumkan nama bangsa di kancah internasional. Keberhasilannya menyumbangkan emas pertama untuk Indonesia di ajang Olimpiade dan sederet gelar juara bergengsi seperti All England, SEA Games, World Championship, Piala Sudirman, Indonesia Open, dan lain-lain membuat BWF (Badminton World Federation) menganugerahkan penghargaan The Badminton Hall of Fame tahun 2004 untuk pemain`Indonesia keturunan Tionghoa ini.
Dari sudut pandang orang Indonesia yang menonton dari layar televisi, performa Susi di lapangan dan kemenangan demi kemenangan tampak begitu mudah diraih. Namun apa yang memotivasi Susi, bagaimana kondisi batin Susi di belakang lapangan pertandingan, perjuangan, dan pengorbanan yang dilakukan Susi untuk berdiri di podium juara selama ini tersembunyi dari mata banyak orang Indonesia. Film “Susi Susanti: Love All” yang mulai tayang 24 Oktober 2019 ini menceritakan kisah hidup Susi yang ternyata penuh tantangan dan melalui banyak jatuh-bangun. Film ini menyajikan perjuangan, cinta, dan nasionalisme seorang Susi Susanti yang diperankan secara memukau oleh Laura Basuki, diselingi romansa menggelitik ala pengantin olimpiade dengan Alan Budikusuma (pasangan Susi) yang diperankan oleh Dion Wiyoko.
Setelah menonton film biopik yang menginspirasi ini, saya melihat Susi adalah contoh nyata keberhasilan seorang pemimpin walau ia bukan CEO sebuah organisasi atau tokoh yang memiliki banyak pengikut. Namun, seorang atlet yang berprestasi tetaplah adalah role model dan memiliki pengaruh kuat bahkan untuk seluruh rakyat Indonesia. Dan karena sebelum dapat memimpin sebuah keluarga, perusahaan, atau bahkan sebuah negara, seorang pemimpin yang baik haruslah dapat memimpin dirinya sendiri, maka Susi adalah sosok yang dapat dikatakan mencerminkan seorang pemimpin sejati.
Y. M. S. Dalai Lama XIV dalam bukunya bersama Laurens Van Den Muyzenberg berjudul The Leader’s Way mengatakan bahwa seorang pemimpin sejati adalah dia yang membuat keputusan-keputusan benar. Keputusan benar bergantung pada ‘Pandangan Benar’, yang disebut Dalai Lama sebagai sebuah batin yang tenang, terkendali, dan penuh konsentrasi, batin yang penuh kedamaian, tak terganggu oleh pikiran dan emosi negatif, terlatih, dan fokus. Rudy Hartono, mantan pebulutangkis legendaris Indonesia lainnya juga memberikan nasihat kepada Susi Susanti kecil yang esensinya serupa dengan apa yang apa yang dikatakan oleh Dalai Lama: “Bakat saja tidak cukup, perlu disiplin yang tinggi, disiplin fisik dan disiplin mental. Dalam pertandingan, lawan terbesar kita bukanlah pemain yang kita hadapi, melainkan diri kita sendiri. Kalau kamu sudah bisa kendalikan emosimu dan mentalmu, kamu bisa kendalikan permainanmu.”
Bayangkan jika kita menjadi Susi Susanti di tahun 1992, dalam pertandingan final bulu tangkis Olimpiade Barcelona yang menegangkan itu. Bagaimana perasaan Susi saat itu? Tekanan dari semua sisi dialaminya: telepon langsung dari Presiden Soeharto yang mengharuskannya menjadi juara, tekanan dari pelatih dan PBSI yang mengharapkannya menang, tekanan untuk menepati janji yang dibuatnya dengan ayahnya untuk membawa pulang emas olimpiade, tekanan semua rakyat Indonesia yang menantikan kebanggaan lagu Indonesia Raya berkumandang, belum lagi tekanan dari lawan dan supporter di lapangan. Apakah dengan tekanan seberat itu, kita masih bisa mempertahankan batin yang tenang dan terkendali? Sebagai seorang perempuan yang lebih banyak perasaan, saya pun bertanya-tanya apakah saya bisa tidak larut dalam emosi negatif dan menolak godaan untuk melarikan diri. Tentunya sangat sulit. Bahkan seorang Susi Susanti yang bermental baja dari tempaan banyak pertandingan sebelumnya saja mengaku ketakutan.
Y. M. S. Dalai Lama XIV dalam buku The Leader’s Way mengatakan bahwa seorang pemimpin harus mempunyai kemampuan disiplin etis. Beliau merujuk disiplin etis ini sebagai ‘menjinakkan batin’, mengambil kendali atas motivasi dan emosi negatif kita, seperti ketamakan, keegoisan, kemarahan, kebencian, nafsu berahi, ketakutan, kurangnya kepercayaan diri, dan iri hati. Lebih lanjut, Guru Dagpo Rinpoche dalam pengajaran Dharmanya mengatakan bahwa kita harus bisa menerima akibat yang dihasilkan oleh karma kita sendiri di masa lampau. Alih-alih meratapi penderitaan kita dan menyalahkan orang lain, menerima kenyataan adalah langkah pertama mengurangi penderitaan kita.*) Ketika kita menemukan diri kita dalam situasi yang sangat sulit, kita tidak bisa selalu benar-benar mengubah lingkungan kita, tetapi kita pasti bisa mengubah apa yang ada di dalam diri kita. Kita adalah satu-satunya orang yang dapat membawa perubahan ini ke dalam diri sendiri. Orang lain dapat membantu kita dengan nasihat dan panduan, tetapi pada dasarnya transformasi batin kita hanya dapat dicapai oleh diri kita sendiri.**)
Momen Susi Susanti menelepon ayahnya dan mengatakan “Pa, aku takut” adalah moment of truth, momen penerimaan kenyataan emosi negatif batinnya yang bergejolak. Hebatnya, Susi tidak lantas meratap dan menyalahkan orang lain atau keadaan. Dengan dorongan nasihat sang ayah, Susi berhasil menjinakkan ketakutan, keresahan, dan rasa tidak percaya dirinya kemudian mentransformasinya menjadi keberanian, semangat, dan keyakinan. “Ketakutan bisa melepas keberanian kita yang terpendam, siap atau tidak siap. Di hadapan rasa takut, kamu tahu bersama siapa kamu menghadapinya. Kamu tidak sendirian, cinta yang menemani” adalah nasihat pemicu transformasi batin dari negatif menjadi positif. Hasilnya? Walau pada set pertama Susi masih terlihat gugup dan kalah 5-11 dari Bang Soo Hyun, tapi pada akhirnya Susi berhasil tetap tenang, menjaga kesabaran, dan fokus konsentrasinya pada setiap poin demi poin yang dikumpulkannya hingga memenangkan set kedua dan ketiga sekaligus mengukukuhkan keberhasilannya mewujudkan cita-citanya serta cita-cita masyarakat Indonesia.
With great power comes great responsibility. Buku The Leader’s Way menitikberatkan betapa pentingnya para pemimpin perusahaan global membuat keputusan yang benar karena keputusan mereka akan memengaruhi ribuan bahkan jutaan orang. Satu keputusan salah dari seorang pemimpin akan berdampak masif dan berbahaya bagi banyak orang. Maka dari itu, untuk selalu membuat keputusan yang benar, seorang pemimpin harus mengembangkan batin mereka dengan berpikir secara benar dan bertindak secara benar. Mereka harus berpikir dengan cara yang benar berarti berpikir sebelum melakukan setiap tindakan untuk memastikan bahwa tindakan tersebut dilandasi oleh niat dan motivasi yang benar. Niat yang benar adalah merenungkan bahwa tindakan tersebut akan menguntungkan diri sendiri dan setiap orang yang terpengaruh olehnya; artinya, tindakan tersebut memperhitungkan kesejahteraan diri sendiri dan orang lain.
Bayangkan jika Peter Parker memilih untuk menjadi penjahat alih-alih superhero, apa yang akan terjadi pada masyarakat NYC? Bayangkan jika Susi Susanti memilih untuk melarikan diri dari pertandingan atau bahkan malah melakukan tindakan tidak etis demi memenuhi ambisi egoismenya untuk menang seperti mencelakai lawannya atau menggunakan dopping? Akibat yang terjadi tidak hanya akan membuat reputasi seorang Susi hancur, tapi lebih besar lagi karena akan sangat mengecewakan seluruh Indonesia, mencederai martabat bangsa dan bahkan menodai semangat sportivitas tingkat dunia yang coba diusung olimpiade.
Kekalahan yang dialami Susi pada olimpiade Atlanta tahun 1996 adalah contoh dari dampak kekurangmampuan seorang pemimpin berpikir dan bertindak benar. Seperti yang dikisahkan dalam film, setelah berhasil meraih emas dalam olimpiade Barcelona, Susi mendapatkan masalah terkait pengurusan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) yang harus dimiliki orang Indonesia keturunan Tionghoa agar dianggap sah sebagai WNI pada masa itu. Dikisahkan kakak Susi ingin menerima tawaran untuk bermain bulu tangkis membela Malaysia dikarenakan SBKRI mereka sekeluarga belum keluar sehingga status kewarganegaraan mereka belum jelas dan Susi menentangnya. Sebenarnya niat dan motivasi Susi baik, karena jiwa nasionalismenya yang tinggi, dia ingin kakaknya membela Indonesia. Namun karena emosi, Susi bahkan mengatakan dengan sesumbar kalau pengurusan SKBRI mereka akan mudah karena dia seorang pemenang olimpiade. Lalu pil pahit kenyataan harus ditelan Susi karena sampai dengan sebelum keberangkatannya ke Atlanta, SBKRI-nya belum juga keluar. Dia menjadi marah pada Alan, pacarnya saat itu, karena Alan menyarankan Susi untuk tidak merepotkan pak Tri Sutrisno (wakil presiden) dalam pengurusan SBKRI ini. Bahkan Susi mengungkapkan kekesalannya pada wartawan saat konferensi pers. Pada momen ini, kesombongan, frustasi, dan kemarahan mendominasi batin Susi dan kali ini Susi gagal untuk mengontrolnya sehingga performanya kurang maksimal di olimpiade Atlanta. Akhirnya dia hanya berhasil mendapatkan medali perunggu dan kalah dari lawan yang peringkatnya jauh dibawah dia.
Meski pada akhirnya Susi berhasil mendapatkan SBKRInya, keputusan penuh emosi yang diambilnya mungkin kurang bijaksana jika ditilik berdasarkan buku The Leader’s Way. Dikatakan dalam buku bahwa pemimpin dihadapkan pada keharusan untuk membuat keputusan sepanjang waktu. Ketika keadaan yang sulit muncul, entah di tingkat personal maupun perusahaan, tujuan yang harus dicapai adalah untuk tidak merespons dari sudut pandang yang egois tetapi dari sudut pandang perusahaan dan semua orang dan organisasi yang terpengaruh oleh keputusan tersebut. Dua hal yang harus dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan adalah:
- Niat di balik tindakan yang dipertimbangkan. Niat tersebut harus baik, yang berarti bahwa setidaknya ia tidak akan menyakiti orang lain.
- Kondisi batin dari pemimpin dan sebisa mungkin, juga orang-orang lain yang terlibat dalam proses. Tantangan bagi si pembuat keputusan adalah untuk mengenali asal-mula dari dampak negatif apa pun terhadap batin, seperti sikap defensif atau kemarahan, dan mengembalikan batin ke kondisi yang tenang, terkendali, dan penuh konsentrasi.
Selain itu, ketika sampai pada tahap akhir proses pembuatan keputusan, para pemimpin seharusnya bertanya pada diri sendiri: Apakah dampak dari keputusan ini menguntungkan organisasi saya dan juga orang-orang lain yang terkait? Apa motivasi saya: Apakah saya hanya mencari keuntungan pribadi ataukah saya juga mempertimbangkan keuntungan bagi pihak lain?
Lantas apa yang harus dilakukan Susi jika mengikuti metode kepemimpinan ala Y. M. S. Dalai Lama? Menyadari batinnya sedang dipenuhi emosi negatif, mencoba mengendalikan batinnya dan mengembangkan kesabaran sebagai penawarnya. Kesabaran adalah satu-satunya cara untuk bersiap ketika keadaan yang provokatif–seperti permusuhan, kritik, atau kekecewaan–terjadi. Dalam kasus kemarahan, kesabaran bukanlah kemampuan untuk meredamnya, tetapi kemampuan untuk tetap tenang di hadapannya. Untuk dapat melakukannya, kita perlu melatih batin, yang pada gilirannya akan menghasilkan batin yang tenang dan sabar.
Belajar dari kegagalannya di Atlanta, Susi dapat membalikkan keadaan dan mengambil keputusan bijak pada pertandingan Thomas Uber Cup tahun 1998 di Hongkong. Kondisi kemarahan, ketakutan dan kekecewaan juga mendominasi tim bulu tangkis Indonesia dan masyarakat dunia karena kejadian kerusuhan Mei 1998. Tim Indonesia harus bertanding di tengah rasa khawatir terhadap nasib keluarga mereka di Indonesia, kemarahan pada perusuh yang anarkis dan hujatan dari negara-negara lain karena kerusuhan yang memakan banyak korban. “Ngapain kita membela Indonesia disini? Indonesia tidak membela keluarga kita. Masa di situasi kaya gini kita tetap harus tanding? Mendingan kita pindah negara aja” adalah ungkapan kemarahan dan kekecewaan dari kolega-kolega Susi.
“With what’s happening in Indonesia, would you be seeking a protection here or in other country? Do you still consider yourself as Indonesian?”, tanya seorang wartawan CNN kepada Susi. Pada momen itu, jawaban Susi adalah sebuah keputusan maha penting namun sulit sebagai seorang pemimpin. Namun, kali ini Susi berhasil membuktikan dia dapat mengendalikan batinnya dan membuat keputusan bijak.
“Yes, Indonesia has let me down, let my family down, and let my team down. But no, I don’t consider. I never have to. I am Indonesian and I will always be!” adalah jawaban singkat namun tegas yang tidak hanya berhasil menenangkan dan memberi contoh bagi tim Indonesia yang lain, namun sekaligus membakar semangat nasionalisme tim dan mempertahankan martabat bangsa Indonesia di mata dunia. Sungguh sebuah momen klimaks yang menginspirasi bagi saya dari film Susi Susanti Love All ini.
Menonton perjalanan hidup seorang Susi Susanti bagi saya bukan hanya membukakan mata akan beratnya perjuangan seorang atlet untuk meraih prestasi, namun lebih dari itu membuat saya merefleksikan bagimana hebatnya pergumulan batin seorang pemimpin saat harus mengambil keputusan pada kondisi-kondisi sulit, sekaligus merenungkan nasihat Guru saya “Jangan memisahkan duniawi dan spiritual bagai minyak dan air” karena sesungguhnya nilai-nilai Buddhis dapat diterapkan dalam menghadapi permasalahan duniawi bahkan membantu seorang pemimpin untuk mengambil keputusan benar dan bijak. Akhir kata, seperti yang dituliskan Biksu Bhadra Ruci dalam kata pengantar buku The Leader’s Way: “Di sinilah falsafah Buddhis menjadi semakin istimewa dan di waktu yang sama juga mampu menjawab semua hal baik di kehidupaan saat ini dan mendatang. Ringkasnya ajaran Buddha mampu memperkaya seorang pemimpin untuk bertindak tepat dan bijak baik di aspek duniawi pun spiritual. Tidak hanya di tempat ibadah, tapi juga tempat kerja kita yang notabene bagi kebanyakan orang memakan waktu besar dalam keseharian manusia. Sama halnya Buddha Shakyamuni mengajar dan memerdekakan makhluk hidup dari derita dunia dan samsara, semoga kita mampu menjadi pemimpin yang memerdekakan diri kita sendiri dan orang lain dari hal yang sama.”
Jakarta, 6 jam menuju akhir Oktober 2019.
Dipersembahkan untuk Triratna:
Guru, Lamrim dan Komunitas,
yang selalu tanpa lelah membimbing, mencerahkan
dan menjagaku dalam perjuangan spiritualku.
*): Diambil dari transkrip pengajaran Guru Dagpo Rinpoche di Belanda tahun 2013 yang diterbitkan oleh Penerbit Saraswati dalam bentuk buku berjudul “Karma dan Akibatnya”
**): Diambil dari transkrip pengajaran Guru Dagpo Rinpoche di Malaysia tahun 2002 yang diterbitkan oleh Penerbit Saraswati dalam bentuk buku berjudul “Jika Hidupku Tinggal Sehari”