Thekchen Chöling, Dharamsala, HP, India – Pagi ini, Dewi Lestari, seorang penulis dan penyanyi Indonesia, menyambut Yang Maha Suci Dalai Lama XIV untuk berbincang dengan lebih dari 1000 pelajar Indonesia. Tema dialog ini adalah Kisah Jataka atau kisah-kisah kehidupan-kehidupan lampau Sang Buddha, yang tercatat dalam buku “Jataka Mala”, atau “Untaian Kisah Kelahiran”, yang diukirkan di Candi Borobudur. Acara ini adalah pembuka rangkaian Nusantara Dharma Book Festival yang diselenggarakan oleh Yayasan Pelestarian dan Pengembangan Lamrim Nusantara (YPPLN) bekerja sama dengan komunitas Kadam Choeling Indonesia.
Yang Maha Suci Dalai Lama XIV memulai acara dengan mengucapkan terima kasih kepada seorang aktor Indonesia yang telah membuat persembahan mandala tradisional dan mengucapkan “selamat pagi” kepada para pendengar.
Aktor Indonesia Morgan Oey membuat persembahan mandala tradisional di awal dialog daring Yang Maha Suci Dalai Lama XIV dengan siswa-siswi Indonesia dari kediaman Beliau di Dharamsala, HP, India pada 11 Agustus 2021. Foto oleh Y.M. Tenzin Jamphel
Agama dan Cinta Kasih Universal
“Hari ini,” lanjutnya, “Saya menantikan diskusi dengan pemuda-pemudi Indonesia, yang beberapa di antaranya memiliki minat pada agama Buddha. Saya seorang praktisi Buddhis, dan salah satu komitmen saya adalah mempromosikan kerukunan antar umat beragama. Semua tradisi agama kita yang berbeda, entah kita berbicara mengenai agama Hindu, Kristen, Yahudi, Islam, atau Buddha, membawa pesan umum tentang pentingnya cinta kasih. Mereka masing-masing menggunakan pandangan filosofis yang berbeda untuk memperkuat rasa altruisme, kepedulian terhadap orang lain. Beberapa kepercayaan menyatakan adanya Tuhan, sementara yang lainnya fokus pada hukum kausalitas. Tujuan sebenarnya dari semua agama tersebut adalah untuk membantu pengikut mereka menjadi orang yang lebih baik dan lebih berwelas asih.
“Berkenaan dengan Tuhan pencipta, agama Kristen menggambarkannya sebagai makhluk dengan cinta yang tak terbatas. Agama Islam berbicara tentang Tuhan yang pengasih dan penyayang. Yahudi mengacu pada Tuhan yang adil. Jainisme dan Buddhisme di sisi lain tidak memiliki konsep tentang Tuhan pencipta, tetapi keduanya tetap bertujuan untuk melatih manusia menjadi benar-benar welas asih.
“Di India tempat saya tinggal, ada semua agama besar dunia. Dan mereka telah hidup berdampingan secara harmonis selama lebih dari seribu tahun.
“Hari ini, saya senang bertemu saudara dan saudari dari negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Apakah kita menerima agama atau tidak adalah masalah pilihan diri kita pribadi. Kita semua adalah manusia. Kita memperoleh manfaat dari kasih sayang dan perhatian ibu kita dari sejak lahir. Tentu saja, tanpa kasih sayang dan cinta kasihnya, kita tidak akan bertahan.
“Dewasa ini, kita menghadapi masalah-masalah dan konflik-konflik karena kita tidak memiliki rasa persaudaraan yang sepatutnya. Kita mengabaikan nilai-nilai dasar kemanusiaan kita. Kita mencoba untuk menyelesaikan perselisihan dan perbedaan pendapat dengan menggunakan kekerasan. Namun, saya percaya bahwa sebagian besar manusia sudah muak dengan kekerasan dan perang. Konsekuensinya, umat beragama memiliki tanggung jawab untuk mempromosikan cinta kasih. Kita harus hidup bersama di planet ini, jadi kita harus berupaya untuk membuat dunia ini menjadi lebih damai.
Teladan Jataka Mala
Yang Maha Suci Dalai Lama XIV mengakui adanya minat khusus beberapa orang Indonesia terhadap 34 kisah Jataka yang menceritakan kehidupan-kehidupan lampau Sang Buddha. Penulisnya, Aryashura, pada mulanya bukan seorang Buddhis, tetapi seorang terpelajar yang cerdas dari tradisi lain. Pada saat itu, para cendekiawan Universitas Nalanda merasa gelisah bahwa ia mungkin akan mengalahkan mereka dalam debat sehingga mereka meminta bantuan Arya Nagarjuna. Beliau mengirim salah satu muridnya yang paling terampil, Aryadewa, yang meyakinkan Aryashura mengenai validitas ajaran Buddha. Selanjutnya, di akhir hidupnya, Aryashura, yang juga seorang penyair terkenal, menggubah ‘Untaian Kisah Kelahiran’ ini dengan merdu dalam bahasa Sansekerta.
Yang Maha Suci Dalai Lama XIV berbicara kepada hadirin virtual selama dialog daring dengan siswa-siswi Indonesia dari kediamannya di Dharamsala, HP, India pada 11 Agustus 2021. Foto oleh Y.M. Tenzin Jamphel
Yang Maha Suci Dalai Lama XIV berkata bahwa kisah-kisah tersebut memang indah untuk dibaca, tetapi terkadang Beliau merasa cerita-cerita itu terlalu dibumbui. Poin penting yang perlu diperhatikan adalah moral cerita, yakni kesempurnaan, kedermawanan, etika, dan kesabaran yang dicontohkan oleh Bodhisatwa. Yang mendasari semua kisah tersebut adalah konsep India kuno tentang “karuna” dan “ahimsa”—welas asih dan tanpa-kekerasan. Tema-tema ini, tutur Beliau, umum untuk sebagian besar agama, tetapi terlepas dari kita mengikuti tradisi suatu agama atau tidak, kita semua harus memiliki hati yang hangat dan welas asih jika kita ingin bahagia.
Menjawab pertanyaan dari hadirin, Yang Maha Suci Dalai Lama XIV menjelaskan bahwa mengorbankan hidup Anda demi orang lain, seperti yang dilakukan Bodhisatwa dalam beberapa kisah, adalah tindakan bermakna jika menghasilkan manfaat yang nyata. Beliau menambahkan bahwa dibutuhkan kecerdasan dan pikiran yang jernih untuk menilai manfaat apa yang akan didapat dari tindakan tersebut.
Terkait dengan krisis-krisis yang dihadapi dunia saat ini, yaitu pandemi virus corona dan pemanasan global, terdapat beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk mengurangi dampak negatifnya. Akan tetapi, kita harus berani dan tegas. Kita tidak boleh putus asa atau berhenti mengambil tindakan.
Candi di Hati Kita
Yang Maha Suci Dalai Lama XIV mengenang kunjungan Beliau ke Borobudur. Beliau menggambarkan stupa Borobudur sebagai candi yang indah, tetapi menyatakan bahwa yang lebih penting adalah candi batin hati kita tempat kita memupuk welas asih dan cinta kasih. Jika kita menggabungkannya dengan kecerdasan manusia kita yang luar biasa, kita dapat menciptakan dunia yang lebih bahagia, tidak hanya melalui doa, tetapi dengan melakukan tindakan nyata.
Kejujuran & Kasih Sayang yang Menginspirasi
Beliau mendapat pertanyaan mengenai cara menghadapi hal-hal negatif dan menyarankan untuk berpegang pada prinsip-prinsip moral kejujuran dan kasih sayang. Beliau menyebutkan mengenai kesulitan yang Beliau hadapi dalam hidup-Nya sendiri, di Tibet dan kemudian sebagai pengungsi, tetapi mengungkapkan bahwa Beliau terus berlatih sesuai dengan Tradisi Nalanda yang diperkenalkan oleh Shantarakshita di Tibet.
“Kami orang Tibet adalah orang-orang yang teguh dan berani,” ujar Beliau, “tetapi itu tidak berarti kami menggunakan kekerasan. Semangat Tibet kami adalah keteguhan dan welas asih, kualitas-kualitas yang telah menarik kekaguman bahkan di antara beberapa orang Cina.”
Tibet, Indonesia, dan Guru Dharma Nusantara
Seorang pemuda mengajukan pertanyaan tentang hubungan antara Indonesia dan Tibet dalam bahasa Tibet. Yang Maha Suci Dalai Lama XIV menjawab bahwa guru India, Atisha Dipamkara, berlayar dari India ke Sumatra untuk belajar tentang bodhicita dengan seorang guru bernama Dharmakirti. Pada waktu itu, Atisha menerima undangan untuk mengunjungi Tibet tempat Beliau menghabiskan sisa hidupnya. Dharmakirti dikenang oleh orang Tibet hari ini sebagai Lama Serlingpa, Guru dari Pulau Emas (Suwarnadwipa). Yang Maha Suci Dalai Lama XIV berkomentar bahwa mengingat perjalanan Atisha yang ekstensif, saat ini jauh lebih mudah untuk bertukar pandangan dan berbagi pengetahuan satu sama lain.
Seorang peserta audiensi virtual mengajukan pertanyaan kepada Yang Maha Suci Dalai Lama XIV selama dialog daring dengan siswa-siswi Indonesia dari kediaman Beliau di Dharamsala, HP, India pada 11 Agustus 2021. Foto oleh Y.M. Tenzin Jamphel
Kiat Buddhis Menghadapi Ekstremisme
Yang Maha Suci Dalai Lama XIV tidak mengatakan mana dari ‘Kisah Jataka’ yang menurut Beliau paling menginspirasi. Poin kuncinya, tegas Beliau, adalah mengakui kesatuan kemanusiaan; untuk menyadari bahwa kita semua adalah sama sebagai manusia. Dari sudut pandang praktis, kita semua bergantung satu sama lain dan kita dapat melayani satu sama lain atas dasar hal itu.
“Saya orang Tibet, yang tinggal di India. Saya menganggap setiap manusia yang saya temui seperti saudara atau saudari bagi saya. Berkelahi tidak ada gunanya dan merugikan diri sendiri. Kita harus menemukan cara untuk hidup berdampingan dan hidup bersama dalam damai.”
Diundang untuk mengomentari mengenai cara sebuah komunitas minoritas menghadapi ekstremisme, Yang Maha Suci Dalai Lama XIV menyetujui bahwa di antara orang-orang yang terisolasi di masa lalu, mungkin terasa tepat untuk berbicara mengenai satu kebenaran dan satu agama. Namun hari ini, situasinya telah berubah dan kita semua mengetahui adanya berbagai tradisi agama serta banyaknya aspek mengenai kebenaran.
Salah satu kualitas Buddhisme adalah bahwa Buddhisme mengambil pandangan ilmiah tentang pikiran dan emosi kita serta mampu menjelaskan cara-cara untuk mencapai kedamaian pikiran. Tradisi Nalanda memuat metode-metode untuk mengurangi emosi negatif dan meningkatkan emosi positif. Psikologi Buddhis dapat bermanfaat bagi siapa saja yang tertarik untuk menjelajahinya tanpa harus membuat komitmen keagamaan apa pun. Hal ini, tegas Yang Maha Suci Dalai Lama XIV, adalah salah satu cara Buddhisme dapat berkontribusi untuk menciptakan dunia yang lebih damai.
Praktik Dharma Dulu dan Kini: Belajar, Merenung, Meditasi
Menanggapi pengamatan bahwa tampaknya lebih mudah untuk mencapai realisasi pada zaman Sang Buddha, Yang Mulia menyatakan bahwa Beliau tidak percaya siapapun menjadi tercerahkan secara spontan ketika mereka mendengarkan Sang Buddha. Beliau menunjukkan bahwa Sang Buddha sendiri telah menghabiskan enam tahun dalam meditasi yang ketat sebelum mencapai Kebuddhaan. Beliau menjelaskan bahwa orang-orang mendengarkan yang Buddha katakan, dan merenungkannya untuk meningkatkan pemahaman mereka. Kemudian, mereka memeditasikan hal yang telah mereka pahami, menerapkan konsentrasi dan pandangan mendalam, yang pada gilirannya memungkinkan mereka mengubah batin.
Yang Maha Suci Dalai Lama XIV menyarankan bahwa Jalan Tengah (Madhyamaka) adalah cara yang ampuh untuk mengurangi pandangan salah. Pikirkan tentang bagaimana kita memikirkan ‘tubuhku’, ‘ucapanku’ dan ‘pikiranku’, kata Beliau, dan kemudian tanyakan pada diri sendiri di mana ‘aku’ yang memiliki fitur-fitur ini. Yang Maha Suci Dalai Lama XIV menegaskan bahwa Beliau bertanya pada diri Beliau sendiri letak ‘aku’ setiap hari dan tidak dapat menemukan diri yang independen dan ada secara inheren. Hal ini memiliki efek yang kuat untuk mengurangi kemarahan dan kemelekatan Beliau. Beliau mengutip tiga ayat dari “Memasuki Jalan Tengah” (Madhyamakavatara) Chandrakirti yang mengingatkan bahwa Beliau berada di jalur yang benar.
“Diterangi oleh berkas-berkas cahaya kebijaksanaan,
Bodhisattva melihatnya sejelas buah amalaki di telapak tangan yang terbuka,
Bahwa ketiga alam di keseluruhannya tidak terlahirkan sejak dari awalnya,
Dan melalui kekuatan kebenaran konvensional, ia menempuh perjalanan menuju penghentian. 6.224Walau batinnya mampu menetap terus-menerus dalam penghentian,
Beliau juga membangkitkan welas asih untuk para makhluk yang tak memiliki perlindungan,
Melaju maju lebih jauh lagi, beliau juga bersinar cemerlang melalui kebijaksanaannya,
Semua yang lahir dari ucapan Buddha dan Buddha-Buddha menengah. 6.225Laksana para raja angsa menjulang ke depan melampaui angsa-angsa ahli lainnya,
Madhyamakavatara – Arya Chandrakirti
Dengan sayap-sayap putih kebenaran konvensional dan tertinggi yang berkembang lebar,
Didorong oleh kekuatan angin-angin kebajikan, Bodhisatwa akan menyeberangi
Hingga pantai seberang yang unggul, samudra kualitas-kualitas Para Penakluk. 6.226”
Semua Punya Benih Kebuddhaan
Ditanya mengenai cara menanggapi orang-orang yang gagal memenuhi harapan kita, Yang Maha Suci Dalai Lama XIV mengungkapkan bahwa Sang Buddha menjelaskan bahwa semua makhluk hidup memiliki sifat Buddha. Tubuh jasmani ini adalah sesuatu yang tidak begitu penting, kata Beliau, adalah batinlah, yang penting. Di dalam batin terdapat berbagai tingkat kesadaran. Oleh karena setiap orang memiliki sifat Kebuddhaan, maka pada akhirnya semua orang dapat mencapai Kebuddhaan.
Yang Maha Suci Dalai Lama XIV menjawab pertanyaan dari hadirin virtual selama dialog daring dengan siswa-siswi Indonesia dari kediaman Beliau di Dharamsala, HP, India pada 11 Agustus 2021. Foto oleh Y.M. Tenzin Jamphel
Dewi Lestari tertarik untuk mengetahui hal yang bisa kita lakukan untuk tetap segar dan tajam seperti Yang Maha Suci Dalai Lama XIV. Beliau menjawab bahwa kita menghabiskan banyak waktu teralihkan oleh hal-hal indrawi, namun di sisi lain, kita sebenarnya juga bisa memperhatikan kesadaran mental kita dan mendapatkan pengalaman tentang sifat batin. Saat kita mengembangkan ketenangan dan konsentrasi, menjadi lebih mudah untuk mengajak batin untuk menganalisis letak ‘aku’ dan yang dimaksud sebagai emosi-emosi negatif. Seiring dengan kita mengembangkan kekuatan batin, kita akan mencapai kedamaian pikiran yang lebih kokoh. Dan saat kita memperoleh pengalaman batin yang lebih dalam pada tingkatan yang lebih subtil, batin yang jernih akan terwujud. Batin halus dari sifat Kebuddhaan itulah yang pada akhirnya menjadi batin Sang Buddha.
Bahagia Berasal dari Bodhicita
Diundang untuk memberikan beberapa nasihat terakhir, Yang Maha Suci Dalai Lama XIV menyoroti kesempatan khusus yang dimiliki pendengar Beliau untuk berbagi gagasan tentang cinta kasih, yang merupakan sesuatu yang kita semua butuhkan. Dengan cara yang sama, kita semua membutuhkan welas asih dan pengampunan dan dengan mendorong pengembangan kualitas-kualitas ini, kita dapat berkontribusi untuk menciptakan masyarakat yang lebih harmonis dan penuh welas asih. Potensi welas asih adalah kesamaan yang dimiliki semua manusia. Ini adalah dasar untuk bisa saling menghormati dan belajar dari satu sama lain.
Dewi Lestari mengucapkan terima kasih kepada Yang Maha Suci Dalai Lama XIV yang secara spontan meminta hadirin untuk bergabung dengan Beliau dalam meditasi welas asih selama satu menit. Setelah itu, Beliau memuji kebajikan dari kebangkitan batin bodhicitta dan manfaatnya yang luar biasa. Kita butuh welas asih untuk bisa membantu orang lain, tutur Beliau. Kita membutuhkan welas asih untuk memurnikan negativitas kita dan mengumpulkan energi positif. Semua perbuatan altruistik yang dijelaskan dalam Jataka Mala berakar dari bodhicita, yakni aspirasi untuk mencapai Kebuddhaan demi membantu makhluk lain.
Yang Maha Suci Dalai Lama XIV mengutip syair-syair dari “Lakon Hidup Sang Penerang” (Bodhisatwa-caryawattara) oleh Shantidewa, yang memuji praktik menyamakan dan menukar diri sendiri dengan orang lain.
“Seseorang yang tak menukar kebahagiaannya dengan penderitaan makhluk lain pastinya tak akan meraih Kebuddhaan. Bagaimana ia bisa meraih kebahagiaan dalam samsara? 8/131
Dengan menaiki kereta perang bodhicitta, yang menghalau semua perasaan putus asa dan letih, orang berakal mana yang akan patah semangat selagi ia melaju melewati kegembiraan demi kegembiraan? 7/30”
Beliau menambahkan bahwa ketika Anda bertekad untuk melayani orang lain, Anda akan dapat mengikuti aspirasi besar Shantidewa:
“Selama ruang bergeming dan dunia bertahan, semoga aku hidup untuk menghalau kesengsaraan dunia. 10/55”
Sumber: “In Conversation with Indonesian Students” – dalailama.com
Diterjemahkan oleh Shierlen Octavia
—
“Grand Buddha Goes to School: Heart to Heart Conversation with His Holiness Dalai Lama XIV” adalah acara pertama dalam rangkaian Nusantara Dharma Book Festival (NDBF) 3.0.
Ikuti bazar buku, seminar, bedah buku, dan workshop istimewa lainnya di NDBF 3.0 yang pastinya tak kalah inspiratif dan bisa meningkatkan ketangguhan batinmu di kala pandemi.
Kunjungi ndbf.lamrimnesia.com & ikuti media sosial Lamrimnesia untuk mendapatkan informasi & kabar terbaru seputar NDBF 3.0!