oleh Elvan A. W.
Akhir-akhir ini, jagad Indonesia lagi dihebohkan dengan kasus ghosting anak presiden. Buah pisang yang biasa ada di nasi kotak tidak lagi ditemani tisu. Terlepas dari fenomena yang cukup menghebohkan tersebut, Sahabat pernah nggak mengulik definisi ghosting? Lalu kembali ke topik artikel ini, ada nggak yang merasa Siddharta Gautama ghosting-in kita setelah menjadi Buddha?
Bingung maksudnya gimana? Mari kita simak uraian berikut ini.
Menurut berbagai sumber di internet (ingat, netizen maha benar), ghosting bisa didefinisikan sebagai tindakan memutuskan segala bentuk komunikasi tanpa alasan jelas. Bayangin aja kita lagi kontak-kontakan sama seseorang, eh tahu-tahu dia nggak bisa dihubungi dan menghilang begitu saja. Bukan, bukan seperti Avatar Aang yang menghilang ketika negara api menyerang (walaupun boleh dikatakan Aang memang melakukan ghosting). Fenomena ghosting ini bisa terjadi tiba-tiba kepada siapa saja tanpa diketahui sebabnya. Misalnya orang yang sedang PDKT tiba-tiba menghilang, atau bahkan waktu lagi sayang-sayangnya semasa pacaran mendadak lost contact, atau dosen pembimbing skripsi yang setuju jadi pembimbing tapi menghilang tanpa jejak saat kita minta dibimbing.
Lalu bagaimana dengan Buddha? Katanya mau bebasin semua makhluk dari samsara, tapi kok masih ada 7 miliar lebih manusia dan miliaran makhluk lain berkeliaran di sini, sampai saat ini?
Buddha pergi ke mana?
Eits, tunggu dulu. Ya, tentu secara historis sosok Siddharta Gautama sudah meninggal lebih dari dua milenia yang lalu. Tapi mari kita geser pertanyaannya, bukan pada apakah Buddha masih hidup atau sudah mati, tapi pada apakah Buddha itu ada atau tidak ada dalam konteks sekarang. Saat ini. Detik ketika matamu membaca tulisan ini. Apakah ada penjelasan logis bahwa Buddha bisa jadi masih ada? Dengan kata lain, bisa jadi Buddha nggak nge-ghosting kita waktu lagi butuh-butuhnya di dunia yang carut-marut seperti zaman edan ini?
Begini, mari kita ambil contoh durian. Kamu mungkin suka durian, tapi aku tidak. Bagiku durian mengerikan, bagimu durian enak. Mau bagaimanapun kamu meyakinkanku, durian tetap mengerikan bagiku. Lalu apakah sebenarnya durian itu enak atau mengerikan? Apa yang benar bagimu belum tentu benar bagiku. Durian yang enak bagimu sama sahihnya dengan durian yang mengerikan bagiku. Lalu kalau durian yang enak sama benarnya dengan durian yang mengerikan, kenapa kita tidak bisa menganalogikan hal yang sama pada Buddha? Buddha yang mungkin sudah tidak ada bagimu, sama benarnya dengan Buddha yang masih ada bagiku. Intinya, aku tak perlu validasi dari siapapun untuk meyakini bahwa Buddha masih ada bagiku.
Masih belum yakin? Berikut ini kusampaikan sebuah alur penalaran logis bahwa Buddha pasti masih ada saat ini, terlepas dari pendapatmu tentang Buddha ada atau tidak ada. Ada beberapa premis yang perlu kita sepakati dulu.
Sebagai seorang Buddhis, kita sepakat bahwa…
Pertama, Buddha merupakan gelar yang disematkan bagi orang yang telah mencapai keadaan tercerahkan. Salah satu syarat keadaan ini adalah mencapai nirwana alias pembebasan dari samsara. Secara historis, keadaan ini dicapai Siddharta Gautama pada usia 35 tahun.
Kedua, kita sepakati bahwa konsep anicca (segala sesuatu yang terkondisi tidaklah tetap) itu sahih. Jika ada yang muncul, maka akan hancur. Jika ada awal, maka ada akhir.
Ketiga, kita sepakati pula bahwa konsep anatta (segala sesuatu adalah tanpa inti yang berdiri sendiri) adalah sahih. Simpelnya, benda yang kamu lihat dan kamu namakan meja tidak punya hakikat “kemejaan” yang menjelaskan bahwa ada satu ciri khusus yang membuat sebuah meja menjadi meja. Misalnya, apakah semua yang berkaki empat itu meja? Tentu tidak. Apakah semua yang permukaannya rata, terbuat dari kayu, dsb. itu meja? Tentu tidak juga. Meja ada karena kumpulan manusia sepakat menyebut suatu benda yang umumnya berkaki empat dan berpermukaan rata sebagai meja, alias manusia yang melabeli suatu objek sebagai meja. Namun, hakikat “kemejaan” sendiri yang mendefinisikan suatu objek sebagai meja tidaklah ada. Jadi, dapat dikatakan bahwa sebenarnya tidak ada “meja” itu sendiri, yang ada hanyalah objek yang menurut kesepakatan manusia itu dinamakan meja. Namun, toh dengan tidak adanya hakikat “kemejaan” itu, bukan berarti meja di mana aku menaruh laptop dan mengetik tulisan ini sekonyong-konyong menghilang dan laptop-ku jatuh lalu terbanting, kan?
Terakhir, kita sepakati bahwa Buddha itu spesial. Spesialnya dimana? Selain sudah tercerahkan, Buddha sekaligus bertekad mencerahkan semua makhluk juga. Tekad ini dikenal sebagai bodhicita. Ini merupakan aspek lain penentu Kebuddhaan yang membuat seorang Buddha berada di tingkatan lebih tinggi dibanding arahat yang juga sudah mencapai nirwana. Jika memiliki bodhicita, kita semua, termasuk cacing, kucing, dan anjing sekalipun, pada akhirnya juga bisa menjadi Buddha.
Apa hubungannya dengan keberadaan Buddha?
Mari kembali ke premis pertama, yaitu Buddha adalah makhluk tercerahkan yang sudah merealisasikan nirwana. Konsekuensi premis pertama adalah, ada manusia yang “berubah” menjadi Buddha di alam manusia itu sendiri. Berarti, Buddha bisa ada di alam manusia. Kita tahu ada 31 alam kehidupan dalam Buddhisme, dan Buddha toh masih ada dalam 31 alam kehidupan (tepatnya alam manusia) bahkan setelah menjadi Buddha. Dengan demikian, ini menegaskan bahwa Kebuddhaan itu adalah suatu keadaan, bukan suatu alam yang lain. Pencerahan atau pembebasan dari samsara itu bukan berarti lenyap dari 31 alam kehidupan dan pergi ke suatu alam ke-32 atau lenyap sekaligus dari muka bumi.
Ta-ta-tapi kan, setelah meninggal baru Buddha-nya lenyap? Mari kita lanjut.
Dengan premis kedua, bahwa segala sesuatu yang terbentuk pasti lenyap, kita bisa mematahkan bahwa Buddha lenyap setelah mangkat. Bagaimana? Begini, bayangkan 31 alam kehidupan sebagai termos Starb*cks. Kalau termosnya vakum sempurna, panas di dalam termos tidak bisa keluar, begitu pula keadaan luar tidak bisa memengaruhi kondisi dalam termos. Kalau tutup termos dibuka, maka hawa panas bisa keluar sekaligus hawa dingin bisa masuk. Dengan analogi yang sama, jumlah makhluk dalam 31 alam kehidupan selalu konstan. Mengapa? Disambungkan dengan premis pertama, jika setelah Buddha mangkat lalu lenyap, maka ada makhluk yang “keluar”. Jika ada yang bisa “keluar,” maka seharusnya ada makhluk baru yang bisa “masuk” ke dalam samsara, dan semestinya proses “masuknya” makhluk baru ini ke dalam samsara dapat diamati oleh kita-kita ini para sesepuh penghuni samsara. Konsekuensinya, Buddha pasti masih ada di dalam 31 alam kehidupan, meskipun sudah bebas dari samsara. Kecuali kita definisikan “makhluk” sebagai sesuatu yang lahir, maka makhluk “di dalam” samsara terus berkurang dengan bertambahnya jumlah Buddha. Mulai make sense?
Lalu, jika setelah Buddha mangkat pun ternyata Beliau tidak benar-benar lenyap, lalu sekarang Buddha di mana? Jawabannya: Buddha ada, tapi tidak ada di mana-mana. Bayangkan kembali meja yang menopang laptopku ada, aku tidak sedang memangku laptop dan berkhayal ada meja di sini, tapi pada saat yang sama, “meja” itu tak ada di mana-mana. Namun ada kelebihan Buddha yang tak dimiliki meja, ataupun makhluk lain yang belum cerah. Salah satunya adalah kemampuan untuk mewujud, bermanifestasi, itulah superpower-nya Buddha. Simpelnya, Buddha tidak perlu lahir (lalu tua, sakit, dan mati lagi) namun cukup dengan mewujud saja. Buddha tidak di mana-mana, tapi bisa ada di mana-mana juga. Nggak percaya? Cari saja sutra, buku, atau tulisan yang merinci kualitas Buddha. Satu hal yang pasti, kalau kemampuan Buddha hanya sebatas apa yang bisa kita lihat dan alami, buat apa seorang Buddha susah-susah berjuang menjadi Buddha?
Terakhir, premis keempat mengingatkan kita bahwa tujuan Buddha menjadi Buddha adalah membebaskan semua makhluk dari samsara. Tapi toh kenyataannya para pembaca yang budiman, netizen mahabenar, dan aku juga masih dalam samsara. Perlu diingat bahwa Petapa Sumedha sebelum menjadi Siddharta Gautama sudah bisa keluar dari samsara dan memasuki Nirwana pada kehidupan itu juga. Tapi toh doi memilih menyempurnakan paramita selama berkalpa-kalpa untuk menjadi Buddha demi menyelamatkan semua makhluk. Perjuangannya pun bukan main-main, mulai dari mengorbankan anak, istri, sampai mengorbankan diri juga (selengkapnya dapat ditemukan di kisah-kisah Jataka). Berarti misi Buddha belum kelar dong? Yes, kecuali kalian merasa sudah keluar dari samsara. Lalu kalau misinya tidak dikelarin, Buddha bo ceng li alias nggak cuan dong jadi Buddha? Hayo…
Jadi Buddha ghosting-in kita nggak?
Kembali ke pembahasan premis kedua, “makhluk” Buddha itu tidak ke mana-mana, hanya saja bebas mau ke mana, mau jadi apa. Jika pun “lahir,” itu adalah karena pilihan, bukan terpaksa oleh keadaan. Mungkin pengamen di lampu merah yang menyebalkan itu adalah perwujudan-Nya? Bisa jadi, Beliau menjadi pengamen untuk sedikit membantu mengurangi pelitmu. Siapa yang tahu pasti?Jadi, apakah sebenarnya Buddha melakukan ghosting terhadap kita? Atau jangan-jangan, selama ini kita yang nge-ghosting Buddha–ketika Beliau mau menolong kita, tapi kita yang berpaling dan meninggalkan-Nya? Mungkin Buddha pun bingung, dan cuma bilang, “Ya sudah, tidak apa-apa. Saya sabar menunggu kalian kembali.”