Tanpa terasa satu tahun telah berlalu sejak saya terakhir menginjakkan kaki di Jakarta untuk mengikuti Indonesia Lamrim Retreat. Video recap retret tahun 2016 dan 2017 yang ditayangkan di awal malam pembukaan juga memperkuat rasa nostalgia. Tahun ini pun lebih dari 400 orang kembali berkumpul di Gedung Prasadha Jinarakkhita, Jakarta, untuk mengisi akhir tahun dengan belajar, merenungkan, dan memeditasikan Dharma.
Indonesia Lamrim Retreat 2018 bersama Yang Mulia Biksu Bhadra Ruci akan berlangsung selama 12 hari, tepatnya pada tanggal 21 Desember 2018-1 Januari 2019. Bahannya adalah “Instruksi Guru yang Berharga” karya Phabongkha Rinpoche. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Y. M. Biksu Bhadra Ruci belum mulai masuk ke topik tersebut di sesi pertama pada tanggal 21 malam. Di “malam motivasi” ini, Beliau memulai dengan membekali kami para peserta dengan satu hal yang amat penting: cara belajar Dharma.
Yang Mulia Biksu Bhadra Ruci yang akrab disapa “Suhu” pertama-tama mengingatkan kami tentang alasan adanya kegiatan Indonesia Lamrim Retreat, yaitu melestarikan budaya belajar Buddhadharma–belajar serius dalam artian secara aktif melatih diri, tak hanya duduk diam, sembahyang, dan meditasi. Beliau juga mengatakan bahwa belajar bukan sekadar mendengar ceramah. Ketika menyaksikan penceramah yang mahir dan asyik, kita akan mendengarkan dengan semangat, bahkan terlena mendengar cerita-cerita yang disampaikan. Saat itu kita tak ubahnya menonton tontonan di youtube. Saat itu kita tidak sedang belajar Dharma. Bagian ini cukup membuat saya (dan mungkin banyak peserta lain juga) merasa tertohok berhubung salah satu hal yang membuat saya bersemangat mengikuti retret dengan Y. M. Suhu adalah kepiawaian Beliau menyelipkan berbagai cerita untuk menjelaskan topik ajaran.
Yang Mulia Suhu kemudian memberikan kiat jitu belajar Dharma, yaitu mencatat pemahaman yang kita dapatkan saat mendengarkan ajaran. Saat mendengarkan guru mengajar, pasti ada poin sangat mengena bagi kita. Poin ini harus kita catat. Setelah sesi, kita buka kembali catatan kita dan tanyakan lagi pada diri sendiri, benarkah poin yang kita catat tersebut? Seperti apa diri kita jika dibandingkan dengan poin tersebut? Dari situ kita bisa mengukur diri kita sendiri yang sesungguhnya. Hasil perenungan ini kita tambahkan ke catatan kita. Di titik ini kita sudah menjadi lebih sadar dengan kualitas diri kita beserta apa-apa saja yang perlu kita perbaiki sesuai dengan Dharma yang kita pelajari. Penemuan diri ini merupakan suatu kemajuan, tapi mungkin hanya bertahan 3-4 hari sebelum kita kembali ke kebiasaan lama. Saat menyadari hal tersebut, kita tentu bisa memunculkan tekad untuk berubah. Tekad ini bisa bertahan beberapa bulan sampai akhirnya kita harus mendegarkan Dharma dalam suasana retret lagi. Proses ini bisa berlangsung berkali-kali dan memakan waktu bertahun-tahun, tapi itu tak jadi soal selama kita terus memperkuat tekad untuk berubah.
Yang Mulia Suhu mengajak kami semua untuk mengisi malam ini dengan merenungkan untuk apa kami mengikuti retret. Tujuan belajar Dharma seharusnya adalah menjadi bahagia. Lagi-lagi kita harus bertanya pada diri sendiri, apakah kita sudah bahagia? Jangan sampai kita seperti orang kebanyakan yang tak sadar bahwa dirinya tak bahagia. Belajar Dharma adalah kesempatan yang tepat untuk mengidentifikasi apa yang membuat kita tak bahagia. Dari situ, kita bisa pelan-pelan mengubah diri dan cara pandang kita untuk mengatasi ketidakbahagiaan itu sesuai dengan cara Sang Buddha.
Yang Mulia Suhu juga mengingatkan kami agar tidak menjadi wadah yang terbalik, kotor, atau bocor. Wadah terbalik berarti kita menolak Dharma yang kita dengar mentah-mentah. Wadah kotor berarti mendengarkan ajaran dengan motivasi yang salah atau sambil memegang teguh pandangan sendiri sehingga muncul keraguan terhadap Dharma atau bahkan pandangan salah. Wadah yang bocor berarti kita gagal mengingat apa yang diajarkan. Cara mengatasinya bisa dengan mencatat seperti yang dijelaskan di awal tadi.
Setelah memastikan kita menjadi wadah yang bersih dan terbuka dalam belajar Dharma, kita juga harus belajar dengan motivasi yang kuat dan sikap yang tepat. Tanyakan pada diri kita, dari mana datangnya segala macam ketidakbahagiaan atau permasalahan yang kita alami sehari-hari? Itu karena kita membawa ‘penyakit’ dalam bentuk gangguan batin (klesha). Dari situ kita datang sebagai seorang pasien yang sekarat mencari obat Dharma dari dokter yang mahir, yaitu guru yang mengajarkan Dharma. Kita tidak akan mendapat apapun jika mengikuti retret dengan batin yang mengomel atau sekadar ingin tahu untuk membanding-bandingkan ajaran. Namun, jika kita datang dengan tulus ingin menyembuhkan diri kita dengan Dharma, satu kalimat sederhana saja bisa sangat bermanfaat dan mengubah hidup jadi lebih baik.
Terakhir, Yang Mulia Suhu menjelaskan bahwa ada satu hal penting lagi yang kita butuhkan agar bisa belajar Dharma, yaitu kebajikan. Bahkan untuk bernapas saja kita butuh kebajikan, apalagi untuk menuntaskan upaya besar untuk mengubah diri kita? Oleh karena itu, di ILR 2018 ini, hari pertama retret di 22 Desember 2018 alam diisi dengan rangkaian puja untuk mengumpulkan kebajikan sebanyak mungkin, bahan bakar untuk belajar selama 12 hari ke depan. Ritual yang dilakukan tidak besar, namun kebajikan yang dibangkitkan akan besar. Kebajikan ini akan membuat hati kita lebih terbuka dan leluasa berbicara sehingga dapat dengan lebih mudah menerima Dharma dan mencapai perubahan yang nyata dalam hidup kita.