(Catatan: isi artikel ini merupakan opini dari sudut pandang narasumber non-Buddhis sehingga belum tentu sepenuhnya menggambarkan nilai-nilai Buddhis.)
Dua agama dengan pengikut terbesar di Asia Tenggara adalah Islam dan Buddha. Dari total populasi 618 juta orang, 42 persen adalah Muslim dan 40 persen beragama Buddha. Lalu, 25 persen dari 1,6 miliar umat Muslim di dunia dan 38 persen dari 350 juta umat Buddha di dunia berada di Asia Tenggara. Namun, dialog antara dua agama ini sangat jarang terjadi sekarang ini. Untuk membahas permasalahan ini, anggota staf CRCS, Azis Anwar, mewawancarai Prof. Imtiyaz Yusuf, direktur Center for Buddhist-Muslim Understanding dari Mahidol University, Thailand. Beliau mendapatkan gelar Doktor di Temple University, tempat dia belajar di bawah bimbingan Ismail Raji al-Faruqi. Prof. Yusuf telah banyak menulis catatan ensiklopedia dan artikel-artikel harian, serta menjadi penulis tetap untuk surat kabar “Thai Newspaper”. Beberapa karyanya bisa diakses di akun academia.edu. Selama sesi antara di CRCS dari tanggal 15 Mei sampai 31 Juli, Prof. Yusuf mengajarkan mata kuliah Hubungan Muslim-Buddhis.
Kapan dan bagaimana pertemuan pertama kali antara Muslim dan Buddhis?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, saya akan mengatakan bahwa Indonesia adalah tanah Buddha. Borobudur, yang dibangun pada abad ke-9 pemerintahan dinasti Sailendra, mencerminkan tradisi Mahayana. Dua tradisi Buddhisme yang masuk ke Jawa adalah Mahayana dan Wajrayana. Therawada tidak masuk ke Indonesia. Therawada datang dari India ke Sri Lanka, Myanmar, Laos, Thailand, dan Kamboja. Tradisi Mahayana masuk ke Indonesia langsung dari Nalanda di India. Raja Sailendra selalu memberikan persembahan kepada universitas Buddhis yang tersohor ini. Dan, coba perhatikan bahasa yang Anda pakai setiap harinya. Sekarang Anda sedang berpuasa, kan? Puasa berasal dari kata Sanskerta, yaitu upawasa. Anda banyak memakai kata-kata yang berasal dari bahasa Sanskerta. Indonesia memiliki kebudayaan Hindu–Buddha yang kuat. Tetapi sayangnya, orang-orang melupakan atau mengabaikannya.
Sekarang, Anda bertanya kapan pertemuan pertama terjadi. Ini terjadi pada abad ke-7, ketika umat Muslim datang ke tempat yang disebut Sindh, yang sekarang berlokasi di Pakistan. Mereka datang menjumpai kuil-kuil Buddhis dan para biksu. Muhammad ibn Qasin (seorang jenderal dari dinasti Umayyad) adalah orang pertama yang datang ke sana. Dia menulis kepada Al-hajjaj ibn Yusuf (seorang gubernur Umayyad): Apa yang harus saya lakukan terhadap orang-orang yang bukan Muslim? Hal pertama yang Al-hajjaj ibn Yusuf katakan adalah: perlakukan mereka sebagai Ahl Al-kitab (orang-orang kitab; kategori yang secara umum merujuk pada umat Yahudi dan Kristen). Instruksi kedua adalah: jangan serang biksu mereka. Ketiga: jangan hancurkan kuil-kuil mereka. Keempat: pungut jizyah dari mereka (jizyah adalah pajak per kapita bagi laki-laki merdeka yang bukan Muslim sebagai kompensasi atas perlindungan dan pembebasan dari wajib militer). Inilah cara Muslim memperlakukan Buddhis, jauh sebelum orang Barat mengenal Buddha.
Tiga sarjana penting Muslim yang bergiat dalam sejarah dan agama komparatif membicarakan sosok Buddha dengan penuh penghargaan. Al-tabari (838-923) melaporkan bahwa patung-patung Buddha dijual di kuil Buddha yang bersebelahan dengan masjid Makh di pasar Bukhara, yang sekarang berlokasi di Uzbekistan. Muhammad ibn ‘Abd Al-karim Al-shahrastani (1086-1153), dalam sebuah bab berjudul Ara’ Al-hind (Pandangan Orang India) dalam kitab klasiknya yang berjudul Al-milal wa Al-nihal (Kitab Aliran Agama dan Filsafat), mempersamakan Buddha dengan tokoh Al-quran, Al-khidr, yakni seorang pencari pencerahan. Rashid Al-din Hamadani (1247-1318) dari kerajaan IIkhanid Persia menulis pengenalan tentang Buddhisme dalam Jami Al-tawarikh (Ikhtisar Kronik) dengan tujuan untuk membuat Buddhisme dapat diterima oleh Muslim.
Dari abad ke-12 sampai abad ke-15, pertemuan antara Islam dan peradaban Hindu-Buddha di Indonesia, Malaysia, dan Thailand ditandai oleh sesuatu yang bersifat mistis. Pondok pesantren tampaknya juga dipengaruhi oleh tradisi dari kuil-kuil Hindu-Buddha.
Beberapa penerjemah Al-quran mengatakan bahwa Buddha disebutkan dalam Al-Quran.
Dhul-Kifli?
(Dhul-Kifli disebutkan di dalam Al-quran dan biasanya ditafsirkan sebagai Nabi Ibrani: Yehezkiel. Tetapi, beberapa pihak menghubungkannya dengan Buddha, karena kata “Kafil” boleh jadi adalah “Kapilawastu”, kota kuno di mana Siddhartha Gautama dilahirkan dan dibesarkan)
Dhul-Kifli dan Wat-ini (surah ke-95 dari Al-quran)! Wat-tini waz-zaytun; wa turi sinin; wa hadhal-baladi ‘l-amin (dengan buah ara dan zaitun; dan dengan gunung Sinai; dan dengan kota teraman (Mekkah). Surah ini lebih penting dari Dhul-Kifli. Terdapat empat simbol dalam surah ini. Az-zaytun adalah Isa (Yesus), Sinin adalah Musa. Al-balad al-amin adalah Nabi Muhammad. Bagaimana dengan tin? Tidak ada buah ara di Arabia. Di sisi lain, Buddha mencapai pencerahan di bawah pohon Bodhi, sejenis buah ara yang nama lainnya adalah ficus religiosa.
Jika Anda pergi ke beberapa sarjana, seperti Muhammad Hamidullah (1908-2002, seorang sarjana hukum Islam berkebangsaan India dan pengarang lebih dari 250 buku), mereka berargumen bahwa Buddha disebutkan secara simbolik di dalam Al-quran. Allah mengatakan dalam Al-quran, “Laqad arsalna rusulan min qablika” (Kami telah mengirimkan utusan sebelum Engkau, beberapa Kusebutkan, beberapa tidak Kusebutkan) (lam naqsus ‘alayk, mengacu pada QS 40:78). Dan Allah mengatakan bahwa mereka (para nabi) datang kepada orang-orang yang berbicara dalam bahasa mereka masing-masing.
Saat ini, Muslim melihat Buddhis melakukan ritual di depan sebuah patung dan beranggapan bahwa mereka adalah penyembah patung tersebut, yang mana dapat dilihat sebagai syirik atau pemujaan berhala. Apa pendapat Anda tentang ini?
Semua gagasan tentang tawhid dan syirik adalah konsep Islam. Dalam Buddhisme, tidak ada syirik. Pergilah dan tanyakan kepada umat Buddhis (dan saya telah bertanya kepada mereka berjuta kali): apa yang Anda lakukan ketika memberikan penghormatan pada patung tersebut? Mereka mengatakan: kami memberikan penghormatan pada ajaran Buddha; kami tidak memberikan penghormatan pada patung tersebut. Buddha sendiri mengatakan, ”Aku bukan Tuhan,” dan ini jugalah yang dikatakan oleh Nabi Muhammad. Umat Buddhis tidak menyembah patung atau batu. Gagasan ihwal syirik berasal dari konsep monotheistik sebuah agama. Jadi, Buddhis bukan pemuja berhala. Buddha sendiri menolak dewa-dewa Hindu.
Umat Buddhis tidak memiliki Tuhan. Benarkah?
Umat Buddhis bukan atheis. Buddha hanya mengatakan bahwa Tuhan tidak penting, bahwa manusialah yang penting. Beliau berada di India, tempat eksisnya sistem kasta. Jadi, beliau tidak mempermasalahkan konsep Tuhan. Hal yang paling penting adalah menolong sesama manusia yang menderita akibat eksploitasi dari sistem kasta Brahmana. Masalahnya adalah bagaimana Anda menyelamatkan umat manusia. Sekali lagi, Buddha sendiri mengatakan bahwa beliau bukan Tuhan. Beliau adalah seorang pengajar, seorang guru.
Dalam salah satu makalah Anda tentang Islam dan Buddhisme, Anda membicarakan tentang konsep realitas tertinggi dalam Buddhisme, dan Anda menganggap hal ini sebagai sesuatu yang sejajar dengan konsep Tuhan dalam agama monotheistik.
Buddha mengatakan bahwa ada sesuatu yang Abadi, yang Tak Dilahirkan. Tanpa adanya sesuatu yang Tak Dilahirkan ini, takkan ada apa pun yang bisa eksis. Inilah yang disebut Dharma, yang bermakna Hukum Abadi, Realitas Tertinggi. Dharma dan Tuhan adalah sama. Allah juga kekal. Dharma bukan sesosok individu. Allah juga bukan sesosok individu. Masalahnya adalah: umat Muslim berpikir bahwa Allah adalah sesosok individu karena mereka terpengaruh oleh tradisi Kristen yang telah mempersonifikasikan sosok Tuhan.
Allah memiliki sifat yang merupakan bagian dari esensi-Nya. Dan sifat-Nya adalah bila kayfa; mereka tidak memiliki kualitas yang identik dengan kualitas manusia. Sekarang, jika Anda melihat Buddhisme, Anda akan menemukan Dharma, Ajaran Abadi yang dipelajari oleh para guru. Dharma adalah Tuhan bagi mereka; sama halnya, Allah adalah Tuhan bagi umat Muslim.
Masalahnya adalah: kita telah mengabaikan studi Buddhisme. Di masa lampau, di Jawa, Muslim dan Buddhis dapat berdialog bersama karena kesamaan antara tawhid dan sunyata. Dalam tawhid, Allah tidak memiliki bentuk. Sunyata juga tidak mempunyai bentuk. Inilah alasan mengapa orang Jawa dapat menjadi Muslim, bukan karena jihad atau alasan lainnya; ada kecocokan antara tawhid dan sunyata. Al-quran juga mengatakan tentang ummatan wasatan (bangsa tengah); syariah Islam adalah wasatiyya (menjadi moderat). Buddhisme juga memiliki Majjhima-pattipada (jalan tengah).
Lebih jauh, Buddhisme yang masuk ke Indonesia adalah aliran Mahayana. Dalam Mahayana, konsep tentang Bodhisatwa sangatlah penting. Bodhisatwa adalah orang yang akan mencapai pencerahan tetapi menunda pencerahannya demi menolong banyak orang. Dalam Islam, ada konsep yang sama: al-insan al-kamil. Persamaan lainnya adalah konsep Nur Muhammad dan konsep Tathagata, Buddha yang tercerahkan.
Jadi, terdapat banyak persamaan. Masalahnya adalah: umat Muslim tidak cukup banyak mempelajari Buddhisme. Muslim memiliki sejarah yang panjang dengan Kristen dan tak ada banyak kedamaian di antara mereka, sementara di sini, di Asia Tenggara, di negara-negara ASEAN, Muslim dan Buddhis menjadi populasi mayoritas, sekitar 40-40 persen, tetapi keduanya tidak saling mengenal satu sama lain. Dalam 900 tahun koeksistensi Islam dan Buddhisme, dari abad ke-12 sampai abad ke-21, dengan sangat menyesal saya katakan bahwa tidak ada satu pun sarjana Muslim di Asia Tenggara yang mendalami Buddhisme.
Melanjutkan penjelasan Anda, mengapa umat Muslim di Asia Tenggara tidak lagi mempelajari Buddhisme?
Sejak masa penjajahan, umat Muslim mengalami masalah perebutan kekuasaan. Muslim yang memerintah, termasuk di Asia Tenggara, tiba-tiba kehilangan kekuasaan karena direbut oleh Belanda, Inggris, Prancis, dan lainnya. Tradisi untuk mempelajari agama lain tidak dapat berkembang karena ruang tersebut telah hilang, terisi oleh orang asing yang mengacaukan kebudayaan dan institusi pendidikan Muslim. Umat Muslim kemudian tidak lagi mempelajari agama Asia seperti Buddhisme, Shaiwaisme, Konfusianisme, dan Taoisme karena ketiadaan waktu; Muslim kehilangan kekuatan mereka. Buddhis juga kehilangan kekuatan mereka. Dhammaraja (raja Buddhis) terakhir di Myanmar (sebagai salah satu kerajaan Buddhis yang penting) telah diasingkan oleh Inggris ke India. Dhammaraja dari kerajaan Buddhis lain juga telah dilengserkan atau diasingkan. Satu-satunya Dhammaraja yang tersisa adalah Thailand; mereka tidak dijajah dan masih memiliki tradisi Dhammaraja. Thailand adalah negara Buddhis terbesar di Asia Tenggara.
Di sisi lain, para penjajah membuat agama menjadi identitas etnik. Agama menjadi bersifat etnik. Jika Anda orang Melayu, maka Anda adalah Muslim. Jika Anda orang Siam, maka Anda adalah Buddhis. Jika Anda orang Burma, maka Anda adalah Buddhis.
Jadi, masalah kita adalah: di satu sisi, studi antar agama telah diabaikan, dan di sisi lainnya, telah terjadi etnifikasi agama. (bersambung)
Sumber: Muslims Don’t Study Buddhism Enough: An Interview with Prof. Imtiyaz Yusuf (part 1)
diterjemahkan oleh: Sansan Diana | disunting oleh: Stanley Khu