oleh Samantha J.
Apa yang muncul di pikiran orang-orang ketika mendengar ajakan “Ayo mengumpulkan kebajikan di Borobudur”? Tentu saja kemungkinan terbaiknya adalah menyambut dengan penuh semangat. Namun, tak sedikit juga yang mengeluh. Ada yang mengeluhkan jarak. Ada pula yang mengeluhkan banyaknya wisatawan yang membuat suasana tidak khusyuk. Ada juga yang berpikir begini:
“Buat apa ke Borobudur? Ke wihara juga bisa.”
Pembahasan ini muncul dalam Lamrim Talk Seri Borobudur bertajuk “Ziarah ke Borobudur: Wisata atau Praktik”, persisnya dalam pemaparan Johnson Khuo, seorang Dharmaduta, praktisi bisnis, dan pecinta Borobudur.
Sebelum kita bisa mengajak seseorang untuk mengumpulkan kebajikan di Borobudur, kita harus tahu bahwa candi warisan nenek moyang kita itu memiliki satu fungsi yang lebih fundamental, yaitu sebagai situs ziarah untuk membangkitkan keyakinan atau sraddha. Fungsi ini juga berhubungan dengan sebab dari keluhan-keluhan tadi, yaitu kurangnya keyakinan dalam batin kita.
Ziarah, Praktik yang Diajarkan Sang Buddha
Dalam Mahaparinibbana Sutta dijelaskan bahwa sebelum Buddha parinirwana, Buddha mengajarkan praktek ziarah ke tempat-tempat tertentu yang bisa membangkitkan keyakinan. Instruksi untuk berziarah juga ada dalam Kanon Sansekerta, salah satunya adalah Sutra Gandawyuha yang mengisahkan peziarahan Sudhana untuk menemui para kalyanamitra yang menunjukkan jalan mencapai Kebuddhaan. Sutra ini juga terukir di Candi Borobudur. Dalam kelas Tantra tertentu, praktisi memiliki kewajiban melakukan ziarah ke situs-situs tertentu. Salah satu situs tersebut bahkan ada di Indonesia, yaitu Candi Bahal.
Johnson juga memaparkan perjalanan tokoh-tokoh Buddhis yang dikenal melakukan peziarahan, mulai dari Raja Ashoka yang berziarah untuk menyebarkan relik Buddha dan mendirikan stupa hingga Biksu Tang Xuanzang yang perjalanannya ke Nalanda menjadi inspirasi bagi hikayat “Perjalanan ke Barat” dan film “Kera Sakti”. Tidak hanya itu, Johnson juga menjelaskan bagaimana Nusantara menjadi salah satu tujuan peziarahan, dibuktikan dengan catatan perjalanan I-Tsing dan riwayat Guru Atisha Dipamkara Srijnana. Bahkan peziarahan Guru Atisha yang mencari guru ke Suwarnadwipa tidak hanya membuatnya meraih kemajuan spiritual yang luar biasa, tapi juga menjadi cikal-bakal Buddhisme Tibet yang berkembang di masa kini.
Kembali pada pembahasan tentang esensi dari praktik ziarah itu sendiri, Johnson menegaskan bahwa kata kunci dari ziarah adalah keyakinan. Beliau pun kembali menyebutkan kutipan dari Mahaparinibbana Sutta sebagai berikut:
“Inilah tempat yang bisa membangkitkan keyakinan… Para biksu, biksuni, upasaka, dan upasika yang penuh keyakinan, jika datang ke sini dan berpikir… Jika mereka meninggal di tempat-tempat tersebut, maka mereka akan terlahir di alam surgawi.”
Apa maksudnya KEYAKINAN?
Ketika menjelaskan cara kerja batin, Sang Buddha mengajarkan tentang faktor mental yang mewarnai batin setiap orang. Ketika faktor mental pengganggu muncul di batin kita, kita akan merasa gelisah. Tindakan yang kita lakukan pun akan menjadi karma buruk yang kemudian membuat kita tidak bahagia. Sebaliknya, jika faktor mental bajik yang muncul, batin kita akan menjadi positif. Tindakan kita pun akan menjadi karma bajik yang mendatangkan kebahagiaan.
Keyakinan (Sansekerta: Sraddha; Pali: Sadha) adalah satu dari 11 faktor mental bajik yang bisa kita kembangkan. Dalam kitab Abidharma-samuccaya, keyakinan didefinisikan sebagai sebuah kepastian, kejelasan, dan pengharapan yang ditujukan pada objek yang memiliki kualitas-kualitas unggul. Keyakinan memiliki fungsi sebagai penyokong aspirasi. Dalan kitab Ratnolka-dharani, keyakinan dijabarkan dengan bait berikut:
“Keyakinan adalah pelopor, dan, ibarat seorang ibu, sang penghasil.
Ia menjaga dan meningkatkan segala kualitas unggul.
Ia mengenyahkan keraguan dan membebaskanmu dari keempat sungai besar.
Keyakinan menandakan kota kebahagiaan dan kebajikan.”
Keyakinan yang dimaksud di sini tentu bukan keyakinan pada sembarang objek, melainkan keyakinan kepada Triratna yang terdiri atas Buddha, Dharma, dan Sangha. Keyakinan di sini juga bukan berarti secara buta meyakini atau memuja Triratna, melainkan yakin yang didasari oleh pemahaman logis dan perasaan yang nyata.
Johnson menjelaskan bahwa dalam Buddhisme, keyakinan terbagi ke dalam tiga tahapan. Pertama adalah yakin karena kagum dengan kualitas eksternal, misalnya karena penampilan Buddha yang luar biasa: rupawan, bercahaya keemasan, dan dihiasi banyak sekali tanda-tanda yang mengagumkan.
Berikutnya adalah yakin karena hasil analisis, misalnya analisis terhadap hukum karma atau sebab-akibat. Kalau tadi kita kagum pada kualitas eksternal yang dimiliki Sang Buddha, kita bisa lanjut mencari tahu sebab dari kualitas itu. Kita pun akan menemukan bahwa kualitas itu merupakan hasil dari sepuluh juta kebajikan yang Beliau kumpulkan karena didorong oleh welas asih-Nya kepada semua makhluk. Kita pun semakin yakin pada Buddha karena paham bahwa Beliau telah berjuang menyempurnakan diri demi kita semua.
Tahapan terakhir dari keyakinan adalah keinginan yang kuat untuk menjadi seperti sosok yang kita yakini. Jadi, kita tidak berhenti pada kagum atau mengidolakan saja, tapi juga membangkitkan tekad untuk mengikuti jejak Sang Buddha untuk menjadi seperti-Nya sesuai dengan apa yang Beliau ajarkan.
Tanpa keyakinan, tidak ada usaha, tidak ada kebajikan
Kualitas bajik perlu dikembangkan setahap demi setahap. Tahapan ini dijelaskan Abhidharma-samuccaya & Mahabodhipatakrama. Bermula dari keyakinan, muncullah aspirasi (chanda), yaitu keinginan kuat untuk memiliki kualitas-kualitas dari objek yang kita yakini. Aspirasi ini menghasilkan wirya atau batin yang bersemangat untuk mewujudkan aspirasi bajik. Wirya ini adalah obat dari segala macam kemalasan, baik itu sikap menunda-nunda, teralihkan oleh hal lain yang lebih menarik, maupun rasa tidak mampu. Dengan adanya wirya, kita akan meraih kelenturan (prasrabhi), yaitu kondisi di mana tubuh dan batin kita bisa dengan mudah melakukan berbagai aktivitas bajik sesuai dengan keinginan kita. Dengan demikian, kita pun bisa mengatasi semua halangan dan meraih semua kualitas baik yang kita cita-citakan. Kebajikan dan kebijaksanaan yang kita butuhkan untuk menjadi seperti Sang Buddha bukan lagi sekadar angan!
Keyakinan sendiri dalam praktiknya memiliki dua aspek, yaitu pemahaman dan perasaan. Kalau kita tidak punya keyakinan, tidak peduli sebanyak apapun keagungan Borobudur yang dijelaskan kepada kita, kita tidak akan merasa tergerak untuk pergi ke sana mengumpulkan kebajikan.
“Saya bekerja lima hari seminggu, capek, saya merasa kebutuhan saya lebih terpenuhi dengan rebahan di rumah dibanding ketemu Buddha,” Johnson memberikan contoh, “Kita tidak punya keyakinan bahwa Buddha bisa memberikan solusi. Kita lebih percaya bahwa ranjang kita lebih bisa memberikan solusi, maka kita memilih ranjang. Kita tidak memilih Buddha.”
Kita tidak sadar bahwa ranjang kita bukan solusi. Ia hanya bisa memberikan kenyamanan sementara. Kita juga tidak sadar bahwa kenyamanan itu berasal dari kebajikan yang harus kita kumpulkan dengan upaya. Jika kita tidak mengumpulkan cukup karma baik, semahal apapun ranjang yang kita tempati, kita tidak akan bisa beristirahat. Kalaupun kita bisa beristirahat, kita akan kembali merasa lelah saat hari kerja tiba dan diserang oleh berbagai emosi negatif yang membuat kita mengumpulkan lebih banyak sebab penderitaan. Kita perlu mengembangkan kualitas batin hingga terbebas dari samsara seperti yang diajarkan Sang Buddha agar bisa benar-benar berbahagia.
Ziarah ke Borobudur, upaya membangkitkan keyakinan
Keyakinan itu perlu dilatih. Agar kita bisa menumbuhkan keyakinan di batin kita, kita membutuhkan bantuan objek-objek eksternal. Karena itulah ada objek-objek suci seperti rupang Buddha, kitab suci, stupa, dan sebagainya. Misalnya dengan melihat rupang Buddha, kita bisa mengingat kualitas-kualitas Buddha, mulai dari kualitas tubuh yang dihiasi 32 tanda utama dan 80 tanda tambahan, kualitas ucapan yang bisa menjawab pertanyaan semua makhluk dengan satu kata, hingga kualitas batin yang maha tahu dan memiliki welas asih yang sama sekali tidak pilih kasih. Ketika mengingat hal tersebut saat kita melihat sebuah rupang Buddha, kekaguman kita akan tumbuh. Dari situ kita bisa lanjut melakukan analisis hingga membangkitkan tekad untuk mengikuti teladan Buddha. Jadi, objek-objek suci berfungsi untuk membantu kita membangkitkan ketiga jenis keyakinan yang kita butuhkan untuk bisa mengumpulkan kebajikan.
Ziarah juga merupakan salah satu faktor eksternal yang dapat membantu kita melatih keyakinan dan secara langsung dianjurkan oleh Buddha sendiri. Misalnya ketika kita melihat pohon bodhi tempat Buddha meraih penerangan sempurna di India, kita akan ingat bahwa pencapaian Kebuddhaan yang diraih Pangeran Siddhartha adalah fakta sejarah, bukan dongeng. Kita diingatkan bahwa dulu pernah ada manusia biasa yang mudah marah, mudah iri, dan punya segudang sifat buruk lainnya seperti kita berhasil menaklukkan semua sifat-sifat buruk itu dan meraih tingkat kesucian tertinggi demi kebaikan semua makhluk. Kita pun jadi sadar bahwa kita juga bisa menjadi seperti Beliau. Aspirasi kita akan bangkit dan kita pun akan dengan semangat melatih diri untuk menjadi lebih baik hingga meraih pencapaian yang sama.
Lantas, bagaimana dengan Borobudur? Candi Borobudur sendiri merupakan sebuah ladang kebajikan. Dari sudut pandang Tantra, peneliti dan pakar arkeologi Prof. Noerhadi Magetsari menyatakan bahwa Borobudur adalah sebuah mandala. Namun, umat Buddhis awam pun bisa dengan mudah menemukan aspek-aspek Triratna di Candi Borobudur. Di sana terdapat 504 patung Buddha. Dinding-dinding Candi Borobudur dipenuhi oleh relief Sutra yang dibuat berdasarkan kata-kata Dharma. Di dalam relief tersebut, terdapat tak terhitung banyaknya relief Bodhisatwa yang merupakan Ratna Sangha. Jadi, dapat dikatakan bahwa Candi Borobudur merupakan perlambang Triratna yang lengkap.
Setelah memaparkan hal tersebut, Johnson juga menjelaskan tentang Sila Berlindung atau Tisarana yang dimiliki oleh umat Buddha. Salah satu dari sila-sila yang harus dilatih adalah memandang representasi Triratna sebagai Triratna yang sesungguhnya. Ini berarti terdapat 504 Buddha sungguhan serta Dharma dan Sangha yang tak terhitung banyaknya berdiam di Candi Borobudur. Inilah yang menjadikan Borobudur tempat ziarah yang luar biasa bagi seluruh umat Buddha untuk membangkitkan keyakinan.
Salah satu sosok yang telah membuktikan manfaat dari praktik Sila Berlindung ini adalah Arya Sariputra, murid utama Buddha Shakyamuni. Di salah satu kehidupan lampau-Nya, Beliau melihat lukisan Buddha dan mempersembahkan pelita sambil membangkitkan tekad untuk bisa bertemu Sang Buddha. Konon itu merupakan salah satu sebab utama yang membuatnya menjadi salah satu murid utama Sang Buddha.
Kenyataannya, Buddha memang benar-benar hadir di mana-mana, termasuk di Candi Borobudur. Ini dijabarkan secara gamblang dalam kitab-kitab Buddhis. Salah satunya adalah sebuah bait dalam Arya Bhadracarya Pranidhana Raja yang juga terukir di Candi Borobudur itu sendiri.
“..Dengan percaya diri, saya melihat alam semesta ini demikian, seluruhnya dipenuhi oleh para Buddha.”
-Arya Bhadracarya Pranidhana Raja
Ketika telah mencapai tingkat kesucian tertentu, seorang praktisi Buddhis akan bisa melihat setiap rupang Buddha sebagai tubuh Buddha yang sesungguhnya. Praktisi yang telah mencapai Marga Akumulasi bisa melihat patung dan lukisan Buddha sebagai tubuh Nirmanakaya yang sesungguhnya. Kemudian, ketika mencapai Marga Penglihatan (mulai dari bhumi Bodhisatwa pertama yang direpresentasikan oleh tingkat pertama Candi Borobudur), sang praktisi akan bisa melihat representasi Buddha sebagai tubuh Sambhogakaya yang sesungguhnya.
Kondisi Borobudur saat ini
Anggaplah kita sudah memiliki pemahaman yang tepat tentang pentingnya keyakinan dan fungsi Borobudur untuk membangkitkan keyakinan tersebut. Kemudian, kita datang ke Borobudur untuk melakukan ziarah. Ternyata, saat kita hendak merenungkan kualitas Buddha di Borobudur, orang-orang di sekitar kita malah menduduki stupa, berfoto, menempelkan permen karet, bahkan berpacaran.
Saat ini, Candi Borobudur memang tidak kondusif bagi umat Buddha untuk membangkitkan keyakinan. Di saat yang sama, wisatawan umum pun pasti kesulitan mendapatkan pengalaman unik di Candi Borobudur karena aktivitas yang dikembangkan di sana lebih berorientasi pada hiburan yang sebenarnya bisa didapatkan di tempat lain.
Johnson memaparkan bahwa permasalahan ini seharusnya bisa diatasi jika umat Buddha dilibatkan dalam pengelolaan Borobudur. Mengingat Sila Berlindung yang dipegang umat Buddha, tentu saja tidak akan ada umat Buddha yang bersandar di stupa, apalagi melakukan hal-hal yang bertentangan dengan fungsi asli Borobudur ataupun berpotensi merusak. Dengan masukan dari umat Buddha, kesakralan maupun keutuhan bangunan candi tentu akan terjaga.
Candi Borobudur sendiri saat ini memiliki tiga pemangku kepentingan: umat Buddha, Indonesia, dan dunia.
“Kita tidak bisa mengatakan borobudur adalah world heritage, maka kita prioritaskan dunia, terus umat buddha dikesampingkan. Tidak bisa juga kita bilang Borobudur adalah world heritage, indonesia berkorbanlah sedikit demi dunia,” cetus Johnson.
Jika kita ingin kebutuhan ketiga pemangku kepentingan Borobudur ini terpenuhi, satu-satunya solusi adalah mengelola Borobudur dengan memakai filosofi Buddhadharma sebagai landasan. Dengan demikian, selain umat Buddha bisa khusyuk berziarah di Borobudur, Indonesia dan dunia pun mendapat manfaat dari terjaganya identitas Borobudur sebagai world heritage yang unik dan tiada duanya. Saat ini, kebanyakan wacana pengelolaan Borobudur yang diberitakan masih belum berkaitan dengan filsafat Buddhis sama sekali–mulai dari pendirian science park, kampung seni, bahkan yang terbaru adalah trayek balap motor. Kalau ini dibiarkan, Borobudur akan kehilangan identitas dan tak ada bedanya taman rekreasi biasa. Di sinilah kesempatan umat Buddha untuk berkontribusi bagi Indonesia dan dunia.
Keyakinan yang hilang
Setelah mendengarkan pemaparan Johnson seputar keyakinan, praktik ziarah, dan Candi Borobudur saya merasa sedang berhadapan dengan sebuah lingkaran setan. Di tengah segala macam perhatian yang mengarah pada Candi Borobudur, umat Buddha termasuk saya sendiri lebih banyak bergeming. Segala narasi tentang Borobudur sebagai “piwulang luhur” dan ajakan untuk mengumpulkan kebajikan dan kebijaksanaan di Borobudur tak membuat kita tergerak karena kurangnya keyakinan membuat kita merasa istirahat di akhir pekan jauh lebih penting dan mendesak. Padahal, kita butuh mengembangkan keyakinan agar bisa memiliki semangat dan melakukan upaya untuk mengatasi segala permasalahan kita sampai ke akar. Untuk membangkitkan keyakinan itu, kita seharusnya bisa melakukan ziarah seperti yang dianjurkan Sang Buddha ke Candi Borobudur yang sudah dibangun susah payah oleh nenek moyang kita untuk tujuan tersebut. Namun, Borobudur saat ini tidak kondusif untuk ziarah dan kita sebagai umat Buddha pun tak banyak melakukan usaha untuk memperjuangkannya, tentu saja karena keyakinan yang hilang dalam batin kita semua. Dengan keadaan seperti ini, bukan kita sendiri yang rugi, tapi Candi Borobudur terancam kehilangan identitasnya dan berubah menjadi theme park biasa. Perjuangan nenek moyang kita mendirikan monumen pengumpulan kebajikan demi kebahagiaan semua makhluk terancam sia-sia karena kurangnya keyakinan kita.
Kemampuan untuk memutus lingkaran setan itu seharusnya ada di tangan kita. Kita bisa mulai dari mempertanyakan sejauh mana keyakinan yang kita miliki terhadap Triratna dan sebutuh apa kita akan karma baik yang baru bisa terhimpun ketika kita memiliki keyakinan tersebut. Kemudian, tanyakan lagi, semampu apa kita membangkitkan keyakinan itu dengan kemampuan diri sendiri yang masih gampang terbuai oleh kesenangan sesaat tanpa mengikuti instruksi Buddha untuk berziarah dan mengandalkan situs suci seperti Candi Borobudur?
Ketika kita bisa melepas kesombongan yang membuat kita merasa tidak membutuhkan bantuan Candi Borobudur ataupun objek-objek suci untuk melatih batin kita, barulah kualitas keyakinan punya ruang untuk tumbuh di dalam diri kita. Setelah itu, barulah kita bisa bicara soal mengumpulkan kebajikan di Candi Borobudur dan bergerak untuk memperjuangkannya.
Lamrim Talk “Ziarah ke Borobudur: Wisata atau Praktik” bisa disaksikan di sini.