oleh Nirgundi Jayawardhani
Berita kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ-182 menuai banyak tanggapan. Mulai dari ungkapan duka cita, dukungan terhadap keluarga korban, sampai-sampai dark jokes nyeleneh yang membuat hati miris. Bagaimana dengan umat Buddha? Tanggapan seperti apa yang bisa diberikan seorang Buddhis dalam situasi seperti ini?
Tanggapan terhadap suatu kejadian tentunya bergantung pada masing-masing orang. Namun, satu hal yang pasti, akan sangat baik bila seorang Buddhis bisa mengaitkan setiap fenomena yang ia alami atau temui dengan Dharma. Y.M. Biksu Bhadra Ruci dalam buku “Bertuhan, Beragama, dan Hal-Hal yang Belum Selesai”, berujar sebagai berikut.
“Umat Buddhis di Indonesia masih menganggap bahwa diri mereka dan Dharma adalah dua alam yang berbeda. Mereka bisa saja keluar rumah dan bercuap-cuap tentang keagungan sosok Buddha dan Dharma yang beliau ajarkan, lalu kembali masuk ke rumah dan bertingkah seolah-olah Dharma itu tak ada. Hampir tak ada individu yang memperlakukan Dharma sebagai instruksi pribadi dalam rangka melatih kapasitas batin. “
Y.M. Biksu Bhadra Ruci
Sama halnya dengan ketika kita melihat berita mengenai kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ-182, alangkah baiknya jika kita mengaitkan berita tersebut dengan perenungan Dharma. Kita keliru jika menganggap bahwa berita tersebut hanyalah fenomena duniawi dalam keseharian yang tidak ada kaitannya dengan Dharma sama sekali. Praktik Dharma bukan cuma waktu kita duduk meditasi atau melakukan kebaktian. Sebaliknya, justru lewat fenomena-fenomena dalam keseharianlah kita dapat melatih batin kita dengan Dharma. Lantas, topik Dharma apa yang bisa direnungkan terkait berita kecelakaan pesawat tersebut? Tentunya banyak sekali perenungan yang dapat dilakukan, namun yang paling terkait adalah topik mengenai ketmatian dan ketidakkekalan.
COVID-19 sudah mengingatkan kita akan kematian berulang kali tanpa ampun. Setelah sekian lama dan sering terpapar berita COVID-19, bukannya takut, kita malah bosan dan makin berani menganggap sebelah mata momen kematian. Tambahan lagi, hingar-bingar momen tahun baru juga membuat kita semakin lupa bahwa kita, para manusia ini, tidaklah abadi. Kita pastilah mati, tapi entah kapan waktu pastinya. Dua poin ini merupakan double hit yang seharusnya semakin mendorong kita untuk mewaspadai kepastian kematian.
Momen kecelakaan Sriwijaya Air SJ-182 ini tidak hanya perlu menjadi perhatian bagi para keluarga korban semata, melainkan juga menjadi pengingat bagi seluruh umat manusia di bumi. Bagaimana jika pesawat yang kita tumpangi di masa mendatang juga mengalami kecelakaan? Bagaimana jika ada keluarga kita yang mengalami kecelakaan pesawat di masa mendatang? Bagaimana jika ternyata waktu kematian sudah dekat, merenggut habis kehidupan kita atau kehidupan orang yang kita cintai dari dunia? Bagaimana keadaan kita ataupun orang yang kita cintai setelah kematian? Apakah kita sudah siap menghadapi kematian dan kehilangan? Apakah orang-orang yang kita cintai juga sudah siap menghadapi kematian? Semua pikiran ini yang seharusnya mengisi kepala kita ketika melihat berita duka kecelakaan Sriwijaya Air SJ-182.
Barangkali, para pembaca merasa pertanyaan-pertanyaan barusan terlalu skeptis, suram, menakut-nakuti, dan tidak etis. Namun, bukankah semua pertanyaan-pertanyaan di atas memang merupakan kemungkinan yang tak dapat dihindari? Kita, orang-orang yang kita cintai, orang-orang yang kita benci, dan bahkan semua makhluk tidak dapat mengelak atau mengulur waktu kematian. Kematian pasti akan datang, tapi tidak tahu kapan. Tidak tahu juga apa yang akan menjadi sebabnya. Mengapa kita masih sibuk membohongi dan meyakinkan diri bahwa kita akan terus hidup? Sang Buddha saja tak dapat menghindari kematian, bagaimana dengan kita? Masihkah kita tidak berani mengakuinya? Masihkah tabu untuk membahasnya?
Baca juga: Jika hidupku tinggal sehari, ini yang harus kuperbuat.
Kematian sungguh suatu topik yang wajar (bahkan harus) direnungkan dan dibahas. Alih-alih mengelak darinya dan menganggapnya sebagai sesuatu yang jauh di awang-awang, kita semestinya belajar menapak dan menerima ketidakkekalan, menerima kemungkinan kita mengalami kematian. Dengan mulai menerima kematian, kita justru dapat melihat kematian bukan sebagai hal yang tabu atau yang perlu ditakuti lagi, melainkan sebagai hal yang dapat mendorong kita untuk semakin giat untuk melatih diri dalam Dharma.