Tanpa terasa, sesi pengajaran Indonesia Lamrim Retreat 2018 telah memasuki hari ke-5. Y. M. Biksu Bhadra Ruci kembali mengingatkan bahwa kita lahir dengan tubuh manusia yang berharga, namun tidak ada jaminan memperolehnya lagi di masa yang akan datang karena sehari-hari kita cenderung lalai dalam menghimpun sebab-sebabnya. Oleh karena itu, kita harus menggunakan sebaik mungkin tubuh manusia ini, memanfaatkan kelahiran ini untuk memperoleh esensi kelahiran sebagai manusia.
Tubuh manusia sangat rapuh, sangat mudah sakit. Di luar jasmani ini maupun di dalam tubuh ada banyak faktor-faktor yang merusak tubuh. Kita hanya bisa bertahan karena masih memiliki potensi karma baik berupa umur/sisa hidup. Yang masih menopang hidup kita ini tidak lain adalah berkah guru spiritual kita. Maka kita harus menggunakan sisa waktu yang kita punya dengan tubuh manusia ini untuk menciptakan sebab-sebab kelahiran yang baik di kehidupan mendatang.
Setiap orang memiliki tingkatan dan kapasitas berbeda. Orang yang tertarik pada praktik spiritual sebenarnya bukan orang yang sangat saleh atau religius, melainkan orang yang merasa butuh mengembangkan batin. Sebaliknya, orang yang lebih tertarik pada materi cenderung mengutamakan kenyamanan dan tak memikirkan kehidupan akan datang.
Tujuan dari belajar Dharma adalah untuk menemukan jawaban dari tujuan hidup kita. Setelah bertumpu pada guru spiritual, dalam tahapan selanjutnya guru akan menuntun kita menuju tujuan hidup tersebut. Jika kita bertemu Buddha, jangan meminta “berkah” saja, tapi minta juga untuk “dituntun”. Ingat, guru spiritual adalah perwujudan semua Buddha sehingga jelas memang yang kita butuhkan adalah “tuntunan” dalam jalan spiritual alias tujuan hidup kita.
Dalam Instruksi Guru yang Berharga, seorang murid dibimbing untuk mengembangkan batin. Pertama-tama, murid dibimbing untuk melatih batin pada jalan yang dijalankan bersama makhluk berkapasitas kecil. Tahapan ini dibagi dua: mengembangkan sikap peduli terhadap kehidupan mendatang dan bertumpu pada metode mencapai kebahagiaan dalam kehidupan mendatang.
Kenyataannya kita mencari uang setengah mati seumur hidup untuk ujung-ujungnya diserahkan kepada rumah sakit. Kalaupun kita berusaha keras mengejar materi, ujung-ujungnya kita akan mati dengan penyesalan. Mengapa tidak lebih memperhatikan kesiapan batin untuk menghadapi kematian?
Kita tidak pernah punya waktu mengurus batin dan sibuk mengurus hal-hal eksternal saja. Sehari-hari kita habiskan untuk tidur, kerja, makan, ngobrol, bermalas-malasan. Benar-benar tidak ada waktu untuk mengolah batin.
Kita tidak pernah memperjuangkan “kebahagiaan sejati” dan selalu terseret arus kehidupan. Kita tidak pernah serius mengamati bahwa kita sebenarnya tidak bahagia. Bahkan ketika kita melakukan kebajikan pun kita lakukan tanpa rasa sehingga hanya menghasilkan karma netral.
Kita tak pernah memikirkan kehidupan mendatang karena tidak pernah mengingat kematian. Kita selalu merasa umur kita masih panjang. Saat sudah sekarat, kita pun sibuk mencari-cari cara agar tidak mati. Berjuang untuk tetap hidup dengan berjuang untuk tidak mati berbeda dari segi motivasi. Berjuang untuk tetap hidup mengimplikasikan kita ingin memperpanjang hidup untuk memanfaatkannya dengan baik, memperbaiki sisa hidup agar dapat menerima kematian dengan baik. Berjuang untuk tidak mati cenderung mengimplikasikan kita menolak kematian, tidak siap menerima kematian tersebut.
Setelah kematian, ada kemungkinan kita jatuh ke alam rendah. Itu bukan berarti Guru dan Buddha akan menghukum kita dengan ancaman-ancaman penderitaan setelah kematian untuk para pendosa. Mereka hanya memberi tahu apa yang benar dan apa yang salah, serta menasihati kita untuk melakukan apa yang benar. Yang “menghukum” kita adalah karma kita sendiri. Semua orang yang menyadari keadaan hidupnya akan memilih untuk membekali diri dengan karma bajik karena jika tidak kita semua hanya akan membuang-buang waktu.
Butuh “modal” atau karma baik bagi kita untuk bisa menyadari pentingnya kehidupan yang akan datang. Jika kita sejak awal tidak memiliki modal ini dan tidak mampu memahami apapun yang berbau spiritual atau Dharma, kita sepatutnya khawatir tentang keadaan ini. Jangan seperti monyet (batin yang bodoh) yang menyandera mobil mewah (tubuh manusia) milik orang (batin yang bijak). Mobil itu seharusnya bisa digunakan untuk hal berarti, namun menjadi tak berguna bagai sampah akibat dikendalikan monyet.
Penderitaan dalam hidup sesungguhnya terjadi karena kita selalu bergantung pada hal-hal yang tak pasti. Kita akan kelimpungan jika meletakkan harapan dan kepercayaan pada sesuatu yang tidak bisa diharapkan maupun dipercaya seperti harta, sanak keluarga, dan sebagainya. Semua itu selalu berubah. Seharusnya kita berpegang pada satu hal yang pasti, yaitu kematian. Jika kita senantiasa mengingat kematian, kita akan ingat bahwa waktu yang kita miliki terbatas sehingga akan berjuang lebih keras dan bersemangat dalam mengisi hidup dengan kebajikan. Kita tidak perlu beli tiket mahal-mahal untuk ikut seminar-seminar motivasi, cukup merenungkan kematian dan merealisasikannya. Hal itu otomatis akan memotivasi kita untuk praktik Dharma.
Cara merenungkan kematian adalah pertama-tama kita harus merenungkan bahwa kematian itu pasti, tapi waktunya tidak pasti. Tidak hanya itu, apapun kecuali Dharma tidak berguna saat kematian. Kekayaan akan sia-sia, teman dan kerabat sia-sia, tubuhmu sendiri pun sia-sia.
Apakah kita siap mati? Apakah kita bisa jaga batin tidak takut, tidak panik, tidak melekat pada hal duniawi seperti harta, anak, istri, dan sebagainya, bisa tidak marah pada keadaan tubuh yang melapuk? Praktik Dharma bukan sekedar sembahyang, retret, dan sebagainya. Praktik Dharma adalah melatih batin agar siap untuk menghadapi situasi yang tidak menyenangkan, salah satunya adalah kematian.
Melekat pada sesuatu berarti menyukai suatu objek di momen pertama, lalu tidak mau berpisah dengan objek itu di momen berikutnya. Ketika mati, umumnya kita tidak menerima dan marah terhadap keadaan tersebut karena kita melekat, tidak rela melepas apa yang kita miliki dalam kehidupan ini. Tidak percaya? Coba bayangkan kita terbaring kaku dalam peti mati, di depan peti kita sudah tersusun foto, tempat dupa, dan sesaji, dikelilingi sanak keluarga kita yang menangis melolong-lolong. Setelah perenungan mendalam, barulah kita akan menyadari betapa nyatanya kematian dan menemukan semangat baru untuk berjuang dalam Dharma demi mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian itu.