Film Joker (2019) menggambarkan bagaimana semua orang pada dasarnya sama, sama-sama menderita dan ingin mencari kebahagiaan.

Arthur Fleck, sang tokoh utama, menderita karena penyakit yang ia derita, putusnya bantuan medis untuk penyakitnya, dan penganiayaan yang ia terima. Ketika dia sakit karena dipukuli dan ingin rasa sakit itu berhenti, dia tak berdaya dan hanya punya pistol di tangan. Ternyata pistol itu bisa membuat rasa sakitnya berhenti walau hanya sesaat.

Orang-orang yang memukuli Arthur Fleck mungkin hanya ingin meyakinkan diri bahwa mereka masih punya kuasa meski terjerat dalam kemiskinan dan penolakan. Murray si pembawa acara menayangkan pertunjukan stand-up komedi Arthur Fleck untuk menjalankan pekerjaannya. Thomas Wayne ingin kota tempat tinggalnya tentram sehingga berusaha menjadi walikota agar dapat menyingkirkan kelompok yang merusak ketentramannya. Rakyat dan media massa menjadikan sosok badut pembunuh sebagai ikon perlawanan karena butuh harapan dan alasan untuk melawan kemapanan walau si ikon sendiri tidak punya pemikiran seperti itu sama sekali.
Semua orang berusaha mencari kebahagiaan masing-masing, tapi mereka tidak tahu kebahagiaan seperti apa yang bisa mereka raih di tengah sistem yang tidak mendukung mereka. Akibatnya mereka menyerang apapun yang mereka kira ‘musuh’ dan merampas kebahagiaan orang lain. Padahal tidak ada satu penyebab dari setiap penderitaan mereka yang bisa disalahkan. Semua saling bergantung. Tindakan mereka menyalahkan satu sebab saja dan menyerang satu sebab tersebut membuat mereka semua terjebak dalam rantai karma buruk yang menghasilkan lebih banyak penderitaan yang berlipat ganda.
Apakah semua orang di film ini jahat? Tentu tidak.

Dari penampilan penuh totalitas Joaquin Phoenix sebagai Arthur Fleck (yang kemudian minta dipanggil “Joker”), saya menyaksikan kehidupan seseorang yang tidak bisa saya pahami. Saya tidak bisa membaca apa yang dia rasakan. Saya tidak bisa mengerti kenapa ia melakukan apapun yang dia lakukan. Dan kelihatannya bahkan dia sendiri juga sama bingungnya tentang dirinya sendiri.
Akhirnya dia berhenti berusaha berhenti memahami batinnya karena begitu banyak faktor mental negatif yang mengacaukan persepsinya dan menyerah pada faktor-faktor mental negatif tersebut. Hal yang sama bisa terjadi pada kita ketika kita berhenti merenung dan ‘berbicara’ dengan batin kita, lalu membiarkan faktor mental negatif seperti amarah, keserakahan, nafsu, dan sebagainya menguasai batin dan tindakan kita.
Satu hal yang pasti, banyak ‘kesialan’ yang dialami Arthur terjadi karena orang-orang salah membaca tawanya. Karena itulah dia dipecat. Karena itu juga dia dipukuli orang yang berujung pada pembunuhan pertama yang dia lakukan.

Ketika menyaksikan ini, saya jadi kepikiran, banyak sekali kesalahpahaman terjadi karena alasan yang sama. Ketika kita melihat orang melakukan sesuatu, kita otomatis menerka apa yang mereka pikirkan. Kita begitu yakin terkaan kita benar lalu menjadikan terkaan itu basis untuk menilai mereka. Kita pun beranggapan, “Si A itu orang baik, B orang jahat, C orangnya sombong.” Padahal terkaan kita belum tentu benar. Akibatnya kita akan memuja-muja orang tertentu dan membenci orang lain, lalu ketika mereka melakukan sesuatu di luar persepsi kita tentang mereka, kita jadi kecewa. Pertengkaran tak dapat dielakkan. Hubungan pun bisa putus.
Dalam skala besar, ini juga terjadi antar pejabat dan kepala negara sampai-sampai bisa menyebabkan kerusuhan dan peperangan. Lihat saja kejadian demonstrasi beberapa pekan terakhir ini. Demonstran yang ingin pulang ditembaki gas air mata, lalu orang-orang menganggap polisi semena-mena. Sebaliknya polisi dan pemerintah menganggap kumpulan massa pasti bikin kekacauan sehingga harus bertindak lebih keras dari biasanya. Lalu muncullah netizen dan buzzer yang berkicau dengan teori mereka masing-masing tentang apa yang melatarbelakangi tindakan masing-masing pihak dan menciptakan kebingungan, bahkan kepanikan massal.
Kembali ke film “Joker”, ketidakmampuan saya memahami sang karakter utama menyadarkan saya bahwa saya juga sebenarnya tidak bisa memahami siapapun, baik tokoh di dalam film maupun orang-orang di dunia nyata. Saya tidak punya hak untuk menghakimi siapapun, apapun yang mereka lakukan. Di awal tulisan ini, saya berteori tentang beragam motivasi di balik tokoh-tokoh di film ini, tapi itu juga belum tentu benar. Hanya satu hal yang pasti bisa saya yakini: semuanya ingin bahagia dan tidak ingin menderita.

Kesimpulan itu membuat saya merasa ‘hangat’ alih-alih muram setelah keluar dari bioskop. Ketika saya ‘menyadari’ bahwa semua orang hanya ingin bahagia, tidak ingin menderita, dan saya tidak berhak menghakimi orang, saya merasa sepertinya saya lebih mampu melihat sisi baik dari orang lain dan berempati pada mereka. Saya membayangkan bahwa ketika saya bisa melakukan hal itu, saya merasa lebih ringan dan bahagia karena energi saya tidak terbuang karena sibuk dengan curiga. Bukankah itu juga yang diajarkan Sang Buddha, bahwa ketika kita bisa mengasihi semua makhluk dengan setara, kita juga akan bisa berbahagia? Salah satu kualitas Buddha adalah welas asih agung, artinya Beliau memandang semua makhluk seperti anak tunggalnya sendiri dan mengasihi mereka dengan cara seperti itu. Sekilas itu mungkin merupakan kualitas yang amat jauh dari jangkauan kita, tapi Buddha justru mengajarkan kita untuk melatih hal itu sedikit demi sedikit.
Latihan mengasihi semua makhluk ala Sang Buddha: klik di sini!

Ini tidak berarti kita harus membiarkan kejahatan terjadi mentang-mentang yang melakukan hanya ingin mencari kebahagiannya sendiri. Buddha juga mengajarkan bahwa sabar itu sikap batin yang tidak membenci hal yang menyakiti kita, bukan membiarkan hal itu terus-terusan menyakiti. Kita bisa menghukum seorang kriminal tanpa membenci. Kita bisa meninggalkan orang yang terus-terusan menyakiti kita tanpa menyimpan dendam.
Ketika melihat ulasan orang lain tentang film “Joker” ini, saya pun mempertanyakan kewarasan saya. Ini jelas bukan film yang memiliki ‘pesan moral yang baik’, toh isinya adalah orang-orang main hakim sendiri. ‘Good vibes’ yang saya rasakan ini juga mungkin hanya hype sesaat, hasil dari pertemuan si film dan berbagai hal lain yang sedang saya alami (nyatanya besoknya ketika saya melihat post nyebelin di sosmed plus tumpukan kerjaan, saya mulai ngomel-ngomel lagi). Saya juga tidak bisa merekomendasikan film ini dengan harapan orang lain akan mendapatkan pengalaman yang sama. Tapi ada satu pemikiran yang terngiang-ngiang di kepala saya sepanjang klimaks hingga setelah keluar dari bioskop dan mudah-mudahan bisa terus saya ingat dan praktikkan.
“Saya ingin jadi orang baik.”
Bagaimana caranya jadi orang baik? Emang bisa tidak membenci orang yang menjahati kita?
Ada seorang guru yang sudah mencapai itu semua dan datang jauh-jauh dari Perancis untuk mengajarkan caranya pada kita!
Yuk belajar langsung dari ahlinya, Guru Dagpo Rinpoche, di SEALF 2019!
Disclaimer: Tulisan ini adalah opini penulis.