Rabu, 11 September 2024, International Buddhis Confederation (IBC) bekerja sama dengan Vivekananda Institute Foundation (VIF) menyelenggarakan 2nd International Buddhist Media Conclave di Auditorium VIF, New Delhi, India. Pertemuan ini diisi oleh 20 panelis dari 14 negara dan dihadiri 200+ delegasi dari 18 negara dengan mengusung topik “Komunikasi Berkesadaran untuk Penghindaran Konflik dan Pembangunan Berkelanjutan”. Indonesia turut hadir diwakili oleh jurnalis senior Kompas Nina Susilo yang menjadi satu panelis, Yayasan Pelestarian dan Pengembangan Lamrim Nusantara (YPPLN/Lamrimnesia) selaku perwakilan media Buddhis, dan Kadam Choeling Indonesia (KCI) sebagai perwakilan komunitas Buddhis Nusantara.
Melalui konklaf ini, diharapkan media-media Buddhis bisa berperan aktif dalam menyebarkan narasi positif yang mengurangi polarisasi serta mendorong para pemimpin untuk menyelesaikan konflik atas dasar kepentingan bersama.
“Dunia ini tenggelam dalam kerakusan akan materi, seolah-olah tidak ada harapan. Namun, kita tidak boleh menyerah.”
Shartse Khensur Rinpoche Jangchup Choeden, Sekretaris Jendral IBC
Mengembangkan komunikasi berkesadaran
“Bila Buddha ada di masa kini, pasti tidak mengajarkan Buddhisme, melainkan etika atau tata perilaku yang universal dan mendorong kemanusiaan,” terang Geshe Dorji Damdul, sarjana Buddhis dan direktur Tibet House yang juga menjadi moderator panel pertama tentang peran media dan komunikasi di abad ke-21. Pernyataan tersebut Beliau kutip dari Yang Maha Suci Dalai Lama XIV, pemimpin Buddhisme Tibet penerima Nobel Perdamaian yang aktif mempromosikan pendidikan moral sekuler, penyelamatan lingkungan, dan pendekatan tanpa-kekerasan di tingkat global.
Komunikasi Berkesadaran (mindful communication) yang dimaksud dalam tema acara ini merujuk pada penerapan mindfulness, praktik hidup berkesadaran yang diturunkan dari nilai-nilai Buddhis yang kini populer di berbagai kalangan. Istilah mindfulness sendiri umumnya merujuk pada faktor mental ingatan (B. Pali: sati, B. Sanskerta: smrti), satu dari 11 faktor mental bajik yang dapat dilatih untuk meraih kebahagiaan. “Ingatan” yang dimaksud di sini tentunya bukanlah kemampuan otak menyimpan informasi, melainkan ingatan akan segala aspek yang dibutuhkan untuk menghindari ketidakbajikan dan menghimpun kebajikan. Dalam konteks komunikasi berkesadaran, hasil akhir yang diharapkan adalah pemberitaan yang faktual, berimbang, dan menyejukkan sehingga dapat mencegah konflik dan secara halus mendorong semua pengambil keputusan untuk lebih bijaksana dan welas asih.
Sebagian panelis secara khusus merinci poin-poin Dharma yang dapat diingat dalam praktik komunikasi berkesadaran. Panelis Dr. Sunoor Verma dari the Himalayan Dialogues, misalnya, menyebutkan bahwa Buddhisme lebih menekankan kesalingbergantungan (interdependence) alih-alih kebebasan (independence). Oleh karena itu, media harus senantia sadar bahwa setiap headline yang dilontarkan akan menghasilkan ripple effect yang mempengaruhi hidup banyak orang.
Benny Liow Woon Khin, editor majalah Eastern Horizons adal Malaysia, mengutip Guru Atisha Dipamkara Srijnana, salah satu tokoh paling penting dalam sejarah Buddhis dunia yang selama 13 tahun berguru di Bumi Nusantara.
“Ketika sedang di antara banyak orang, semoga aku menjaga ucapanku.
Atisha Dipamkara Srijnana
Ketika sedang seorang diri, semoga aku menjaga pikiranku.”
Lebih lanjut, ia memaparkan poin-poin lain yang dapat diterapkan dalam praktik komunikasi berkesadaran yang bersumber dari Abhisamayalankara, kitab Buddhis klasik yang wajib dipelajari cendekiawan Buddhis tradisi Nalanda, termasuk leluhur kita di Sriwijaya. Kemudian, pada akhirnya, ia mengingatkan bahwa tujuan dari seorang Buddhis adalah melatih batin menjadi bajik. Ketika ini sudah terwujud, maka segala bentuk komunikasi yang dilakukan tentunya akan ikut menjadi bajik dan bermanfaat bagi semua pihak.
Monsak Chaiveradech dari Thailand menarik topik komunikasi berkesadaran ini ke tingkatan yang lebih mendasar, yaitu “literasi diri” dalam artian mengenal diri sendiri dan lingkungan sebagai dasar berperilaku. Ketika seseorang telah mengenal dirinya dan lingkungannya, ia akan mengetahui apa yang bisa diubah atau dikembangkan dari dirinya, lantas mengambil langkah konkret untuk menginternalisasikan perubahan tersebut. Proses ini sejalan dengan praktik belajar, merenung, dan meditasi dalam Lamrim. Dr. Chaiveradech kemudian mengusulkan permainan kartu sebagai medium untuk melatih proses tersebut secara alamiah sejak dini.
Cara Buddhis menangani konflik
Panel berikutnya membahas pengalaman berbagai lembaga/media dalam hal menerapkan nilai-nilai Buddhis untuk menghindari konflik. Panel dibuka oleh Dharmacharya Shantum Seth dari Ahimsa Trust yang mengajak peserta praktik langsung untuk mengambil jeda dengan memperhatikan napas–kesempatan untuk mengambil tanggung jawab untuk mengubah diri menjadi lebih baik.
Dr. Prashant Sharma dari Dharma Alliance Geneva mengemukakan bahwa dalam berbagai konflik global, perspektif Buddhis masih jarang terdengar. Padahal, Buddhis telah lebih dulu membicarakan hal-hal yang bisa menjadi kunci pencegahan dan penyelesaian konflik, misalnya hak asasi manusia dan kesalingbergantungan. Media-media Buddhis diharapkan bisa lebih aktif bersuara di luar lingkarannya sendiri dan mengarusutamakan perspektif Buddhis terhadap isu-isu global.
Poin dari Dr. Sharma ditanggapi dengan contoh praktik nyata dari Buddhist True Network di Korea Selatan. Emi Hailey Hayakawa memaparkan bagaimana kanal televisi Buddhis non-sektarian ini fokus menyoroti proses pemulihan dan rekonsiliasi pada kasus tragedi gelombang kerumunan massa di Ittaewon, akhir Oktober 2022. Piyush Kulshreshtha dari Vipassana Research Institute kemudian memaparkan teladan Raja Ashoka, pemimpin Buddhis dari Dinasti Maurya, dalam mengupayakan perubahan-perubahan positif di skala lokal maupun global. Sebelum memutuskan untuk menganut agama Buddha, Raja Ashoka terkenal bengis dan banyak berperang guna memperluas daerah kekuasaan. Setelah menyadari kesalahannya, fokusnya berpindah pada upaya rekonsiliasi serta misi menyebarkan nilai bajik Buddhadharma di Asia Selatan.
Mewujudkan kesejahteraan yang tahan lama
Panel ketiga berisi pemaparan tentang kaitan nilai-nilai Buddhis dengan pembangunan berkelanjutan. Lady Mohini Kent Noon, sineas, duta IBC, dan pendiri Lily Foundation, menceritakan pengalaman Beliau menerapkan komunikasi berkesadaran untuk pemulihan dan pemberdayaan perempuan korban kekerasan. Ia juga memaparkan bagaimana parlemen Inggris kini memiliki “klub mindfulness” yang membantu mereka mengelola stres dan membuat keputusan dengan lebih bijak.
Dr. Don de Silva, konselor Buddhis dan mantan direktur senior United Nation Environment Programme, mengemukakan bagaimana ide tentang aktivisme lingkungan pertama kali diinisiasi oleh seorang Buddhis, tapi tidak banyak yang tahu karena kurang mendapatkan sorotan media. Ia kemudian lanjut memaparkan nasihat Buddha yang dapat dipraktikkan untuk mewujudkan Sustainable Development Goals (SDG).
Di bidang pendidikan, Alexandra Kallay dari Institute of Environmental and Ethics Education Republik Ceko mengingatkan bahwa aktivisme lingkungan tidak akan efektif jika tidak didasari oleh etika yang kokoh. Timnya telah berhasil menyusun kurikulum pendidikan etika dan lingkungan berbasis Buddhisme tradisi Gelug bekerja sama dengan Emory University dari Amerika Serikat. Kurikulum tersebut sudah diterapkan dalam sistem pendidikan Republik Ceko dari jenjang sekolah dasar hingga sekolah menengah.
Sebagai penutup panel, Ruhana Garuthara dari Buddhist Media Network Nepal mengingatkan bagaimana tubuh dan batin ibarat sepasang kayu bakar yang saling bertumpu pada satu sama lain. Kemudian, musisi Ricky Kej mempromosikan penggunaan seni untuk menginspirasi banyak orang agar lebih peduli terhadap lingkungan.
“Kita hanya melindungi apa yang kita sayangi, kita sayang pada apa yang kita kenal, kita kenal apa yang diajarkan kepada kita.”
Ricky Kej, musisi
Warisan untuk masa depan semua makhluk
Panel terakhir membahas pembentukan jejaring media Buddhis dan media sosial. Panelis asal Indonesia, Nina Susilo, mengangkat upaya menyempurnakan kebijaksanaan dan welas asih yang diwariskan kepada kita melalui Candi Borobudur sebagai dasar dari kode etik jurnalistik. Cara untuk mencapai kesempurnaan tersebut ada pada Lamrim atau Tahapan Jalan Menuju Pencerahan yang juga memiliki kaitan erat dengan sejarah Nusantara, tepatnya dengan Muara Jambi. Ia kemudian mengajak seluruh peserta untuk membangun jejaring media guna bertukar pengetahuan dan menyuarakan kebaikan.
Kemudian, Lim Kooi Fong dari Malaysia memperkenalkan NORBU (Neural Omniscient Robotic-bring for Buddhist Understanding), chatbot berbasis kecerdasan buatan yang dilatih khusus untuk menjawab pertanyaan pengguna dari sudut pandang Buddhis. Berbeda dengan perangkat kecerdasan buatan generatif lain yang dilatih dengan sumber data acak dan tidak bisa dipertanggungjawabkan, NORBU menggunakan sumber data dari kitab-kitab dan jurnal Buddhis terpercaya yang diverifikasi langsung oleh anggota Sangha dan cendekiawan Buddhis dari berbagai negara. Saat ini, NORBU sudah tersedia dalam bahasa Inggris, Tibet, Mandarin, Rusia, Hindi, Jepang, Myanmar, Sinhala, Bengali, Marathi, dan Thai. Saat ini, NORBU berbahasa Indonesia juga sedang dalam tahap pengembangan dan sudah bisa dicoba.
Satu lagi poin yang sangat penting untuk disadari dalam praktik komunikasi berkesadaran datang dari Tenzin Lekshay, juru bicara Central Tibetan Administration, yang turut hadir di panel ini. Ia mengatakan bahwa kita hidup di dunia yang sangat terpolarisasi. Semua orang ingin berhasil mempengaruhi orang lain. Akibatnya, konflik tidak dapat dihindari. Namun, Buddhisme sendiri terdiri atas filsafat, ilmu pengetahuan, dan ritual yang tujuannya adalah memberikan manfaat kepada semua makhluk. Oleh karena itu, media Buddhis juga haruslah menjalankan program-programnya dengan tujuan memenuhi kepentingan semua makhluk.