oleh Shierlen Octavia
Sejak zaman Buddha mengajar hingga kini, kita bisa melihat terbentuknya berbagai aliran dalam praktiknya, mulai dari aliran-aliran Buddhis yang sekarang kita dengar sebagai Theravada, Mahayana, dan Vajrayana, hingga sekte-sekte lain yang kemudian tersebar di berbagai negara. Terlepas dari hal tersebut, seluruh aliran dalam agama Buddha mengacu pada satu hal yang sama, yakni Tripitaka. Tripitaka merupakan koleksi naskah dan kitab Buddhis yang terbagi menjadi tiga bagian utama: Winaya Pitaka berisi aturan untuk Sangha monastik, Sutra Pitaka berisi kumpulan ceramah Buddha dan murid-muridnya, serta Abhidharma Pitaka yang berisi interpretasi dan analisis dari konsep-konsep utama Buddhis. Meskipun demikian, pernahkah teman-teman bertanya dari mana asal-usul Tripitaka? Dari begitu banyaknya kitab, siapakah yang sebenarnya mencatat dan merekam semua ajaran yang pernah Buddha babarkan pada masa itu? Lalu, bagaimana asal mula terbentuknya aliran-aliran yang kita ketahui saat ini?
Berawal dari sabda Sang Buddha
Sebelum membahas hal tersebut, kita butuh mengilas balik penyebaran agama Buddha sejak zaman Buddha Shakyamuni masih mengajar secara langsung. Kalau saat ini kita bisa memperoleh Dharma dari berbagai macam media, mulai dari ceramah langsung oleh guru dan anggota Sangha, buku-buku Dharma, dan media sosial, tentunya berbeda halnya dengan masa awal perkembangan Buddhadharma. Kala itu, Sang Buddha membabarkan Dharma dengan cara berkeliling dan mengajar tak hanya manusia, tetapi juga dewa, naga, dan berbagai makhluk lain dengan cara yang mahir. Pertama, Beliau akan mengajar sesuai dengan kapasitas makhluk yang diajar beserta pola pikir sang murid. Kedua, instruksi yang diberikan pun beragam sesuai dengan penghalang yang perlu diatasi si murid. Kendati demikian, ajaran Buddha sebenarnya tidak pernah dituliskan pada masa itu. Hal ini karena murid-murid Buddha pada zaman tersebut mampu menghafal ajaran Buddha dan bahkan mencapai tingkat kesucian tertentu berkat kekuatan ucapan dan kualitas-kualitas agung lain yang dimiliki Sang Buddha. Oleh karena itu, ajaran-ajaran ini pada mulanya tidak tercatat secara resmi dalam selembar kertas apalagi dalam bentuk buku.
Tidak adanya buku atau catatan ini tentu bukan masalah mengingat kualitas murid yang belum merosot seperti saat ini. Setelah Sang Buddha parinirwana, para murid utama Beliau memutuskan untuk melestarikan khotbah-khotbah Buddha (Sutra) dan aturan Sangha monastik (Winaya). Y. A. Ananda, siswa terdekat Sang Buddha, memperoleh kehormatan untuk mengulang kembali Sutra sementara Y. A. Upali mengulang Winaya. Pertemuan yang dilaksanakan di Rajagraha inilah yang kemudian disebut sebagai Konsili Sangha I. Demikianlah, Dharma kemudian diwariskan secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Berkembang demi kepentingan banyak makhluk
Kurang lebih 100 tahun setelahnya, konsili Sangha kembali diadakan. Seperti Sang Buddha yang menggunakan metode yang berbeda untuk mengajar para makhluk yang amat beragam, Sangha yang mewarisi ajaran tentunya juga perlu melakukan hal yang sama. Konsili ini pun membahas cara terbaik untuk melestarikan, menyebarkan, dan mempraktikkan Dharma. Hasilnya adalah terbentuknya dua sekolah Buddhis: Mahasamghika, kelompok yang kemudian menjadi akar mazhab Mahayana dengan 67 aturan Winaya; dan Sthavira, yang menjadi akar mazhab Theravada, dengan 75 aturan. Konsili Sangha II inilah yang kelak menjadi cikal bakal terbentuknya 18 aliran dalam tradisi Buddhis yang saat ini kita ketahui tersebar di seluruh dunia.
Pada abad ketiga setelah Sang Buddha parinirwana (250 SM), Konsili Sangha III kembali diadakan di Pattaliputra (saat ini bernama Patna). Tempat tersebut merupakan ibukota dari pemerintahan di bawah tampuk kepemimpinan Raja Ashoka, sosok yang amat berpengaruh dalam membantu penyebaran Dharma ke seluruh wilayah kekuasaannya sekaligus sponsor konsili ketiga ini. Dalam sejarahnya, terdapat beberapa versi mengenai tujuan diadakannya konsili ini. Menurut kitab-kitab komentar Theravada, pada masa itu, banyak sekali penyelundup ajaran yang memakai jubah biksu dengan maksud menyebarkan ajaran mereka untuk menyesatkan umat. Konsili pun diselenggarakan guna mengembalikan kemurnian Sangha dan mengevaluasi kembali ajaran. Pada konsili ini pula, ajaran Abhidharma diulang oleh Y.A. Maha Kassyapa sehingga terbentuklah pengertian lengkap dari Tripitaka (Winaya, Sutra, dan Abhidharma). Bertepatan dengan momentum tersebut pulalah dilakukan perencanaan agenda penyebaran agama Buddha agar lebih meluas hingga ke berbagai daerah.
Demikianlah, bersamaan dengan mulainya penyebaran agama Buddha, terjadi pula pergerakan internal yang memunculkan berbagai sekte dalam Buddhisme. Sarvastivada, Sammitiya, dan lainnya yang kemudian dikenal sebagai “18 sekolah Buddhis”. Sekolah-sekolah ini lalu menyebar ke berbagai negara seperti Sri Lanka, dan daerah-daerah lainnya di India yaitu Kashmir dan Gandhara. Misi ini bahkan berhasil menjangkau kota Alexandria dan memunculkan aliran Greco-Buddhism.
Pada abad pertama sebelum Masehi, konsili yang keempat pun diselenggarakan. Mazhab Sthaviravada menyelenggarakan konsili di Sri Lanka sementara mazhab Sarvastivada menyelenggarakan konsili di Kashmir. Di kala itu, penyebaran Tripitaka dan komentar terhadapnya masih dilakukan secara lisan. Akan tetapi, karena kelestarian ajaran terancam oleh kemiskinan dan peperangan pada zaman tersebut, para biksu menyadari bahwa ajaran Buddha perlu dituliskan. Mereka pun menuliskan ajaran dalam bahasa Pali di atas daun pada konsili yang diadakan di Sri Lanka. Sementara itu, konsili yang berlangsung di Kashmir bertujuan untuk menerjemahkan teks-teks Abhidharma dari bahasa Prakrit ke dalam Sanskerta. Dalam konsili tersebut pulalah khotbah-khotbah yang ada dikompilasi hingga sempurna selama 12 tahun. Melalui jalur perdagangan, sekolah-sekolah dalam agama Buddha mulai tersebar ke lebih banyak negara, seperti Timur Tengah, Tiongkok, dan Indonesia. Itulah yang menjadi awal mula dari menyebarnya 18 sekolah ke seluruh dunia dan penerjemahan Tripitaka ke dalam berbagai bahasa.
Beralih bahasa di berbagai penjuru dunia
Banyaknya terjemahan Tripitaka sebenarnya bahkan telah dimulai sebelum kita mengidentikkan bahasa tertentu dengan aliran tertentu (misal: Mahayana berarti pakai bahasa Mandarin, Theravada berarti pakai bahasa Pali). Dari bahasa Sansekerta dan Pali, Tripitaka diterjemahkan ke berbagai bahasa lain sesuai dengan tempat penyebarannya. Salah satu kitab Winaya dalam sekolah Buddhis awal, Mahasamgika, misalnya, diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin oleh Buddhabhadra dan Faxian, dua orang biksu Buddhis sekaligus penerjemah yang ternama pada zamannya. Kitab Winaya dan Abhidharma di sekolah Buddhis awal lainnya pun melalui proses penerjemahan ke dalam bahasa Mandarin, seperti pada sekolah Sarvastivada, Bahusrutiya, Mahisasaka, Kasyapiya, Mulasarvastivada dan yang dilakukan oleh Buddhayasas dan Zhu Fonian pada era pasca dinasti Qin untuk sekolah Dharmaguptaka, cikal bakal Winaya yang dipegang oleh banyak praktisi di Asia Timur. Tidak hanya bahasa Mandarin, Tripitaka juga dialihbahasakan ke dalam bahasa Korea pada abad ke-13, dengan nama Palman Daejanggyeong (80 Ribu Tripitaka). Selain itu, Tripitaka dari sekolah Mulasarvastivada yang semula berbahasa Sanskerta juga diterjemahkan ke dalam bahasa Tibet dan Nepal. Penyebaran Tripitaka juga tak terhenti sampai di daerah Asia Timur, namun juga menyebar hingga Asia Tenggara, dengan terjemahan Tripitaka yang banyak dikenal di wilayah ini yakni Tripitaka dari sekolah Theravada yang diterjemahkan ke dalam bahasa Pali. Kitab Tripitaka dalam bahasa Pali ini juga menyebar hingga Sri Lanka. Begitulah asal-usul Tripitaka kini dikenal oleh berbagai negara melalui bermacam-macam bahasa, bahkan hingga ke negara kita, Indonesia.
Memahami hal ini, perbedaan-perbedaan bahasa dalam Tripitaka tersebut seharusnya kita pandang ibarat cangkir-cangkir teh. Dalam satu rumah, bisa saja terdapat berbagai jenis cangkir dengan berupa-rupa gambar dan ukiran. Ada yang dicat dengan warna kuning, cokelat, merah, biru, dan lainnya. Akan tetapi, pada akhirnya, mereka menyajikan teh yang sama harumnya, rasanya, dan warnanya. Sama halnya dengan agama Buddha. Dari sini, kita bisa melihat bahwasanya ada banyak sekali terjemahan yang dilakukan agar setiap orang dari berbagai negara bisa memahami Tripitaka, yang pada dasarnya tidaklah berbeda antar bahasa. Melalui asal-usul Tripitaka ini pula, kita memahami bahwa Tripitaka—entah dalam bahasa Pali, Mandarin, Nepal, Tibet, maupun Sansekerta—semua sesungguhnya sama dalam hal akar maupun tujuannya—yakni dari Dharma Sang Buddha dan bertujuan untuk mencapai pembebasan sejati.
Referensi:
1. Berkwitz, S. C. (2012). South Asian Buddhism: A survey. Routledge. p. 43-45.
2. Frauwallner, E. (1956). The earliest Winaya and the beginnings of Buddhist literature. Rome: Istituto Italiano per il Medio ed Estremo Oriente. pp. 42–45. ISBN 8857526798.
3. Harvey, P. (2013). An introduction to Buddhism: Teachings, history, and practices (2nd ed.). Cambridge, UK: Cambridge University Press. pp. 88–90.
4. Keown, D. (2004). A dictionary of Buddhism. Oxford University Press. p. 2. ISBN 978-0-19-157917-2.Skilton, A. A. (2004). Concise history of Buddhism. p. 48
5. Snellgrove, D. (2003). Indo-Tibetan Buddhism. Shambhala. Boston. p. 46
6. UNESCO Memory of The World. (2007). Printing woodblocks of the Tripitaka Koreana and miscellaneous Buddhist scriptures.
7. Willemen, C., Dessein, B., & Cox, C. (1998). Sarvāstivāda Buddhist scholasticism, p. 45. BRILL, Handbuch Der Orientalistik.