Minggu, 23 Mei 2021 lalu, Lamrimnesia kembali mengadakan bedah buku daring, kali ini dengan tajuk “Indonesia dalam Potret Puisi Rabindranath Tagore: Menyusuri Lorong Imajinasi Borobudur”. Buku yang dibedah adalah buku karya Rabindranath Tagore yang berjudul “Indonesia di Mata India: Kala Tagore Melawat ke Indonesia”. Narasumber kali ini adalah Stanley Khu, kepala editor penerbit YPPLN dan pemerhati filsafat India.
Siapakah Rabindranath Tagore?
Rabindranath Tagore adalah seorang pujangga India yang telah menggubah kurang lebih 50 naskah drama, 100 judul kumpulan syair, 40 jilid roman dan cerita pendek, serta beberapa buku esai dan filsafat. Ia juga merupakan orang Asia pertama yang dianugerahi hadiah Nobel sastra pada 1913. Selain kepiawaiannya dalam bidang sastra, Ia juga merupakan seorang seniman yang telah membuat 2.000 lukisan. Ia juga telah melawat ke 35 negara di 5 benua, salah satunya adalah Indonesia.
Tagore, Asia, dan Buddhisme
“Dari semua perjalannya ia memunculkan angan-angan yang disebut sebagai pan-Asianisme,” ujar Stanley.
Pan-Asianisme atau Asia bersatu bagi Tagore bukan berarti menjadikan semuanya satu negara, satu bahasa, apalagi satu agama, melainkan satu peradaban yang harmonis karena memiliki kesamaan nilai. Mengenai hal ini, Stanley menjelaskan bahwa Tagore pernah mengutip dari buku Max Muller yang menyatakan bahwa peradaban India adalah peradaban yang paling “berhasil” menjawab berbagai persoalan kehidupan yang selama ini dicari oleh filsuf-filsuf Barat. Dari semua budaya atau tradisi pemikiran di India, Buddhisme merupakan satu-satunya tradisi besar yang berhasil keluar dari India dan diterima oleh negara-negara lain baik itu di Asia Timur, Asia Tengah, maupun Asia Tenggara.
Pada masa kejayaan Buddhisme di India, cendekiawan dan peziarah dari berbagai negara di Asia berbondong-bondong datang ke India untuk mendalami filsafat Buddhis di biara-biar pa seperti Nalanda, Wikramashila, dan Odantapuri. Nusantara pun terhubung dengan India melalui Buddhisme kala itu, seperti yang dibuktikan oleh prasasti Nalanda dan catatan Biksu I-Tsing dari Tiongkok yang menganjurkan orang-orang untuk terlebih dahulu belajar di Nusantara sebelum ke Nalanda.
Kenyataannya, banyak tradisi di India selain Buddhisme yang tidak bisa atau bahkan dilarang keluar dari India. Mahatma Gandhi sana yang dulu ingin kuliah di Inggris pun mendapat kecaman dari orang sekampungnya. Berbeda dengan tradisi-tradisi tersebut, Buddhisme bisa menyebar dan diterima di banyak tempat. Saat Buddhisme menjadi agama kerajaan pada zaman Raja Ashoka, sang Raja mengirimkan duta-duta untuk menyiarkan ajaran Buddha ke beberapa negara. Secara pemikiran, Buddhisme juga lebih bisa diterima di Asia Timur karena bisa berakulturasi dengan kepercayaan Tao di China.
Buddhisme di Mata Tagore
“Bagi dia, Buddhisme adalah simbol penolakan terhadap problema dunia,” tutur Stanley.
Simbol penolakan terhadap masalah kehidupan ini membuat Tagore melirik Raja Ashoka, seorang raja yang pernah berkuasa pada zamannya. Ketika Tagore merenungkan Buddhisme, dia juga merenungkan sosok Raja Ashoka yang berhenti berperang demi memperluas kekuasaan ketika menyadari kengerian dari akibat peperangan tersebut. Buddhisme telah berhasil membuat Raja Ashoka meninggalkan metode peperangan dan mengambil jalan diplomasi tanpa kekerasan. Jalan inilah yang menurut Tagore bisa mewujudkan cita-citanya akan Asia yang bersatu.
Stanley selanjutnya mengungkapkan bahwa dari Buddhisme, Tagore bisa menyadari bahwa manusia yang satu mampu melihat manusia lainnya sebagai bagian dari dirinya. Selain itu, ketika masuk ke suatu tempat, Buddhisme juga bisa menyerap, atau bahkan diserap oleh budaya di tempat tersebut sehingga seorang yang bukan Buddhis pun bisa mengejawantahkan nilai-nilai Buddhis.
Puisi Karya Tagore
Dalam bedah buku ini, Stanley membacakan penggalan salah satu puisi yang ditulis oleh Tagore saat menghadiri konsekrasi bangunan Mulagandhakuti Wihara di Sarnath, tempat Buddha mengajarkan Dharma pertama kali. Berikut penggalan puisinya:
Ini sekali lagi, nama yang terberkahi
Yang membuka negeri kelahiran Anda ini suci bagi negeri yang berjauhan!
Biarkan pencerahan agung di pohon Bodhi itu rampung
Sibak selubung dari ketidaktahuan
Biarkanlah di ujung malam yang terlupakan,
Dengan segar mekar di India kenanganmu!
Dari penggalan puisi ini, kita bisa melihat bahwa meski bukan seorang Buddhis, Tagore memiliki kekaguman dan rasa respek terhadap Buddhisme. Dalam puisi tersebut Tagore menuangkan rasa hormatnya terhadap Buddha yang memperoleh pencerahan karena bisa menemukan obat bagi umat manusia yang sedang dalam ketidaktahuan. “Menyibak selubung ketidaktahuan” ini merupakan ciri khas Buddhisme yang memandang bahwa semua permasalahan umat manusia berasal dari ketidaktahuan.
Stanley lebih lanjut menuturkan kunjungan Tagore di Borobudur yang kemudian menghasilkan sebuah puisi berjudul “Borobudur”. Penggalannya adalah sebagai berikut:
Manusia zaman ini tak punya kedamaian,
hatinya gersang disembangakan oleh kesombongan.
Dia menuntut dengan heboh, meminta kecepatan yang meningkat selalu dalam suatu amuk dari pengejaran terhadap sasaran yang terus-menerus berlari, namun tak pernah sebentuk arti.
Dan pada akhirnya,
sekaranglah saatnya kita mesti datang mencari demi keheningan yang sakral,
yang tegak senantiasa di tengah abad-abad yang bergerak bising,
sampai dia merasa yakin bahwa di dalam cinta yang tak terukur bersemayam arti penghabisan dari Kemerdekaan, yang doanya adalah:
“Biarkan Buddha menjadi pelindungku.”
Dalam penggalan puisi “Borobudur” ini, Tagore menggambarkan manusia yang terus-menerus menginginkan kecepatan dalam setiap hal yang dilakukan. Manusia lebih suka mengejar materi alih-alih mencari makna. Tagore juga mengatakan bahwa Buddha dapat melindungi dari hal tersebut. Ini adalah pemikiran luar biasa mengingat pada masa itu belum ada media sosial seperti sekarang. Tagore seolah sudah bisa membaca pola perilaku manusia yang sulit mengendalikan batin, bahkan sampai di masa sekarang.
Tagore mungkin sudah bisa membayangkan manusia akan bergerak cepat dikejar waktu sehingga tidak bisa hidup dengan mindful. Buktinya, sekarang manusia hidup dengan cara tidak mindful, gampang terpengaruh hoaks, terlalu menggebu-gebu terhadap keinginan, dan menolak mentah-mentah kritikan dari orang lain.
Kini, saat kita sangat mudah terpengaruh mengejar kesenangan sementara berulang kali, kita pun seharusnya bisa berlindung pada Sang Buddha seperti dalam puisi karangan Tagore ini.
Kesimpulan
Perjalanan Tagore dimulai setelah ia menerima Nobel lalu berkeliling ke beberapa negara di Asia dengan membawa semangat pan-Asianisme yang berangkat dari konsep Buddhis. Ini didukung oleh fakta bahwa Buddhisme pernah sama-sama dianut di negara yang memiliki budaya yang sangat berbeda seperti India dan Cina, bahkan Nusantara. Buddhisme membuat peziarah dari berbagai negara bertaruh nyawa untuk datang dan belajar di India. Buddhisme bahkan mampu menginspirasi Raja Ashoka untuk berhenti memperluas kekuasaan dengan invasi dan setelah menganut paham tanpa kekerasan, kerajaannya malah semakin makmur.
Buddhisme di mata Tagore (dan mungkin bagi kita semua) tidak cukup dilabeli sebagai “agama”. Buddhisme adalah sebuah peradaban yang bisa mempersatukan berbagai budaya yang berbeda dalam semangat universalisme tanpa kehilangan keunikannya.
Moderator Nakapala juga menggarisbawahi bahwa puisi-puisi karya Tagore mengingatkan kita tidak membatasi cara pandang kita terhadap agama Buddha hanya dari “kemasan” seperti ritual atau bahasa. Inti dari Buddhisme adalah cara pikir universal yang berpatokam pada bodhicita, yaitu tekad memperjuangkan kebahagiaan diri sendiri dan semua makhluk yang kita pandang sebagai sama berharganya dengan kita tanpa melihat suku, ras, maupun agama.
Sebagai penutup, Stanley mengajak kita meneladani para peziarah pencari Dharma dari masa lampau dengan lebih semangat belajar. Di masa kini, teknologi membuat kita bisa dengan mudah mengakses pengetahuan tanpa perlu bertaruh nyawa seperti di masa lampau, tapi kita juga harus berjuang menghadapi tantangan berupa distraksi yang mengganggu kita seperti berondongan iklan dan konten-konten yang tidak begitu bermanfaat.
Kita harus bisa memanfaatkan teknologi dengan cerdas dan bertanggung jawab, misalnya dengan tidak menyebar informasi yang tidak benar, membantu orang lain keluar dari masalah, dan memanfaatkan internet tidak untuk hal-hal negatif tapi juga untuk mencari sumber informasi pengetahuan.