Hidup kita sering kali kita buat seperti pelajaran matematika. Banyak hal dalam hidup, kita coba kuantifikasi sedemikian rupa supaya kita bisa meraba “permukaan” kehidupan dan mencengkeram rencana kita supaya tidak terlalu jauh mengawang. Masalahnya, sudahkah kita mencoba untuk menghitung berapa persen kita habiskan kehidupan kita untuk hal baik? Mungkin ada yang sudah, mungkin ada yang belum karena matematika bukan pelajaran favoritnya waktu sekolah.
Oleh karena itu, untuk yang belum, mari kita bermain hitung-hitungan yang lebih simpel daripada persentase. Berapa lama kita bisa berbuat kebajikan dengan maksimal, lengkap, dan tanpa tercemar hal buruk dalam satu hari penuh?
Mari Berhitung…
Dalam sehari, kita punya 24 jam. Delapan jam (mungkin kurang atau lebih sedikit) kita habiskan untuk beristirahat. Anggaplah waktu yang kita habiskan untuk makan, mandi, buang air, berdandan, bergaya di depan cermin, dan mengurus diri memakan waktu 3 jam. Kemudian hampir separuh di antara 24 jam, mungkin 8-9 jam kita habiskan untuk bekerja. Artinya, sudah hampir 20 jam kita habiskan untuk kegiatan-kegiatan tersebut. Kita lalu berpikir keras mengenai apa yang akan kita lakukan di sisa 4 jam yang kita miliki. Sudah lelah bekerja dan beraktivitas, tentu kita ingin memakai 4 jam tersebut untuk bersenang-senang. Seperti yang sudah kita ketahui, salah satu kegiatan paling populer untuk membuang waktu sekaligus mendapatkan “informasi” adalah dengan bermain media sosial. Anggaplah kita punya banyak akun yang harus kita urus dan pelihara agar tetap diperhatikan oleh orang lain. Ada Facebook, Twitter, Instagram, dan banyak lainnya sehingga seakan-akan kita punya banyak anak yang harus kita rawat.
Apa yang terjadi selama 4 jam kita menggunakan media sosial?
Sebenarnya, sisa waktu yang kita miliki mau kita gunakan untuk apa itu terserah. Yang jadi masalah adalah bagaimana kita menggunakan waktu luang kita supaya kita tidak lagi menambah-nambah “dosa” dan sebaliknya, menambah-nambah kebaikan. Maksudnya apa? Maksudnya, sebagai contoh adalah bagaimana kita menghabiskan 4 jam yang notabene kita gunakan untuk panjat sosial di media sosial bisa kita maksimalkan jadi aktivitas bajik. Selama 4 jam kepo dan asyik dengan gawai kita, besar kemungkinan kita akan melihat post teman kita yang baru saja promosi jabatan, memenangkan hadiah dalam kompetisi bergengsi, atau sedang memamerkan kehidupan mewahnya di media sosial. Ada kecenderungan bagi kita untuk merasa iri, kesal, dongkol dengan pencapaian mereka.
“Kenapa ya dia bisa menang lomba itu? Hmm, ya mungkin karena lombanya nggak keren-keren amat.”
“Ah, jalan-jalan lagi ke luar negeri. Enak, ya, bisa ngehabisin duit orang tua.”
Itu hanya sedikit contoh dari sekian banyak kalimat negatif yang mungkin berseliweran seperti kondisi jalanan saat hari mudik tiba. Ini dia yang membuat kita terus menerus menumpuk karma buruk. Bagaimana tidak? Sudah 3 jam kita habiskan untuk kegiatan yang berkekuatan netral. Selama 8-9 jam kita bekerja, habis juga waktu kita untuk mengoceh, mengomel (mungkin sedikit mengumpat), sambil ngedumel soal “kapan kerjaan ini selesai”, “kapan bisa pulang ke rumah”, walau mungkin ada 20-30 menit kita berhasil membangkitkan pikiran bajik soal beruntungnya kita bisa terlahir sebagai manusia yang berharga. Tambah pula 4 jam yang tadinya hendak kita habiskan untuk memuaskan panca indera yang selalu haus malah kita gunakan untuk iri sana dan iri sini.
Percaya nggak 4 jam itu bisa kita ubah jadi bajik?
Empat jam itu haruslah kita ‘kawal’ agar waktu yang biasanya kita buang percuma itu bisa jadi lebih berharga, bukannya malah semakin busuk. Kita semua mafhum kalau karma itu berbuahnya sejak dalam pikiran. Itulah mungkin yang menginspirasi Pramoedya Ananta Toer untuk mengatakan: berlakulah adil sejak dalam pikiran. Kembali lagi kepada pernyataan bahwa karma berbuah sejak dalam pikiran, ada satu kabar baik bahwa meskipun fisik kita tidak selalu sukses dalam melengkapi jalan karma putih, turut berbahagia (rejoice)—bermudita—atas sukacita yang dialami orang lain bisa membantu kita mengumpulkan karma bajik. Kalau kita mau kuantifikasi seperti yang biasanya kita lakukan, banyak sekali keuntungan dari bermudita. Pertama, tidak banyak waktu yang perlu kita habiskan untuk hal ini. Sebab, tidak ada hal istimewa yang perlu kita lakukan untuk bisa bermudita. Kedua, tidak perlu juga banyak usaha yang kita lakukan. Iya kan? Toh, yang melakukan perbuatan baiknya adalah pihak lain, kemudian kita hanya merasa senang dengan hal baik yang sudah dilakukan.
Enaknya lagi, bermudita ini sebenarnya tidak perlu kita buat-buat dan tidak sulit juga untuk kita bangkit-bangkitkan. Sebab, kita sudah sangat akrab dengannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, senatural-naturalnya adat buruknya manusia, ada hal baik yang timbulnya juga alami tanpa perlu berpura-pura. Contoh, saat kita sebagai teman yang baik datang untuk merayakan pasca sidang skripsinya sahabat kita. Kita paham betul rasa sengsara revisi berulang kali yang harus kita lalui sebelum bisa dinyatakan sarjana. Melihat sahabat yang sudah sama-sama berhasil melewati kedurjanaan drama tugas akhir, sudah barang tentu timbul dalam hati nurani kita perasaan seperti, “Ah, akhirnya dia berhasil juga!” Timbul rasa senasib sepenanggungan dan sedikit rasa bangga karena saat ini sahabat kita sudah sama-sama berdiri di tempat yang sejajar dengan kita. Perasaan senang yang seperti itu, yang bisa muncul dengan alamiah dan murni karena sifat kemanusiaan kita, tanpa perlu sok-sok baik karena merasa perlu berbuat baik. Itulah sebabnya kita kemudian datang membawa bunga, makanan, dan tulisan-tulisan selamat pada teman kita. Sesederhana itu lho. Sesederhana karena kita merasa senang juga dengan apa yang mereka lakukan. Mudah kan?
Kabar baik berikutnya, hukum karma bisa menjadi sangat baik pada kita. Cukup dengan melihat satu post perbuatan baik, kita bisa mendapat karma bajik yang luar biasa. Dengan bermudita, kita bisa memperoleh 50% dari karma kebajikan yang diperbuat oleh orang tersebut. Bayangkan, berapa besar karma kebajikan yang bisa kita peroleh dengan bermudita atas perbuatan baik berdana kepada satu negara dan kepada ladang kebajikan terunggul, sang Triratna?
Bukan maksud tulisan ini untuk mengajakmu hitung-hitungan, mengajakmu pura-pura senang, atau mengajakmu jadi serakah. Kalau memang tidak bisa bermudita atas perbuatan baik orang lain, ya tidak perlu juga dipaksa. Kan bisa toh, kalau kita scroll menjauh dari post yang kiranya menyebalkan supaya perasaan jengkel kita tidak mendahului pikiran waras kita. Kita juga kan tahu sama tahu kalau tidak cuma karma baik, karma buruk pun berbuah sejak dalam pikiran. Ikut keki karena melihat perbuatan buruk orang lain seperti dalam sinetron juga memberikan kita 50% dari karma buruk yang dilakukan orang tersebut. Namun, kita juga berkesempatan untuk menumbuhkan empati yang sebenarnya sudah ada bibitnya pada tiap insan—mencoba menghayati pengalaman pribadi agar bisa dengan tulus bermudita pada perbuatan baik orang lain. Bayangkan betapa baiknya hal ini!
Kesimpulan
Empat jam yang sangat singkat dalam 24 jam bisa kita gunakan untuk bermain media sosial secara lebih bijak dan bajik. Empat jam yang tadinya cuma kita pakai untuk hal duniawi, untuk memuaskan “aku” bisa berubah jadi sesuatu yang juga menyenangkan makhluk lain, sebagaimana teman kita akan sangat senang ketika tahu bahwa kita pun merayakan keberhasilannya dalam sidang skripsi. Empat jam dalam media sosial bisa kita buat jadi lebih bermakna dengan bermudita dibandingkan sibuk menggunjingkan kehidupan orang lain. Untuk kita, kaum yang sebenarnya lebih suka rebahan saat disuruh berbuat baik, bisa memanfaatkan 1/6 waktu dalam sehari untuk berbuat baik sambal tetap rebahan tentunya amat menguntungkan dan menggiurkan untuk dilakukan.
Menjawab pertanyaan di awal tulisan, ada 4 jam yang bisa kita gunakan untuk berbuat baik secara maksimal, lengkap, dan tanpa tercemar hal buruk. Kalau masih juga sulit, 20 menit pun jadi. Dan ini adalah jawaban yang kita peroleh bersama-sama. Jadi, kalau ada dari kita yang merasa kurang pintar matematika, benci pelajaran matematika semasa sekolah, coba bercermin lagi, deh. Ternyata kita lumayan bisa matematika kan? Buktinya kita baru saja menghitung bersama-sama. Boleh tuh kita rayakan dengan bermudita!
Referensi:
- “Pembebasan di Tangan Kita” Jilid II karya Phabongkha Rinpoche
- “Catur Brahmawihara” karya Guru Dagpo Rinpoche
- “Karma” karya Guru Dagpo Rinpoche