Kontribusi dan pencapaian perempuan dirayakan dalam Hari Perempuan Internasional pada tanggal 8 Maret di lebih dari 25 negara, sementara Amerika Serikat juga menjadikan seluruh bulan Maret sebagai Bulan Sejarah Perempuan. Peringatan ini berperan sebagai panggilan aksi untuk keadilan dan kesetaraan gender. Dalam Sutra-Sutra Buddhis, perempuan muncul sebagai anak perempuan, ratu, istri dan ibu, guru dan murid, biarawati, wanita penghibur, perumah tangga, dewi, dan Bodhisatwa.

(dari Ayutthaya; kisah selengkapnya: The Play in Full.)
Dalam Sutra-Sutra seperti Pertanyaan Gangottara (Gaṅgottaraparipṛcchā), Pertanyaan Perempuan Tua (Mahallikāparipṛcchā), Pertanyaan Gadis Sumati (Sumatidārikāparipṛcchāsūtra), dan Perempuan Pengemis Kota (Nagarāvalambikā), kita membaca kisah-kisah tentang perempuan yang, melalui kebajikan, doa tulus, kecerdasan, tindakan bajik, dan sifat positif lainnya, berhasil melampaui kondisi duniawi mereka dan menerima ramalan dari Buddha tentang pencerahan mereka di masa depan. Lakon Ajaib Manjushri (Mañjuśrīvikrīḍita) menghadirkan tokoh wanita penghibur yang menerima ramalan serupa. Kisah-kisah ini mendorong kita untuk mengenali potensi inheren dalam setiap individu dan menegaskan bahwa pencerahan melampaui gender.
Sebagai contoh, Gangottara adalah wanita perumah tangga yang meninggalkan rumahnya untuk mengunjungi Buddha Sakyamuni di Hutan Pangeran Jeta, Taman Anathapindada. Buddha bertanya kepadanya dari mana dia berasal, memantik percakapan tentang sifat sejati hal-ihwal. Di antaranya, mereka mendiskusikan fakta bahwa, dari sudut pandang kebenaran tertinggi, segala hal, termasuk Gangottara sendiri, adalah ibarat ciptaan sulap, dan karenanya tidak ada yang datang atau pergi atau mengejar nirwana. Setelah percakapan mereka, sang Buddha tersenyum dan mengatakan bahwa ia akan mencapai parinirwana, sama seperti seribu perempuan perumah tangga lain yang bernama Gangottara.
Dalam Perempuan Pengemis Kota, persembahan satu pelita kecil dari perempuan miskin dibandingkan dengan ribuan pelita besar yang menyala terang dari persembahan raja setempat kepada Buddha. Ketika menyalakan pelita kecilnya dengan sangat sedikit minyak, perempuan itu membuat doa yang amat tulus agar ia juga suatu hari nanti mencapai pencerahan dan menjadi guru yang membabarkan Dharma, sama seperti sang Buddha. Setelah ia pergi untuk kembali kota, pelitanya yang sederhana menyala terang sepanjang malam dan tak bisa dipadamkan bahkan oleh angin badai dan hujan deras. Ketika Buddha menyaksikan hal ini, Beliau tersenyum dan meramalkan pencerahan perempuan itu sebagai Buddha yang lengkap sempurna.
“Perempuan pengemis kota menyalakan pelita dengan secuil minyak
Āryanagarāvalambikānāmamahāyānasūtra
Dan, dengan kekuatan bodhicita, ia menerangi seluruh dunia.”
Dalam Ramalan Asokadatta, Asokadatta, putri Raja Ajatasatru, awalnya dikira lancang karena tetap duduk ketika murid-murid Buddha yang termasyhur datang ke istana. Namun belakangan, gadis muda ini mengesankan para tetua dengan kefasihannya dan kemampuannya untuk mengungkapkan ajaran mendalam tentang kesunyataan segala fenomena–sedemikian hebat hingga ia pada akhirnya meraih pencerahan.
Sosok perempuan banyak hadir sebagai guru-guru bagi perumah tangga muda Sudhana dalam Gandawyuha, bab terakhir dari Sutra Avatamsaka. Sudhana menerima instruksi dari lima puluh kalyanamitra: laki-laki dan perempuan, anak-anak dan dewasa, manusia dan dewa, biarawan dan permuah tangga, termasuk dewi-dewi malam yang mengelilingi Buddha sera istri dan ibu sang Buddha.
Selain itu, dalam kitab suci, kita bisa menemukan contoh-contoh perempuan kuat lainnya yang menggugah, walau tidak semuanya condong ke arah pencapaian spiritual. Rekan Penerjemah Dr. Annie Heckman mencatat, “Dalam beberapa kasus, perempuan yang sangat independen dalam materi yang saya terjemahkan merupakan pembuat onar atau penantang batas dalam kasus aturan monastik Buddhis, seperti tokoh Sthulananda, seorang biksuni yang muncul di bagian Vinaya.”
Meskipun banyak contoh perempuan sebagai pengaruh positif dalam kanon Buddhis, ada paradoks yang mencerminkan pandangan yang bertentangan tentang perempuan. DI satu sisi, kita membaca penggambaran perempuan yang bijaksana, cerdas, dan fasih seperti Asokadatta. Di sisi lain, ada juga bait-bait di banyak kitab yang menggambarkan perempuan dengan cara yang merendahkan jika dilihat dari sudut pandang modern. Pada akhirnya, perempuan harus bertransformasi menjadi laki-laki untuk mencapai penerangan sempurna.
Baca juga: Spiritual Healing ke Alam Tara, Buddha Perempuan
“Sang membantu untuk mengingat bahwa kitab-kitab ini dibuat dalam lingkungan monastik dan mencerminkan apa yang tampak sebagai kepercayaan dominan bahwa Anda tidak bisa menjadi tercerahkan sepenuhnya sebagai seorang perempuan,” kata Dr. George FitzHerbert, penyunting penelitian 84000 yang mengulas Ramalan Asokadatta, “Kita bisa menerima ini sebagai semacam kiasan–bahwa Bodhisatwa perempuan harus bertransformasi menjadi laki-laki untuk menyesuaikan dengan norma sosial yang darinya kitab ini berasal,” ia menambahkan bahwa “ajaran yang sesungguhnya mengatakan bahwa itu semua adalah ilusi, gender tidaklah penting.”
Dr. Ana Cristina O. Lopes, rekan penerjemah 84000, mengatakan bahwa pendekatan kaku terhadap gender bisa dibandingkan dengan doktrin-doktrin seputar kesunyataan dan nondualitas untuk menciptakan semacam tensi yang produktif. Ajaran Vimalakirti memunculkan tensi ini melalui kisah seorang dewi yang mengubah Sariputra menjadi perempuan dan dirinya sendiri mengambil wujud Sariputra.
“Narasi seperti ini bisa membantu praktisi kontemporer untuk membedakan ajaran inti Buddhisme dari pengaruh sosial dan norma-norma pada masa itu yang merendahkan perempuan,” terang Ana, “Pendekatan ini memungkinkan pemahaman yang lebih berimbang yang menghormati tradisi sekaligus merangkul kemajuan.”
Diterjemahkan dari “Beyond Gender: Portrayals of Women in Sutras” oleh Carol Tucker dari 84000.co