ditulis oleh : Arin Widyana
“Salah satu bentuk perang yang menakutkan adalah perang propaganda. Berbagai teriakan, kebohongan, dan kebencian, datang dari orang yang tidak berkelahi.”
~ George Orwell~
Kita, bangsa Indonesia sedang dihadapkan pada perhelatan akbar yang sebentar lagi akan digelar, yang konon akan menjadi penentu keberlangsungan negara ditahun yang akan datang. Kita menyebutnya pesta demokrasi, pemilihan calon dan wakil presiden untuk empat tahun kedepan.
Kita, bangsa Indonesia sedang berada di masa kampanye pilpres 2019. Hiruk pikuk, kegaduhan, keramaian, sudah mulai kita rasakan. Panggung politik semakin hari semakin memanas. Sudah banyak hal yang kita lalui mulai dari Hoax, saling sindir, saling menciptakan citra diri di depan masyarakat, keriuhan, keributan dll, dan kita sudah mulai melalui masa dimana penarikan simpatisan guna mencari suara agar dapat menghantarkan ke kursi 1 pemerintahan. Sehingga tak dapat dipungkiri masyarakat telah terpecah menjadi dua kubu; pendukung no. 1 dan pendukung no. 2, yang mana sudah barang tentu akan memperuncing jurang perbedaan yang selama ini ada di dalam masyarakat.
Banyak kasus, karena berbeda suara sesama anggota keluarga saling berhenti bicara, sesama tetangga saling memaki, para pembela calon saling menjatuhkan bahkan menyakiti, dan beberapa hari yang lalu viral sebuah berita tentang pembongkaran kuburan yang bermula dari perbedaan suara. Perbedaan begitu mengerikan, membuat seseorang dengan yang lain seolah orang asing, bahkan tak jarang terlihat sebagai musuh.
Jurang Perbedaan; Aku adalah Aku, Kamu adalah Kamu.
Kita terlalu terbiasa melabeli segala sesuatu; memberinya batasan batasan, pengkotakan, dan kita terbiasa menyusun cara berpikir yang memisahkan satu dengan yang lain. Termasuk diri. Hingga kadang manusia larut begitu jauh, seolah apa yang ada di luar dirinya sama sekali tidak terhubung atau terkait dengannya. Disaat itulah manusia membesarkan egonya, sehingga yang tampak hanya dirinya sendiri; hanya dirinya; kepentingannya; untuk keuntungannya.
Lalu terbentuklah pikiran-pikirannya; pandangan-pandangannya; pendapat-pendapatnya yang terlihat seolah olah terpisah dari apa yang ada disekitarnya. Berdiri sendiri sekaligus satu satunya pemegang kebenaran. Sehingga lambat laun akan terbentuk seolah apa yang berbeda dari apa yang dia yakini; pendapat yang lain darinya adalah nyata yang salah. Kemudian dengan begitu erat ia pegang keyakinan itu, sampai tanpa sadar apa yang telah dia pegang memisahkan dia dari segala yang ada; karena merasa keterpisahan inilah manusia berani bersikap brutal, kejam, dan menyakiti apa yang ada di luar dirinya.
Perbedaan Sebagai Sebuah Kesatuan; Aku adalah Kamu, Kamu adalah Aku, Kita adalah mereka.
Dengan melihat segala sesuatu dengan mendalam, penuh pengertian, dan welas asih menyadarkan kita pada sisi kemanusiaan yang kita miliki. Kewelas-asihan yang dikembangkan bersama kebijaksanaan membebaskan batin manusia dari cengkraman keakuan; pandangan yang hanya mengakui kebenaran apa yang diyakini. Dan mampu membawa manusia pada kehakikiannya.
Dengan melihat segalanya berlandaskan welas asih perbedaan terlihat bukan lagi menjadi perbedaan, sebab kita akan mengetahui bahwa perbedaan adalah bagian dari suatu kesatuan yang indah; perbedaan seperti warna warni pada pelangi yang patut dihargai, patut kita nikmati.
Pemaksaan untuk seragam terlahir dari pandangan sempit; dari batin yang masih dipenuhi ketidak-mengertian. Dengan melihat segalanya penuh welas asih kita dapat menikmati segalanya sebagaimana adanya; hingga mampu memberikan pemakluman luar biasa yang mentoleransi perbedaan.
Welas asih, cinta kasih memiliki sifat yang membebaskan, tidak mengikat, maupun memaksa. Sehingga dapat menyembuhkan batin dari penyakit penyakitnya.
“Berbahagialah ia yang lembut terhadap segala sesuatu. Di dalam kehidupannya tidak ada suatu makhluk pun yang berniat menyakitinya. Berbahagialah ia yang terbebas dari segala kilesa, bebas menembus ikatan nafsu indriya; Ia yang telah menghancurkan segala kotoran batin, terbebas dari pandangan ‘aku’ dan ‘saya adalah.’ Dengan demikian tercapailah kebahagiaan yang sebenarnya.”
(Syair Udana, MUCALINDA – VAGGA)