Jika sebelumnya kita telah membahas tentang manfaat mengingat kematian, kita juga harus tahu bagaimana cara mempraktikkannya dengan tepat. Mengingat kematian itu bukan sekadar berpikir, “Oh ya, kayaknya sore ini aku bisa saja mati karena serangan jantung atau tertabrak mobil (amit-amit walaupun sangat mungkin untuk terjadi, like who knows?)”. Mungkin, cara ini bisa jadi langkah awal bagi kita untuk memulai. Namun, ada sudut pandang yang jauh lebih luas dan dalam untuk dipertimbangkan sehingga bisa lebih ‘menampar’ kita dan menyadarkan bahwa bisa saja ajal kita tiba lebih dulu dibandingkan pesanan ojek online kita lima menit yang lalu.
Terus, terus, apa saja sih yang harus kita renungkan? Nah! Secara umum, ada tiga poin besar yang bisa kita pikirkan, loh! Ketiga poin itu adalah:
- Kematian itu pasti akan datang, fix pake banget!
- Terus, kapan ya kita bakal mati? Yo ndak tau kok tanya saya. Kita nggak bakal bisa tau kapan kita mati 🙁
- Pas kita mati, ga ada satu pun hal yang bisa kita andalkan, kecuali Dharma
Lalu, setiap poin diatas terbagi lagi menjadi tiga bagian. Jika dijumlahkan, berarti ada sembilan poin yang bisa dan harus banget kita renungkan. Di artikel ini, kita bakal bahas tiga bagian pertama, yaitu yang berhubungan dengan kepastian kematian.
- Kematian itu pasti akan datang dan gak bisa dihindari, guys! Udah siap belum?
Nggak peduli sebanyak banyak harta seorang milyuner, setampan atau secantik apa paras artis korea, ataupun seberapa tinggi jabatan para bos-bos besar, ajal pasti datang menjemput. Jelas-jelas kita udah dikasih tahu spoiler dari ending hidup kita. Anehnya, kenapa kita masih santai-santai ya? Padahal kalau dikasih spoiler dari film yang pengen banget kita nonton, kita bisa “naik darah” dan memutuskan untuk nonton sesegara mungkin.
Kita mau lari ke mana pun, nggak ada tempat yang bisa melindungi kita dari kematian. Saat ini, kita hanya sedang menunggu giliran saja untuk dipanggil oleh ‘Raja Kematian’. Hanya saja, kita tidak tahu kita dapat nomor antrean berapa. Sejujurnya, hal ini bisa bikin bingung. Kita harus merasa bahagia atau sedih? Sedih karena kematian pasti akan datang atau bahagia karena kebetulan kita belum girliran? Sebenarnya dua-duanya nggak salah sih…
Satu hal yang pasti, mau kita betulan mati hari ini atau nggak, berpikir “sangat mungkin bagi kita untuk mati hari ini” sama-sama bermanfaat buat kita. Kemungkinan pertama, kalau kita mati betulan, setidaknya kita nggak kaget lagi dan benar-benar siap menghadapinya. Kemungkinan kedua, kalaupun kita nggak jadi mati hari ini (bisa saja malah besok), kita telah memanfaatkan hari ini dengan baik.
Kalau sebelumnya kita terlalu pelit untuk berdana misalnya, karena ingat bisa mati kapan saja dan harta nggak bisa dibawa mati, kita bisa punya sedikit niat untuk melakukannya. Ini saja sudah membuahkan karma bajik loh, guys! Bakal lebih baik lagi kalau niat tersebut benar-benar dilakukan.
Kalau sebelumnya kita punya banyak musuh atau membenci banyak orang, maka di hari itu, kita akan berusaha untuk memaafkan dan meminta maaf kepada orang-orang yang pernah kita sakiti sebelumnya dan berharap semoga mereka selalu mendoakan segala hal yang baik untuk kita jika kita meninggal di hari itu.
See? Tidak ada ruginya kan bila kita merenungkan bahwa kematian itu pasti akan datang, bahkan mungkin hari ini juga. Bisa saja kita mati lima menit setelah selesai membaca artikel ini, satu jam setelahnya, ataupun seterusnya. Atau, kita juga bisa merasa cukup beruntung karena ajal kita belum tiba saat ini berkat karma bajik kita yang masih terus berbuah. Turut bermudita bila memang opsi kedualah yang sedang terjadi pada kita saat ini.
- Gak kayak billing warnet, umur kita gak bakal bisa ditambah, malah berkurang terus
Sadar nggak sih kalau begitu kita lahir ke dunia ini, saat itu juga kita sebenarnya mulai berjalan menuju kematian? Di hari pertama kita lahir saja umur kita sudah berkurang satu hari. Berarti, ungkapan bahwa umur kita selalu berkurang satu tahun di hari ulang tahun kita juga merupakan pernyataan yang valid.
Sadar nggak sih kalau sebenarnya garis batas antara kehidupan dan kematian itu cuma sebatas napas yang kita hirup dan hembus setiap saat? Garis ini tipis sekali. Sebentar saja kita gagal saja untuk menghirup atau menghembus napas, kita sudah mengalami perpindahan fase menuju kematian (beda cerita kalau memang sengaja menahan napas, ya!). Oleh karena itu, kita juga harus sadar bahwa sisa waktu hidup kita akan terus berkurang dan tergerus dengan setiap tarikan napas kita.
Sayangnya, rentang hidup kita tidak bisa diperpanjang, gak kaya billing warnet atau jam karaoke yang tinggal minta tambah waktu ke operator di depan. Bahkan, nggak ada yang benar-benar bisa memastikan bahwa besok pagi kita masih bisa sanggup untuk bangun dari tidur kita malam ini. Namun tampaknya, kita selalu terlalu percaya diri bahwa besok kita masih bisa bangun tidur seperti biasa karena selama ini keadaan normalnya begitu. Kalau kita terus berpikir seperti itu, siap-siap aja dapat kejutan di malam ini ataupun malam-malam berikutnya. Kita nggak akan pernah tahu malam keberapa yang akan jadi malam terakhir kita bisa tidur nyenyak di kasur empuk kesayangan.
- Waktu praktik Dharma gak ada, tapi jalan sama gebetan mah gas terus, bos!
Setelah dibangunkan oleh realita tentang kematian itu pasti, apakah hati kita sudah mulai tergerak untuk melakukan sesuatu? Jika iya, apa sih yang harus kita lakukan? Jawabannya simpel. Ya, praktik Dharma, dong!
Coba kita ingat-ingat lagi jadwal kegiatan kita dalam satu hari penuh. Setiap orang memiliki jatah waktu yang sama dalam satu hari, yakni 24 jam. Mungkin jadwal setiap orang bisa berbeda-beda, tapi kita bisa mengambil contoh dari jadwal kebanyakan orang pada umumnya.
Kita bangun pukul 6 atau 7 pagi. Saat bangun, kita langsung cek HP, scroll-scroll medsos dulu. Lalu, kita bersiap-siap untuk mandi, sarapan, dan berangkat kerja/sekolah (+ les tambahan sepulang sekolah). Dengan asumsi kegiatan nine-to-five, kita menyelesaikan urusan pekerjaan/sekolah seharian dan pulang kembali ke rumah. Di rumah, kita beres-beres, makan, lalu main HP, nonton TV, ngerjain PR atau tugas sekolah/kantor yang belum selesai. Setelah selesai, kita ngantuk dan pergi tidur untuk melanjutkan aktivitas yang kurang lebih sama keesokan harinya.
Dengan alasan kita sudah berusaha keras untuk bekerja/belajar dari hari Senin sampai Jumat, kita memutuskan untuk mengikuti tren kekinian dengan melakukan self healing ala-ala saat weekend tiba. Syukur-syukur kalau lagi mood, kita memutuskan untuk ke wihara saat hari Minggu (atau ikut kebaktian online karena wihara tutup pas PPKM). Jadi, sebenarnya kapan sih kita melakukan praktik Dharma-nya? Kalau dalam sehari kita bisa tidur cukup kurang lebih selama delapan jam (sepertiga dari hari kita), dengan asumsi umur kita hanya 60 tahun, artinya kita sudah menghabiskan waktu selama 20 tahun hanya untuk tidur saja, lho! Sisanya, hari-hari kita pun selalu diisi oleh kegiatan duniawi. Memangnya kita sudah cukup percaya diri kalau tiba-tiba kita mati malam ini?
Saat masih muda, kita berpikir praktik Dharma itu prioritas nomor sekian dibanding rutinitas di atas. Masa muda kan saatnya mengejar semua mimpi-mimpi kita (katanya, sih). Kalau udah tercapai semua, kita bisa menikmati masa tua dengan tenang, pasti bisa fokus praktik Dharma. Ternyata eh ternyata, fisik kita sudah nggak kuat lagi untuk bergerak. Kemampuan untuk belajar juga sudah menurun karena faktor usia. Akhirnya, kita malah menyesali kenapa kita nggak mulai praktik Dharma saat masih muda dulu. Banyak nih yang pengalamannya begini.
Jadi, setelah sadar kalau umur kita ada batasnya, kita juga harus ingat bahwa nggak ada waktu yang lebih tepat buat praktik Dharma selain sekarang! Kalau kita selalu merasa nggak punya waktu buat praktik Dharma, tapi siaga kalau diajak jalan sama gebetan, kita perlu mengecek ulang apa yang sedang terjadi sama diri kita. Bisa jadi karena motivasi kita menjalani hidup ini belum benar-benar kokoh. Untuk mengulik lebih jauh soal “motivasi hidup” ini, silakan baca artikel “Mengubah Niat Jadi Motivasi” ya!
Nah, itulah tiga poin yang harus kita renungkan terkait kepastian kematian. Perlu diingat kembali bahwa tujuan dari penulisan artikel atau perenungan poin-poin di atas bukan untuk menakut-nakuti kita (walaupun bisa jadi kita memang perlu agak ditakut-takutin sih, hehe)! Tujuan utamanya adalah hanya untuk mengingatkan bahwa cepat atau lambat, kematian itu pasti akan datang menghampiri kita.
Jadi, apakah kita sudah siap untuk menghadapi hari datangnya kematian, bahkan jika hari itu adalah hari ini?
Referensi:
Pembebasan di Tangan Kita Jilid II oleh Phabongkha Rinpoche
Risalah Agung Tahapan Jalan Menuju Pencerahan: Lamrim Chenmo Jilid 1 oleh Je Tsongkhapa
Jika Hidupku Tinggal Sehari: Apa yang Bisa Kuperbuat? oleh Dagpo Rinpoche