Pada periode 1907-1911, proyek restorasi Candi Borobudur untuk pertama kalinya dilakukan. Proyek tersebut dipimpin oleh Theodoor van Erp, seorang insinyur Belanda. Beliau merekonstruksi ulang tingkatan-tingkatan pada tubuh candi dan juga membangun ulang stupa-stupa Candi yang sudah rusak. Lebih jauh lagi, Van Erp bahkan menemukan kepingan-kepingan batu yang beliau duga merupakan bagian dari sebuah chattra yang seharusnya berada di puncak stupa utama Candi dan kemudian juga merekonstruksi ulang chattra tersebut.
Mengapa Van Erp bisa merekonstruksi ulang chattra di Candi Borobudur? Apa kira-kira yang menginspirasi beliau dan apa yang mendasari pemikiran Van Erp ketika itu? Selain melakukan perbandingan-perbandingan dengan stupa-stupa yang ada di luar negeri, sebenarnya Borobudur sendiri juga menjadi salah satu sumber inspirasi utama beliau dalam upayanya merekonstruksi chattra. Mengapa bisa? Karena relief-relief di Candi Borobudur sebenarnya juga kaya sekali dengan visual-visual stupa yang dipayungi oleh chattra di puncaknya. Kita akan mencoba untuk membahas beberapa di antaranya melalui tulisan ini.
Baca juga: Memahami Chattra dan Melerai Sebuah Polemik
Pertama-tama, mari kita amati galeri pertama (istilah “galeri” di sini merujuk ke tingkatan di Candi), bagian dinding dalam. Di barisan atas dinding dalam ini terdapat rangkaian relief Lalitawsitara sejumlah 120 keping. Kemudian, di barisan bawah dari relief Lalitawistara ini, terdapat rangkaian relief sejumlah 120 keping yang menceritakan berbagai kisah yang diambil dari Awadana seperti Diwyawadana, Awadanasataka dan sebagainya. Keping relief 64 s.d. 88 menceritakan kisah Raja Rudrayana dan Raja Bimbisara ketika Sang Buddha sedang berdiam di Rajagrha, wilayah kekuasaannya Raja Bimbisara. Sebenarnya ini adalah sebuah kisah yang sangat terkenal karena di sinilah Buddha menyarankan Raja Bimbisara untuk melukiskan wujud beliau di atas selembar kain sebagai hadiah balasan untuk Raja Rudrayana. Lukisan inilah yang telah turun-temurun secara tradisi sampai ke kita saat ini dalam bentuk gambar Roda Kehidupan 12 Mata Rantai dengan Sang Buddha dalam posisi berdiri berada di sisi kanan atas dari Roda Kehidupan tersebut. Pada keping relief yang ke-80 di dalam kisah ini terlihat dua ekor kucing yang sudah terlatih sedang bersembunyi di bawah dua buah stupa. Kedua kucing ini sudah dilatih oleh menteri kerajaan yang jahat untuk menipu Raja Sikhandin, anak dari Raja Rudrayana yang telah membunuh ayahnya sendiri. Kedua stupa ini digambarkan berbentuk bulat, dihiasi dengan rangkaian bunga dan berada di atas dudukan teratai. Setiap puncak kedua stupa ini dihiasi oleh chattra.
Selanjutnya, keping relief ke-83 dalam kisah ini meggambarkan pembangunan stupa di desa Khara untuk menghormati mangkuk patra Arya Mahakatyayana. Stupa ini juga juga digambarkan berbentuk bulat, dihiasi oleh rangkaian bunga di tengahnya, dan berada di atas dudukan teratai yang berada di atas takhta persegi. Stupa ini pun memiliki sebuah chattra di puncaknya. Digambarkan pula di dalam relief bahwa hujan bunga turun dari langit menyambut pembangunan stupa ini. Di sebelah kiri dan kanan stupa terdapat dupa dengan asap yang membumbung tinggi dan mengapit stupa ini adalah sang kepala desa Khara dan seorang dewi.
Selanjutnya, keping relief ke-85 menggambarkan pembangunan sebuah stupa untuk menghormati tongkat khakkhara Arya Mahakatyayana. Bentuk stupa ini juga mirip dengan stupa yang ada di keping relief yang ke-83, yakni berbentuk bulat dan memiliki chattra di atasnya.
Menutup rangkaian relief Awadana di galeri pertama dinding dalam barisan bawah ini, adalah keping yang ke-120. Sayangnya hingga sekarang, cuplikan kitab yang digambarkan dalam relief ini belum bisa diidentifikasi. Namun, keping relief yang ke-120 ini kembali lagi menggambarkan sebuah stupa berbentuk bulat yang dilindungi oleh sebuah chattra di puncaknya.
Mari sekarang kita beralih ke rangkaian relief yang berada di bagian langkan luar dari galeri/tingkat pertama Candi Borobudur. Sebanyak 135 keping pertama pada baris atas di bagian ini menceritakan 34 kisah dari Jatakamala karya Aryasura. Secara khusus, keping ke-112 s.d. 115 menceritakan kisah Jataka Sang Gajah Putih yang mengorbankan dirinya dengan cara terjun dari tebing sehingga daging tubuhnya bisa dimakan oleh para pengembara yang sedang tersesat dan kelaparan. Keping ke-115 adalah penutup kisah ini yang menggambarkan para pengembara menghormati sisa tubuh Sang Gajah Putih dengan cara menyimpannya ke dalam sebuah stupa. Stupa ini digambarkan memiliki chattra di puncaknya.
Keping yang ke-366 dari rangkaian relief di bagian ini juga sekali lagi menggambarkan sebuah stupa yang memiliki chattra di puncaknya. Keping ini menunjukkan dua orang praktisi, seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang sedang memberikan pemandian kepada stupa tersebut menggunakan kamandalu.
Selanjutnya kita beralih ke galeri kedua bagian dinding dalam dari Candi Borobudur yang reliefnya menceritakan kisah-kisah dari Gandawyuha Sutra. Keping ke-45 menggambarkan Sudhana bersama dengan Westhila sedang menghormat kepada sebuah stupa. Yang teramat sangat menarik di sini adalah bentuk stupanya yang sangat unik karena memiliki sebuah chattra yang bertingkat lima. Chattra di tingkat paling bawah berukuran kecil, kemudian yang di tingkat kedua adalah yang paling besar, kemudian semakin naik ke atas semakin mengecil lalu di bagian paling atas dari chattra ini adalah perhiasan permata. Bisa jadi Van Erp merekonstruksi chattra stupa utama Candi berdasarkan gambar relief ini!
Selanjutnya, keping ke-96 dari bagian relief ini juga diduga menggambarkan Sudhana dan Westhila sedang menghormati stupa. Stupa ini duduk di atas sebuah takhta yang ditopang oleh singa dan juga dilindungi oleh chattra di bagian puncaknya.
Demikian pula keping ke-98, juga diduga masih menggambarkan kisah Sudhana sedang diajak oleh Westhila, sang kalyanamitra, untuk memberikan penghormatan kepada sebuah stupa. Stupa yang ada di relief ini bahkan lebih unik lagi karena memiliki chattra dengan 13 lapisan!
Jadi, kesimpulan apa yang bisa kita tarik dari semua ini? Ternyata Borobudur sendiri sama sekali tidak asing dengan formasi chattra dan stupa. Melihat semua relief ini, terkesan bahwa seakan-akan Borobudur sendiri telah bercerita secara langsung kepada kita dan meminta agar kita benar-benar menyimak tuturan-tuturannya. Relief-relief Borobudur sendirilah yang membuktikan bahwa Borobudur sendiri sebenarnya tidaklah anti-chattra. Jelas Van Erp tidak berimajinasi tanpa dasar ketika beliau merekonstruksi kembali sebuah chattra dengan bentuk tiga tingkat menggunakan serpihan-serpihan batu yang beliau temukan ketika beliau memimpin proyek ekskavasi dan restorasi Candi Borobudur.
Sekarang, pertanyaannya adalah: apakah kita akan mengindahkan relief-relief ini dan menuruti kehendak Candi Borobudur untuk bisa paripurna dengan chattra terpasang di puncak stupa utamanya? Apakah kita berkeinginan untuk bisa seperti Sudhana yang memberikan puja bakti kepada stupa Candanaphita yang juga memiliki chattra?
Sumber rujukan:
N. J. Krom (1927). Barabudur: Archaeological Description. The Hague: Martinus Nijhoff
Penulis: Prawirawara Jayawardhana
Artikel ini pertama kali terbit di borobudurwriters.id