Apa yang Anda lakukan jika berkunjung ke Borobudur? Jawaban yang paling umum adalah jalan-jalan dan foto-foto. Monumen Buddhis yang menyimpan kebijaksanaan sedemikian mendalam selama berabad-abad itu kini dipandang sebagai sekedar obyek wisata. Meski demikian, kita masih berkesempatan mendengarkan sekelumit pelajaran dari relief Candi Borobudur di Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) yang berlangsung pada tanggal 23-25 November 2017. Acara ini diselenggarakan oleh Samana Foundation untuk keenam kalinya dengan tema “Gandawyuha dan Pencarian Religiusitas Agama-Agama Nusantara”. Di acara ini, penulis, pecinta budaya, seniman, tokoh agama, dan banyak orang dari berbagai kalangan berkumpul untuk menghayati Gandawyuha, sutra Buddha Mahayana yang terukir di dinding lorong kedua, ketiga, dan keempat Candi Borobudur. Peserta dapat mengikuti berbagai seminar, pertunjukan kesenian, pameran dan peluncuran buku, pameran foto, pameran lontar dan naskah kuno, dan menyaksikan berbagai pertunjukan kesenian Nusantara.
Tim Kerja dan Kuratorial BWCF 2017 di sesi pembukaan
Gandawyuha merupakan sutra Buddha Mahayana berisi perjalanan Sudhana, seorang pangeran muda yang berkelana mencari guru spiritual yang dapat membimbingnya menemukan kebenaran sejati dan mencapai penerangan sempurna. Dalam perjalanannya, Sudhana belajar dari banyak guru baik dari kalangan manusia, dewa, hingga Bodhisatwa Awalokiteswara dan Samantabhadra. Dalam pidato pembukaan acara BWCF ini, Romo Mudji Sutrisno SJ menjelaskan relief Gandawyuha di Borobudur sebagai symbol toleransi dan pluralisme Nusantara. Meski kisahnya merupakan sutra Buddha Mahayana, Pangeran Sudhana berguru tidak hanya kepada tokoh Buddhis saja. Gandawyuha berisi pencarian kebenaran sejati yang universal, berkebudayaan, dan menghormati unsur local yang penuh nilai altruisme. Karena itulah di tengah maraknya isu fanatisme dan intoleransi agama di Indonesia akhir-akhir ini, Gandawyuha dipilih menjadi tema BWCF 2017.
Prof. Noerhadi Magetsari memberikan seminar dengan topik “Candi Borobudur Sebagai Perwujudan Dharma”
Yang menarik lagi dari BWCF 2017 adalah seminar dari Prof. Dr. Noerhadi Magetsari dengan judul “Candi Borobudur sebagai Perwujudan Dharma”. Profesor Noerhadi adalah penulis buku “Candi Borobudur: Rekonstruksi Agama dan Filsafatnya” dan banyak tesis serta artikel yang berhubungan dengan Borobdur, satu dari sedikit tokoh yang berdedikasi mempelajari Borobudur dari sisi filsafat dan spiritual. Beliau menjelaskan Candi Borobudur sebagai bangunan yang melambangkan tahapan jalan menuju pencerahan yang berhubungan dengan filsafat Yogacara, salah satu aliran filsafat Buddhis yang dikembangkan Asanga dan Vasubhandu, guru besar Universitas Biara Nalanda dari abad 5 M. Beliau juga menemukan koneksi antara Borobudur dengan karya filsuf-filsuf Nalanda termasuk Shantidewa, penulis kitab Bodhicaryawatara yang hidup sezaman dengan masa pembangunan Borobudur.
Pasti bukanlah sebuah kebetulan bahwa buku “Lakon Hidup Sang Penerang”, terjemahan Bahasa Indonesia dari Bodhicaryawatara karya Shantidewa, juga diluncurkan di BWCF 2017. Stanley Khu, sang penerjemah sekaligus kepala editor Penerbit YPPLN yang mengeluarkan buku tersebut, memberikan penjelasan singkat mengenai sosok Shantidewa dan karyanya yang kini merupakan bacaan filsafat klasik yang direkomendasikan oleh tokoh spiritual seperti peraih nobel perdamaian HH Dalai Lama XIV hingga menjadi salah satu buku wajib pengusaha muda menurut situs entrepreneur.com.
Sesi peluncuran buku di hari pertama, 23 November 2017
Mata acara lain yang berhubungan langsung dengan Buddhadharma adalah pameran foto di Hotel Manohara Magelang dengan tajuk “Tempat Atisha Belajar Bodhicitta”. Seperti yang kita ketahui, Atisha adalah guru besar dari India yang berguru selama 12 tahun kepada Guru Swarnadwipa Dharmakirti di Sriwijaya. Setelahnya, beliau menulis kitab “Bodhiptapradipa” atau “Pelita Sang Jalan Menuju Pencerahan” yang merangkum semua ajaran Buddha yang diurutkan dalam panduan praktik yang sistematis untuk mencapai kebuddhaan. Dalam pameran foto ini, ditunjukkan foto reruntuhan Universitas Biara Nalanda tempat beliau belajar di India, Candi Muaro Jambi tempat beliau belajar di Sriwijaya, dan reruntuhan Biara Vikramasila, institusi Pendidikan filsafat Buddhis setara Nalanda yang beliau kepalai.
Pameran buku di BWCF 2017 dihadiri oleh berbagai penerbit buku Buddhis maupun sekuler, salah satunya adalah Penerbit YPPLN yang menerbitkan buku “Lakon Hidup Sang Penerang”
Selain itu, ada pula ceramah umum mengenai Gandawyuha oleh Salim Lee. Ceramah ini diberikan di dua lokasi, pertama langsung di situs Candi Borobudur dan kedua di Pendopo Witarka, Manohara. Pengunjung juga bisa melihat naskah asli Gandawyuha di pameran lontar dan naskah kuno atau mengikuti seminar-seminar lain yang membahas religiusitas di Nusantara, menyaksikan film dokumenter, serta berbagai pertunjukan seni dan budaya.
Ceramah umum tentang Gandawyuha bersama Salim Lee
Dalam empat hari saja, banyak sekali yang bisa dipelajari dari Borobudur Writers dan Cultural Festival 2017. Berbagai sesi dalam acara ini semakin mengukuhkan Borobudur sebagai bukti bahwa Buddhadharma merupakan bagian dari sejarah dan identitas bangsa yang pluralis, serta sarat akan nilai-nilai universal yang bermanfaat bagi semua orang dari semua kalangan. Kali berikutnya kita ke Candi Borobudur, selain foto-foto dan jalan-jalan, kita juga bisa mengambil waktu sejenak dan merenungkan kisah pencarian dharma sejati yang diwariskan kepada kita oleh leluhur kita!