oleh Silvi Wilanda
Pergantian tahun. Sebuah momen yang tidak hanya ditunggu-tunggu, namun juga dimaknai secara sakral oleh banyak orang. Banyak aktivitas-aktivitas khas yang rasanya “wajib” dilakukan, misalnya makan bersama keluarga, menyalakan kembang api, kumpul bareng teman, serta membuat resolusi tahun baru. Ya, banyak cara untuk merayakan momen pergantian tahun, begitu juga halnya dengan Kadam Choeling Indonesia (KCI). Setiap tahunnya, KCI selalu memaknai momen pergantian tahun dengan menghimpun kebajikan dengan melakukan retret penyunyian bersama. Adapun aktivitas kebajikan yang dilakukan adalah puja dan mendengarkan pembabaran Dharma.
Tak terkecuali pada pergantian tahun 2020 menuju 2021, KCI juga kembali mengadakan pengumpulan kebajikan dan siaran pengajaran Dharma “Kebajikan Dalam Untaian Doa Bagi yang Beruntung” secara daring melalui aplikasi Zoom pada 25 Desember 2020 hingga 1 Januari 2021. Acara kali ini terdiri atas puja bersama pada sesi pertama dan kedua serta mendengarkan siaran pembabaran Dharma pada sesi ketiga. Sesi pembabaran Dharma sendiri merupakan tayangan ulang pembabaran topik “Empat Segel Agung” serta “Karma dan Akibatnya” yang pernah diberikan oleh Y.M. Drepung Tripa Khenzur Rinpoche. Tulisan ini secara khusus akan membahas kembali pembabaran Dharma topik “Empat Segel Agung” oleh Y. M. Khenzur Rinpoche melalui kacamata penulis.
Filsuf Buddhis: Mempelajari Empat Segel Agung
Rinpoche menjelaskan bahwa Empat Segel Agung merupakan empat pandangan, prinsip, serta filsafat dalam Buddhisme, yang diantaranya adalah sebagai berikut.
- Semua fenomena komposit tidak kekal.
- Semua fenomena tercemar memiliki sifat dasar menderita.
- Semua fenomena tidak memiliki aku, sunya dalam eksistensi yang inheren.
- Nirwana adalah kedamaian tertinggi.
Topik Empat Segel Agung merupakan topik yang amat penting dipelajari karena merupakan pandangan mendasar dalam filsafat Buddhis. Suatu ajaran dikatakan sejalan dengan Buddhisme jika ajaran tersebut berpijak pada Empat Segel Agung ini. Seseorang yang memahami dan menerima ajaran Empat Segel Agung tidak hanya dikatakan sebagai seorang Buddhis saja, melainkan juga seorang filsuf Buddhis.
Lebih lanjut, Rinpoche membabarkan perbedaan antara seorang Buddhis dan seorang filsuf Buddhis. Seorang Buddhis merupakan seseorang yang mengambil praktik berlindung (tisarana) kepada Buddha, Dharma, dan Sangha (Triratna). Sedangkan, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, seorang filsuf Buddhis merupakan seseorang yang sudah memahami dan menerima topik Empat Segel Agung. Seorang filsuf Buddhis sudah pasti merupakan seorang Buddhis, namun seorang buddhis belum tentu merupakan seorang filsuf buddhis. Seseorang yang mempraktikkan Tisarana belum tentu berpegang pada Empat Segel Agung, sedangkan seseorang yang sudah berpegang pada Empat Segel Agung dengan kuat seyogyanya sudah melakukan praktik berlindung. Dari sini, dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang filsuf Buddhis adalah seseorang yang berada pada tahapan lebih lanjut dibanding seorang yang hanya Buddhis semata. Dengan demikian, topik Empat Segel Agung penting untuk dipelajari agar kita dapat mengembangkan diri ke tahapan yang lebih lanjut, yakni menjadi filsuf Buddhis (tentunya setelah sebelumnya menjadi seorang Buddhis terlebih dahulu dengan mengambil perlindungan kepada Triratna).
Tapi, sebenarnya apa yang dimaksud dengan filsuf buddhis? Mari kita dalami maknanya. Sebelumnya, mari kita bahas dulu arti kata “filsuf”. Menurut KBBI, filsuf adalah 1) ahli filsafat, ahli pikir; 2) orang berfilsafat. Berdasarkan pengertian ini, dapat kita artikan bahwa filsuf buddhis adalah seorang ahli filsafat Buddhis, ahli pikir Buddhis, dan orang yang berfilsafat buddhis. Seorang filsuf Buddhis memiliki pemikiran, cara pandang, dan pemahaman yang berpegang pada prinsip-prinsip dasar buddhis, yaitu Empat Segel Agung.
Mengapa kita perlu menjadi filsuf Buddhis? Untuk menjadi bahagia, tidak cukup bagi kita untuk melakukan praktik-praktik Dharma saja. Kita juga perlu memiliki pola pikir dan cara pandang Buddhis. Bayangkan saja jika kita hanya berdoa kepada Buddha tanpa memahami Dharma yang Beliau ajarkan, tentu akan sia-sia bukan? Padahal Buddha sendiri mengajarkan Dharma agar kita dapat mengubah cara pandang kita terhadap kehidupan sehingga semakin dekat dengan kebahagiaan sejati. Untuk itu, penting bagi kita memiliki pola pikir dan cara pandang Buddhis agar kita memiliki kacamata yang tepat dalam menjalani hidup dan dapat mengembangkan batin hingga akhirnya bebas dari penderitaan.
Selain itu, seperti halnya dengan mendalami filsafat lainnya, seorang filsuf Buddhis juga mampu kritis dalam menghadapi setiap permasalahan yang dihadapinya dalam kehidupan. Misalnya, ketika kita merasa sedih. Kita bisa menganalisisnya melalui Empat Segel Agung. Misalnya, Segel Agung pertama mengingatkan kepada kita bahwa kesedihan kita bukanlah sesuatu yang kekal sehingga kita memiliki peluang untuk terbebas dari kesedihan. Segel Agung kedua mengingatkan kita bahwa perasaan sedih adalah perasaan yang wajar dan tidak perlu ditolak karena semua fenomena tercemar memiliki sifat dasar menderita sehingga kita bisa menerima penderitaan kita dengan lapang dada.
Pengalaman Mendengarkan Pembabaran Empat Segel Agung
Pada sesi pembabaran Dharma, Rinpoche membedah setiap prinsip Empat Segel Agung dengan amat terperinci. Bahkan lebih dari itu, Rinpoche juga membabarkan topik-topik dasar sebagai penunjang bagi para pendengar ajaran untuk memahami topik Empat Segel Agung itu sendiri. Misalnya saat menjelaskan mengenai segel pertama, yakni “semua fenomena komposit tidak kekal”, Rinpoche membedah definisi konsep “fenomena komposit” serta “ketidakkekalan” itu sendiri dengan sangat rinci. Rinpoche juga membahas topik kematian sebagai topik pendukung untuk memahami konsep ketidakkekalan yang telah disebutkan sebelumnya. Selebihnya, penjelasan Rinpoche tidak perlu saya jabarkan lebih lanjut di sini karena bisa dibaca buku transkrip “4 Segel Agung Dharma” yang telah diterbitkan (dan akan diterbitkan ulang) oleh Yayasan Pelestarian dan Pengembangan Lamrim Nusantara.
Saya sendiri sangat terpukau dengan ketulusan Y.M. Khenzur Rinpoche ketika mengajar. Bagaimana tidak? Agar para pendengar ajaran bisa memahami topik Empat Segel Agung secara tepat dan lebih mendalam, Beliau rela mengajar dengan sangat rinci dan bahkan membahas topik-topik mendasar sebelum sampai pada pembabaran topik utama, yakni topik Empat Segel Agung itu sendiri. Berkat kebaikan hati Rinpoche itulah, saya bisa memiliki pemahaman yang sedikit lebih mendalam terhadap topik Empat Segel Agung. Saya sendiri melihat bahwa Empat Segel Agung merupakan ringkasan dari Lamrim (Tahapan Jalan Menuju Pencerahan) dan Empat Kebenaran Arya. Segel pertama, yakni “semua fenomena komposit tidak kekal”, mendorong kita untuk menyadari bahwa kehidupan kita sekarang ini adalah tidak kekal sehingga perlu membangkitkan ketertarikan pada kehidupan mendatang (motivasi awal Lamrim). Kemudian, segel kedua, yakni “semua fenomena tercemar memiliki sifat dasar menderita”, membuat kita melihat bahwa hakikat dasar setiap bentuk kehidupan adalah penderitaan sehingga mendorong kita untuk meraih pembebasan dari samsara (motivasi menengah dan agung Lamrim). Kemudian segel ketiga, “semua fenomena tidak memiliki aku, sunya dalam eksistensi yang inheren” mendorong kita untuk melihat sang jalan menuju pembebasan (Kebenaran Arya yang ketiga), yakni melalui perenungan akan kesunyataan yang memotong klesha ketidaktahuan, akar utama dari segala penderitaan samsara. Terakhir, segel keempat, “nirwana adalah kedamaian tertinggi”, mendorong kita untuk melihat tujuan yang seharusnya kita raih (Kebenaran Arya yang Keempat).
Selain itu, saya merasa lebih memahami topik Empat Segel Agung melalui mendengar dibanding dengan hanya membaca transkrip. Ketika mendengar secara langsung, kita tidak hanya memahami topik ajaran, namun juga memperoleh rasa akan pemahaman dan pengalaman dari Sang Guru itu sendiri. Hal ini sesuai dengan perkataan Y.M. Biksu Bhadra Ruci yang kurang lebih mengatakan bahwa ketika membabarkan ajaran, Sang Guru tidak hanya menyalurkan pemahaman, namun juga rasa dan pengalaman Sang Guru akan topik tersebut. Namun, jika Anda kemarin melewatkan kesempatan untuk mengikuti retret “Kebajikan Dalam Untaian Doa Bagi yang Beruntung” ataupun ingin mempelajari kembali topik Empat Segel Agung, membaca transkrip juga merupakan tindakan yang bajik.
Jadi, apakah Anda siap untuk menjadi filsuf buddhis dengan memahami lebih mendalam topik Empat Segel Agung?