Oleh: Basuki
Sore itu seorang lelaki ngomel tidak jelas didepan teras rumah. Beliau nampak kebingungan, dikarenakan atasannya meminta untuk mengembalikan uang, sementara yang dituju juga menolak menerima uang tersebut. Kira-kira itulah yang dirasakan oleh Wangsa Widjaja selaku seketraris Mohammad Hatta saat itu, bingung dan sedikit jengkel. Cerita bermula dari ketika Hatta mendapatkan uang pengobatan dari pemerintah untuk berobat keluar negeri, sepulangnya Hatta menghitung dan masih terdapat sisa uang Negara, jadi Hatta meminta sekretarisnya untuk mengembalikan ke sekretaris Negara (Setneg). Setneg merasa aneh untuk menerimanya sehingga menolak dan meminta agar uang dikembalikan kepada Hatta, dilain pihak Hatta juga bersikeras bahwa uang itu harus kembali kepada Negara.
Yah, itu lah sepenggal cerita bagaimana Mohammad Hatta sangat displin dan tegas terhadap keuangan Negara. Kelak beberapa tahun setelah itu, Hatta harus mengajukan surat keterangan tidak mampu bayar ketika ada tagihan listrik dan pbb dikarenakan uang pensiunan wakil presiden tidak mencukupinya. Mohammad Hatta dengan jelas berprinsip teguh untuk tidak mengambil yang bukan haknya, dan dengan tegas menentang korupsi, beliau berpendapat “Sikap manusia sepadan dengan caranya mencari makan”.
Terlahir dengan nama Mohammad Athar pada 12 Agustus 1902, Hatta kecil sudah menunjukkan kecintaannya pada buku, dan displin dalam hidup. Beliau pernah menangis berhari-hari ketika tahu buku tulis barunya sudah dipakai pamannya tanpa minta izin terlebih dahulu. Ketika pamannya membelikan buku tulis baru sebagai permintaan maaf, beliau menolak untuk menggunakannnya, bagi Hatta kecil prinsip yang sudah dilanggar tidaklah bisa tergantikan.
“Selama dengan buku, kalian boleh memenjarakanku dimana saja, karena dengan buku aku merasa bebas”, itulah pesan Hatta kepada pemerintah Kolonial Belanda. Pernah suatu ketika Hatta diasingkan di Digul-Papua, karena Hatta memperkirakan akan berlangsung 10 tahun, maka Hatta mempersiapkan banyak buku untuk dibaca selama di pengasingan. Pemerintahan kolonial pada waktu itu perlu menyiapkan dua peti sangat besar hanya untuk membawa koleksi buku-buku Hatta, sedangkan untuk keperluan pribadinya, Hatta hanya perlu tas berukuran biasa. Bagi Hatta “membaca tanpa merenung adalah bagaikan makan tanpa dicerna” oleh karena itu Hatta bisa saja membaca satu buku beberapa kali, bila dirasa oleh beliau buku tersebut kurang untuk direnungkan secara seksama.
Warisan yang ditinggalkan oleh Hatta untuk bangsa ini lebih berupa pendidikan karakter manusia Indonesia dan prinsip ekonomi gotong royong. Pendidikan karakter jelas dapat kita lihat bagaimana Hatta menjunjung tinggi integritas, dan displin waktu serta menentang dengan keras segala bentuk korupsi, walaupun ada beberapa orang mengatakan hal tersebut bisa dimaklumi. Contohnya adalah suatu ketika ibunda Hatta yang sudah berpindah ke Sukabumi sedang sakit dan perlu dibawa ke rumah sakit lebih besar di Jakarta, satu-satunya kendaraan yang tersedia bagi Hatta saat itu adalah mobil kepresidenan-nya. Hatta bersikeras agar tidak menggunakan mobil dinas tersebut, melainkan biar pamannya saja yang memiliki mobil yang menjemput ibunya. Seluruh keluarga berusaha menyakinkan bahwa hal itu tidak apa-apa dan rakyat akan memakluminya, namun tidak dengan Hatta. Bagi Hatta penggunaan mobil dinas untuk kepentingan pribadi walaupun itu bisa dimaklumi, tetaplah suatu pelanggaran moral yang berat.
Prinsip ekonomi yang dimiliki oleh Hatta juga merupakan bukti kecerdasan beliau. Ekonomi gotong royong yang menjadi trend saat ini juga tidak terlepas dari pemikiran beliau. Menurut Hatta, orang tidaklah harus menjadi pemilik untuk menjadi sejahtera, orang tidaklah harus menjadi kapitalis agar bisa sejahtera. Semua bisa diatasi dengan adanya prinsip ekonomi gotong royong. Sebagia contohnya lihat bagaimana amarda taksi online berjaya dan berkembang, namun sebenarnya mereka sendiri tidak memiliki satupun taksi. Begitu juga dengan beberapa bentuk jasa penginapan yang sebenarnya tidak memiliki satupun atap dibangunan tersebut, namun tetap sukses dan bahkan mulai menjamur dimana-mana. Itu hanya segelintir contoh dari prinsip ekonomi pemikiran Hatta kurang lebih 50 tahun yang lalu. Bisa kita lihat betapa visionernya beliau saat itu.
Bagi sebagian orang memang nama Hatta akan tenggelam dibalik Soekarno, namun jangan salah Soekarno sendiri pernah menghardik Aidit ketika Aidit berusaha mengecilkan peran Hatta. Hatta tidak lain ada untuk melengkapi Soekarno dalam mendirikan dan membangun fondasi Negara ini. Soekarno pun hadir untuk melengkapi Hatta, sehingga selamanya Dwitunggal tidak-lah terpisahkan. Bahkan ketika Hatta sudah berhenti dari jabatannya, beliau tetap membantu Soekarno melalui tulisannya di berbagai media. Terakhir mari kita renungkan kalimat dari Hatta berikut, yang ditujukan kepad kita semua generasi muda saat ini: “Hanya satu tanah yang menjadi tanah airku, dia tumbuh dengan perbuatan dan perbuatan itu adalah perbuatanku”
Dirgahayu Bung Hatta, 12 Agustus