Close Menu
    Facebook X (Twitter) Instagram
    Trending
    • Merenungkan Demo Hari Buruh dari Sudut Pandang Buddhis
    • Tiga Bulan YPPLN Berkarya – Triwulan Pertama 2025
    • Melampaui Gender: Potret Perempuan dalam Sutra Agama Buddha
    • Belajar Dharma dari Ne Zha 2
    • Kelahiran, Kematian, dan Kemanusiaan dalam Film Mickey 17
    • Agama Buddha dan Kemerosotan Moral
    • Lagu Titiek Puspa Yang Wajib Direnungkan
    • Brave Bang Bravern! adalah Anime Religi?
    Lamrimnesia
    • Home
    • Mari Belajar
      • Apa itu Lamrim?
      • Peta Lamrim
      • Topik-Topik Lamrim
    • Wacana
      • Berita
      • Artikel
      • Infografis
    • Buku
      • Audiobook
      • Daftar Buku Tak Berbayar
      • Resensi
    • Kegiatan
      • Festival Seni & Budaya Buddhis 2018
      • Ananda Project
      • Berbagi Dharma
      • Drepung Tripa Khenzur Rinpoche Indonesia Visit 2017
      • Indonesia Lamrim Retreat 2017
    • Dukungan
      • Dharma Patriot
        • Be a Dharma Patriot
        • Our Patriot’s Adventure
      • Dharma Patron
      • Donasi Buku Berbayar
      • Penyaluran Buku Tidak Berbayar
      • Laporan Tahunan YPPLN
      • Laporan Triwulan YPPLN
      • Laporan Keuangan YPPLN
    • Tentang Kami
    • Store
    Lamrimnesia
    You are at:Home » Featured » Cerita Mini: The Best Cure

    Cerita Mini: The Best Cure

    0
    By karina chandra on August 26, 2023 Featured

    Cerita fiksi belaka, ditulis untuk lomba cerita mini NDBF 5.0

    Berdiri di hadapan sebuah pintu putih klasik dengan nomor 519, tiga perempuan muda menunggu dalam diam. Mereka baru saja pulang dari kebaktian hari Minggu dan datang bersama orangtua temannya untuk menjenguk teman mereka yang sudah sebulan ini absen dari vihara karena sakit. Beberapa saat kemudian, pintu tersebut terbuka dan menampakkan perawakan lelaki muda yang letih.

    “Maaf ya kalian harus menunggu lama, kalian coba masuk dulu,” ucap Om Yusdi, ayah dari teman mereka.

    Tiga sekawan itu buru-buru masuk dengan khawatir. Ruangan di dalam sangat bersih dan segar, luas berwarna serba putih. Tidak ada suara apapun selain pengharum ruangan dan isakan tangis.

    “Hei Gege, ini kami, Shani, Tria, dan aku Felly. Kami kangen kamu!” seru Felly berusaha riang.

    Tidak ada jawaban untuk waktu yang lama. Shani menggeleng, menginstruksikan mereka untuk pergi. Namun, ketika sudah mendekati pintu, sebuah suara lirih terdengar.

    “Aku juga kangen.”

    Mereka menoleh kaget. “Gege?! Apakah kita boleh mendekat?” seru Tria.

    Gege menghela napas. “Tapi, aku jelek….”

    Tiga sekawan itu mengerutkan alis, saling menatap satu sama lain.

    “Jangan begitu, kami datang dulu ya?” ujar Shani lembut.

    “Ya sudah, tapi aku sudah peringati ini menjijikan,” tutur Gege.

    Ketika mereka menyibak tirai putih itu, tampaklah seorang perempuan cantik berambut hitam lurus yang berkilau. Wajahnya terlihat menghangat karena menangis dan sekujur kulitnya ditumbuhi ruam-ruam besar berwarna merah dengan sedikit putih di beberapa sisi, seperti mengering.

    “Keren,” puji Felly.

    “Apanya?” tanya Gege heran.

    “Tampilan barumu,” lanjut Felly.

    Gege tertawa kecil. “Dasar manusia aneh.”

    “Kami sudah dengar dari Om Yusdi di mobil, tentang penyakitmu,” ujar Shani.

    “Pso… psoarias?”

    Felly memutar bola matanya. “Psoriasis, Tria. Sama Dermatitis.”

    “Ya, ya, itu.”

    Gege mengelus kulitnya malu. “Kalian enggak jijik?”

    “Kenapa harus jijik? Sang Buddha yang agung saja merawat Bhikku Tissa yang terserang penyakit kulit berat yang bau. Masa kita sebagai umatnya tidak mau merawat orang sakit hanya karena jijik? Lagipula, kamu itu teman kami, Gege. Teman itu ada dalam segala situasi, senang dan susah,” sela Tria cepat.

    “Tumben kamu bijak,” ledek Felly.

    Tria mencubit Felly pelan. “Awas kamu ya, beraninya merusak momenku.”

    “Ingat kata Buddha, ‘barang siapa merawat orang sakit dan menderita, berarti ia merawat-Ku!’” tambah Shani.

    Gege tertawa melihat mereka. “Aku kangen sekali bercanda dan bermain bersama kalian. Sepertinya keterpurukanku membuatku lupa bahwa aku punya kalian dan Buddha, bahkan hidupku yang dibekali Dharma.”

    “Penderitaan selalu ada dalam hidup kita, yang penting kita tidak menyerah. Semua yang berkondisi akan berlalu,” balas Shani tersenyum.

    “Berlalu-lalang,” timpal Tria.

    “Enggak gitu dong, Triana Devi,” tegur Felly membalas cubitan Tria tadi.

    “Aduh, ampun!”

    Gelak tawa mengisi ruangan kecil itu. Obrolan demi obrolan tercipta, mengalir dengan bebas di antara 4 kawan yang sudah lama tidak bersua.

    “Aku enggak yakin bisa kembali seperti dulu. Sudah lama sekali sejak terakhir penyakit ini kambuh sewaktu aku kecil. Karena kecerobohan dan situasi yang tidak baik akhir-akhir ini, aku memperparah kondisi kesehatanku,” cerita Gege.

    “Pelan-pelan kamu pasti bisa membaik. Gege sudah pernah melewatinya dulu, sekarang pasti bisa bahkan lebih baik dari sebelumnya,” hibur Shani.

    “Memangnya aku bisa baik-baik saja walaupun tidak normal? Kata dokter aku harus mengendalikan stress, tapi aku tidak bisa berhenti menangis dan merenung terus,” tutur Gege sedih.

    “Gege kamu enggak sendiri kok, selama ini aku juga berjuang untuk hidup dengan depresi yang aku alami sejak lama. Awalnya memang sulit dan aku seringkali merasa kalau aku tidak pantas bahagia karena aku sakit jiwa. Tapi ternyata, ketenangan jiwa bukan berarti tidak ada penyakit atau masalah, tapi bagaimana kita menghadapi itu semua,” cerita Tria.

    “Wah, aku enggak menyangka. Kalau kamu enggak cerita aku enggak akan tahu, kamu benar-benar mengendalikan diri dengan sangat baik!” puji Gege takjub.

    “Wajar kok Gege, maaf juga kamu harus tahu dengan kondisi seperti ini, dan kita juga belum lama ini ketemu, jadi aku belum sempat cerita. Soalnya kalau main sama kalian aku suka lupa waktu dan suasana!” seru Tria tertawa lepas.

    “Gege pasti bisa! Yang penting niat Gege untuk membaik saja sudah cukup untuk memulai. Ayo dong, datang ke Vihara biar kita sama-sama latihan meditasi dan dengar Dharma bareng lagi!” seru Felly.

    Shani mengangguk. “Kamu bisa belajar mengelola stress kamu dengan menenangkan pikiran, kalau enggak bisa berpikir positif, coba dengan berpikir netral. Kalau ada kegelisahan dan cemas, terima kehadiran dia, lalu coba alihkan pada hal-hal yang menenangkan kamu. Juga jangan berpikir kalau kamu sakit, kamu tidak akan baik-baik saja. Semua orang bisa dan pantas baik-baik saja juga bahagia dalam kondisi apapun.”

    “Oh iya, bulan depan ada sharing tentang mental wellness tau, kamu kan tertarik banget dengan topik-topik psikologi begitu. Yakin enggak mau hadir?” tawar Felly.

    Mata Gege seketika berbinar. “Yang betul? Aku mau dong! Tapi… kalau penampilanku masih begini, bagaimana?”

    “Jangan khawatir, Gege sayang. Bagaimanapun kamu, tidak akan merubah fakta kalau kamu itu salah satu murid Sang Buddha yang keren banget!” celetuk Tante Shilla, Ibu Gege. Ia berjalan sambil membawa beberapa kantong plastik berisi jajanan.

    Tria dan Felly berteriak riuh melihat makanan-makanan itu. Shani menggelengkan kepalanya, sedangkan Gege hanya tertawa melihat tingkah teman-temannya yang lucu itu.

    Satu bulan cukup membuat keadaan Gege membaik. Walau begitu, bekas dari ruam-ruam di kulitnya masih tampak jelas. Namun, Gege ‘memakainya’ dengan berani sebagai tanda dari perjuangannya selama ini.

    “Sehubungan dengan tema pembicaraan kita kali ini, ada yang mau berbagi cerita mungkin?” tanya Bhante pada umat-umat yang ada di ruangan itu.

    Gege mengangkat tangannya tinggi dan berdiri menerima mikrofon dengan percaya diri. Ia menatap seisi ruangan itu, beberapa orang tampak berbisik dengan raut bertanya, ada yang tersenyum–dua diantaranya adalah orangtuanya, dan yang melambai-lambai… ya itu tiga kawan uniknya, Tria, Felly, dan Shani. Meskipun rasa gugup menyelimuti, Gege memantapkan diri dengan satu tarikan napas.

    “Perkenalkan nama saya Gaia Dharmasita, biasa dipanggil Gege oleh orang terdekat. Usia saya 20 tahun dan saya ingin menceritakan tentang penyakit saya yang tidak bisa sembuh dan mengharuskan saya berada dalam kondisi mental wellness agar bisa mengendalikan pertumbuhannya sehingga tidak kambuh dan beraktivitas dengan baik.”

    Orang-orang tampak takjub sekaligus penasaran. Gege melanjutkan pembicaraannya dengan senyum hangat. “Saya adalah pengidap Dermatitis dan Psoriasis. Sebuah kondisi hipersensitif dan autoimun yang sudah ada sejak lahir. Lalu, tentang bagaimana Dharma membantu saya melewati kondisi ini.”[]

    Profil Penulis :

    Belinda Marella lahir di Medan pada 1 Agustus 2001, hobi menulisnya terwujud sejak SD dan keberhasilannya meraih juara 1 pada lomba Cerpen Bulan Bahasa 2018 membawanya masuk lebih dalam ke dunia literasi. Saat ini dirinya tengah menempuh pendidikan sarjana jurusan Ilmu Komunikasi di Universitas Pelita Harapan dan mempersiapkan karirnya di bidang penulisan digital dan menjadi seorang novelis. Salah satu keinginan terbesarnya adalah menulis hal-hal yang berkaitan dengan ajaran Buddha dan dapat ikut menyebarkan Dharma lewat riset dan tulisan yang dibuatnya.

    lomba NDBF 5.0
    Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Email
    Previous ArticleBuddha dan Luffy Pahlawan Pembebasan
    Next Article Cerita Mini: Memetik Ketenangan Bunga Teratai
    karina chandra

    Related Posts

    Esai: Kebahagiaan dan Kesehatan Mental Lebih Dari Sekadar ‘Tidak Adanya’ Penyakit Jiwa dan Bagaimana Dharma Berperan Memengaruhinya

    Esai: Remaja dan Bunuh Diri, Laksanakan 4 Kebenaran Arya, Lepaskan Duka

    Esai: Menuju Keselarasan Dalam Kehidupan

    Leave A Reply Cancel Reply

    Dharma Patron Rutin
    Dharma Patron Rutin

    Penyokong Dharma Mulia dengan berdana secara rutin setiap bulannya untuk menjaga kesinambungan pelestarian dan pengembangan Dharma di Nusantara. Berapapun nominalnya, akan sangat bermanfaat bagi Buddhadharma di Indonesia.


    Dharma Patron Non-Rutin
    Dharma Patron Non-Rutin

    Penyokong Dharma Mulia dengan berdana sekali waktu untuk pelestarian dan pengembangan Dharma di Nusantara. Berapapun nominalnya, akan sangat bermanfaat bagi Buddha dharma di Indonesia.


    MEMBERSHIP
    • login
    • register

    Infografis

    Find us At
    • facebook
    • instagram
    Lamrimnesia

    Lamrimnesia

    Yayasan Pelestarian dan Pengembangan Lamrim merupakan sebuah yayasan yang dirikan untuk melestarikan dan menyebarkan tradisi Lamrim guna mendorong bangsa Indonesia, khususnya generasi muda, untuk melakukan praktik Dharma yang didasari oleh ilmu yang nyata sehingga menciptakan perubahan positif bagi seluruh Nusantara.

    Hubungi Kami:

    Call Center Lamrimnesia
    Care - +6285 2112 2014 1
    Info - +6285 2112 2014 2
    email: [email protected]
    facebook: facebook.com/lamrimnesia

    Recent Posts
    April 30, 2025

    Merenungkan Demo Hari Buruh dari Sudut Pandang Buddhis

    April 25, 2025

    Tiga Bulan YPPLN Berkarya – Triwulan Pertama 2025

    April 21, 2025

    Melampaui Gender: Potret Perempuan dalam Sutra Agama Buddha

    Store
    © 2025 ThemeSphere. Designed by ThemeSphere.

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.