31 DESEMBER 2016—Hari terakhir di tahun 2016 bertepatan dengan hari terakhir sesi pengajaran “Baris-Baris Pengalaman” karya Je Tsongkhapa oleh Biksu Bhadraruci di acara Indonesia Lamrim Retreat 2016, Gedung Prasadha Jinarakkhita Jakarta. Penjelasan di sesi ini diawali dengan merenungkan betapa waktu cepat berlalu. Kita belum benar-benar memanfaatkan waktu dengan baik, malah menerjunkan diri dalam gaya hidup yang sia-sia dan tak berfaedah. Tanpa terasa, waktu terus berlalu, dan suatu hari, tanpa kita sadari, ajal kita pun tiba. Kita sibuk mengejar pencapaian sementara dalam kehidupan sekarang, padahal kehidupan yang akan datang tentu jauh lebih panjang ketimbang masa sekarang dan tak ada jaminan kita bisa kembali terlahir menjadi manusia. Mumpung kita masih memiliki semua kondisi yang dibutuhkan untuk mengupayakan kebahagiaan di masa depan, kita mesti memanfaatkannya dengan baik. Dengan kata lain, kita harus mencicil kebahagiaan masa depan kita mulai dari sekarang.
Hidup kita ibarat sebutir telur. Dunia di dalam telur adalah batin kita, sedangkan dunia di luar telur adalah lingkungan di sekeliling kita. Karena batin kita terhalang oleh cangkang untuk melihat dunia yang ada di luar sana, cangkang ini mesti dilubangi. Lubang pada cangkang ini adalah indra kita. Dari lubang atau indra ini, kita mengintip ke luar untuk mencerap segala fenomena yang ada. Proses ini sendiri menyiratkan bahwa kita menangkap fenomena melalui indra kita dan membawanya masuk ke dalam dunia kita untuk dipahami lebih lanjut. Apa artinya? Artinya, objek apa pun yang kita tangkap melalui indra pada dasarnya bersifat netral; komentar batin kita atas objeklah yang memberi mereka warna – menyenangkan, tak menyenangkan, baik, buruk, dst. Jika kita merasa tidak nyaman akibat fenomena yang kita tangkap dari luar, yang harus kita ubah adalah cara pandang kita.
Mengubah cara pandang berarti menyikapi segala sesuatu yang terjadi dengan cara yang positif. Namun, bagaimana pemikiran positif ini bisa muncul, atau bagaimana batin kita bisa memberi komentar yang positif kalau kita sendiri tak punya simpanan karma baik yang memadai? Kita harus mengumpulkan sebanyak mungkin karma bajik agar pemikiran positif ini senantiasa muncul dalam batin kita dalam situasi apapun.
Dalam hidup ini tidak ada yang pasti. Kita bisa memutuskan untuk melakukan sesuatu pada waktu tertentu. Namun, ketika waktunya tiba, ada banyak faktor yang dapat membuat rencana kita tidak terjadi. Hidup kita tidak bebas karena selain tak mampu memastikan apapun, kita juga akan kehilangan setiap kebahagiaan yang kita alami. Karena itu, hakikat hidup ini adalah menderita. Klesha atau kekotoran batin kita membuat kita menciptakan karma yang memaksa kita berputar-putar di samsara untuk mengalami akibat dari yang telah kita lakukan.
Kita bisa membebaskan diri dari samsara, namun untuk itu diperlukan tekad yang kuat. Saat ini, tekad untuk terbebas dari samsara menjadi semakin sulit karena dunia yang kita tinggali sudah menjadi semakin nyaman. Dengan kata lain, hidup terlalu nyaman itu tak enak karena penolakan samsara akan susah dimunculkan. Kita ibarat sedang mendorong bola yang amat besar ke puncak bukit. Kelahiran kita sebagai manusia menandakan kita sudah berhasil mendorong bola hingga hampir tiba di puncak. Namun, jika bola ini terlepas dari tangan kita dan jatuh ke bawah, maka kita harus memulai kembali seluruh upaya kita dari titik awal, yaitu alam rendah. Kita bahkan bisa tergencet dan tak bisa bangkit lagi. Pernyataan ini tak dimaksudkan untuk menakut-nakuti kita, juga tak bermaksud untuk bernada kejam. Dharma itu tidak kejam. Dharma hanya berbicara tentang kenyataan dan kenyataan memang nyatanya kejam. Bahkan, kalau dipikir-pikir, sebenarnya kitalah yang kejam pada diri kita sendiri. Kita adalah orang yang kejam karena sama sekali mengabaikan masa depan kita karena sama sekali tak peduli dengan nasib dari diri kita di masa yang akan datang.
Terbebas dari penderitaan samsara merupakan motivasi utama bagi makhluk berkapasitas menengah dari tiga jenis praktisi. Lebih jauh lagi, ketika menyadari betapa menderitanya samsara, kita bisa pula melihat bahwa makhluk lain mengalami penderitaan yang sama dengan yang kita alami. Setiap kebahagiaan yang pernah kita rasakan sesungguhnya merupakan berkat kebaikan hati makhluk lain. Nasi yang kita makan merupakan hasil kerja keras petani, kita bisa bepergian dari rumah ke kantor berkat supir busway, dsb. Buddha juga mengajarkan bahwa semua makhluk bisa jadi merupakan ibu kita di kehidupan lampau.
Menjadi Buddha adalah satu-satu caranya untuk menolong semua makhluk dari penderitaan samsara. Rasa iba disertai tekad kuat untuk mencapai Kebuddhaan yang timbul karena tak tahan melihat penderitaan makhluk lain inilah yang disebut dengan “bodhicitta” atau batin pencerahan. Ini merupakan titik awal seseorang termasuk kategori praktisi ketiga, yaitu yang motivasinya adalah menjadi Buddha demi kebahagiaan semua makhluk.
Setiap karma baik yang dilandasi oleh bodhicitta berarti ditujukan untuk kebahagiaan semua makhluk yang tak terhingga jumlahnya. Oleh karena itu, buah yang diterima juga besarnya tak terhingga. Bahkan perbuatan kecil seperti memberi remah-remah kepada seekor semut dapat membuahkan hasil yang besar. Dengan prinsip tersebut, seseorang yang memiliki bodhicitta menapaki jalan Bodhisatwa, melakukan kebajikan untuk menyempurnakan paramita seperti kemurahan hati (dana), moralitas (sila), kesabaran (ksanti), daya upaya bersemangat (viriya), konsentrasi (Samadhi), dan kebijaksanaan (prajna). hingga Kebuddhaan diraih.
Penjelasan tersebut merupakan penghujung dari sesi pengajaran lamrim “Baris-Baris Pengalaman” di Indonesia Lamrim Retreat 2016. Sebagai penutup sesi, Biksu Bhadraruci menekankan bahwa struktur lamrim yang telah dijelaskan bukanlah ajaran untuk aliran tertentu, melainkan sebuah pedoman yang membantu kita dalam mempelajari Dharma dari aliran atau tradisi manapun.