Pekan lalu kita belajar tentang akibat serta proses terjadinya tindakan mencuri, pelanggaran dari sila kedua dalam Pancasila Buddhis. Sekarang, yuk kita simak tips untuk menjaga sila tersebut!
Oleh: AJAHN CHAH
Sang Buddha mengajarkan bahwa menjaga sila tidaklah sulit jika Anda menjaga diri sendiri. Jika tindakan fisik atau ucapan Anda memunculkan sesuatu yang merugikan dalam bentuk apa pun, maka asalkan sikap berkesadaran sudah bersemayam, Anda akan mengenalinya. Anda akan tahu mana yang benar dan salah. Dengan cara inilah Anda menjaga sila Anda. Tubuh dan ucapan Anda bergantung pada Anda. Ini merupakan langkah pertama.
Jika Anda dapat menjaga tindakan tubuh dan ucapan Anda, keduanya menjadi indah. Nyaman. Sikap, aktivitas, dan ucapan Anda indah seluruhnya. Keindahan semacam ini adalah keindahan yang muncul karena seseorang membentuk dan menempanya — seseorang yang selalu menjaga dan merenungkannya sepanjang waktu. Ini ibarat rumah kita, sala kita, pondok kita, serta lingkungan di sekitarnya. Jika ada seseorang yang menyapunya dan memeliharanya, mereka pun menjadi indah. Tidak kotor — karena ada orang yang mengurusnya. Karena dijaga oleh seseoranglah maka tempat itu menjadi indah.
Sama halnya dengan tindakan tubuh dan ucapan kita; jika ada yang menjaganya, indahlah keduanya. Kejahatan, perbuatan cabul, dan hal-hal kotor takkan terwujud. Tindakan kita menjadi indah. Fidi-kalyāṇaṁ, majjhe-kalyāṇaṁ, pariyosāna-kalyāṇaṁ: Bermula dengan keindahan pada awalnya, indah pada semenjananya, indah pada penghujungnya. Merujuk pada apakah kondisi ini? 1] kebajikan; 2] konsentrasi; 3] kearifan. Semuanya indah. Semuanya bermula dengan menjadi indah pada awalnya. Jika permulaannya indah, maka indahlah semenjananya. Jika kita dapat mempraktikkan pengendalian diri dengan nyaman, selalu berhati-hati dan cermat sampai pada titik di mana pikiran kita telah terbiasa dengan tindakan menjaga segala hal dan mempraktikkan pengendalian diri, selalu berhasrat, selalu teguh, maka kualitas keteguhan dalam tugas dan dalam pengendalian diri ini punya nama yang berbeda. Ia dinamai “konsentrasi.”
Kualitas dalam mempraktikkan pengendalian diri, selalu menjaga tubuh Anda, menjaga ucapan Anda, menjaga segala sesuatu yang akan muncul dengan cara ini; inilah yang disebut “kebajikan.” Kualitas untuk berteguh dalam pengendalian diri disebut sebagai sesuatu yang lain: “konsentrasi,” keteguhan dalam menetapkan pikiran. Teguh dalam keasyikan ini, teguh dalam keasyikan itu, selalu menahan diri. Ini disebut konsentrasi. Kadar konsentrasi ini bersifat eksternal, walaupun ada pula sisi internalnya. Pastikan Anda selalu memiliki konsentrasi. Hal ini harus menjadi keutamaan.
Jika Anda berteguh dalam semua ini — jika Anda memiliki kebajikan dan konsentrasi — maka Anda pun memiliki kualitas untuk merenungkan apa yang benar dan apa yang salah. “Benarkah ini?” “Salahkah ini?” Pertanyaan-pertanyaan ini muncul bersama dengan keasyikan apa pun yang muncul di dalam pikiran: ketika penglihatan membuat kontak, ketika suara membuat kontak, ketika penciuman membuat kontak, ketika indra peraba membuat kontak, ketika gagasan membuat kontak. Si pencerap akan muncul, kadang bahagia, kadang sedih, kadang senang. Si pencerap tahu mana keasyikan yang baik, mana yang buruk. Anda akan dapat melihat segalanya. Jika Anda menahan diri, Anda akan dapat melihat semua yang timbul, demikian pula reaksi di dalam batin, di dalam si pencerap. Anda dapat merenungkannya. Karena Anda telah mempraktikkan pengendalian diri dan melaksanakannya dengan teguh, maka ketika apa pun melintas di dalamnya, reaksi yang berkenaan dengan tindakan fisik, ucapan, dan batin Anda akan tampak dengan sendirinya. Semua yang baik atau buruk, benar atau salah akan muncul. Dan ketika Anda memilih atau menentukan keasyikan yang tepat, inilah yang dinamai “selaput tipis kearifan.” Kearifan ini akan muncul di dalam hati Anda. Inilah yang disebut kebajikan, konsentrasi, dan kearifan sekaligus. Demikianlah mereka pertama-tama muncul.
Sumber: https://buddhismnow.com/2016/04/12/the-precepts-isnt-hard-by-ajahn-chah/
Diterjemahkan oleh Glanto Widianto dan disunting oleh Stanley Khu.