Ajaran Buddha terbukti dapat bertahan selama lebih dari 2500 tahun. Selama itu pula cara praktik dan pengajaran Dharma berkembang sehingga menyentuh banyak orang dengan budaya dan latar belakang yang berbeda di seluruh penjuru dunia. Di antara beragam cara ini, ada tiga tradisi paling banyak dikenal masyarakat Buddhis Indonesia, yaitu Theravada, Mahayana, dan Vajrayana atau Tantrayana. Sumbernya satu, ajaran Buddha. Kok bisa tradisinya bisa jadi ada banyak? Ada yang pernah bertanya-tanya seperti itu? Atau mungkin menebak-nebak mana yang ‘lebih benar’?
Nah, jikalau kamu berpikir demikian, coba deh cari tahu tentang sejarah perkembangan Buddhadharma. Dengan tahu sejarah, kamu bisa punya gambaran tentang apa yang membedakan masing-masing tradisi, kenapa bisa berbeda, hingga akhirnya kita menemukan bahwa ketiganya merupakan sama-sama ajaran Buddha yang menuntun kita untuk mengakhiri penderitaan!
Bingung mau mulai dari mana? Yuk coba dengan baca artikel ini!
Mengapa bisa ada perbedaan Tradisi?
Kalau kamu cek timeline penyebaran Buddhadharma di dunia setelah Sang Buddha Parinirwana, maka kamu akan menemukan yang namanya Konsili Sangha. Konsili Sangha adalah perkumpulan para biksu senior yang diadakan secara berkala untuk membahas, mengulang, dan memverifikasi kata-kata Sang Buddha. Kegiatan ini diperlukan karena Buddha mengajar di banyak tempat kepada orang yang berbeda. Dengan adanya Konsili Sangha, murid Buddha yang tidak mendengarkan ajaran tertentu berkesempatan mendengar pengulangan dari murid lain yang telah menerima ajaran tersebut.
Konsili Sangha pertama diikuti oleh 500 Arahat yang disebut Ehi Bhikkhu artinya Biksu yang langsung ditahbiskan oleh Sang Buddha sendiri. Di sini, para biksu mengulang kata-kata Buddha. Pengulangan ini dilakukan kembali di konsili berikutnya secara lisan hingga dituliskan di Konsili Sangha keempat.
Cikal bakal perbedaan tradisi dimulai dari Konsili Sangha kedua yang diadakan di Vesali. Di sini, mulai ada perbedaan pendapat mengenai Vinaya apa yang seharusnya dipertahankan dan tidak. Dari perbedaan pandangan tersebut, lahirlah dua tradisi Vinaya yang masing-masing diikuti oleh biksu yang cocok dengan tradisi tersebut. Pada Konsili Sangha keempat, diselenggarakan dua konsili di dua tempat berbeda yang diselenggarakan masing-masing tradisi. Konsili Sangha tradisi Sthaviravāda diselenggarakan di Sri Lanka pada 1 SM (cikal bakal Theravada) sementara Konsili Sangha tradisi Mahasamgika diselenggarakan India pada tahun 1. Dua tradisi ini kemudian berkembang menjadi 18 “aliran” awal Buddhisme (Eighteen School of Early Buddhism) dan menyebar ke seluruh dunia. Saat ini dari 18 sekolah tersebut, hanya tiga yang tersisa, yaitu: Sthaviravāda (kini diwarisi oleh Sangha tradisi Theravada), Dharmaguptaka (umumnya dijalankan oleh Sangha tradisi Mahayana), dan Mūlasarvāstivāda (banyak dijalankan oleh Sangha tradisi Vajrayana).
Tripitaka baru benar-benar dituliskan pada Konsili Sangha keempat. Berdasarkan penjelasan dari Y.M.S. Dalai Lama XIV, Tripitaka tradisi Theravada dituliskan dalam bahasa Pali dan tradisi Nalanda (yang bersumber dari tradisi Mūlasarvāstivāda) dituliskan dalam bahasa Sansekerta. Saat ini, Beliau lebih nyaman menggunakan istilah “tradisi Pali dan tradisi Sansekerta” alih-alih membedakan kedua aliran. Walaupun bahasanya berbeda, keduanya tetap bersumber dari Sang Buddha.
Sebenarnya bermacam tradisi Buddhis ini sudah diramalkan oleh Buddha Kasyapa yang dituliskan pada Sumagadhavadana, yaitu munculnya satu helai pakaian di tangan 18 orang pria, artinya setelah Buddha Parinirwana akan ada 18 tradisi berbeda yang menyebarkan Buddhadharma. Buddha Kasyapa juga menyebutkan bahwa walaupun terbagi ke 18 tradisi, masing-masing tetap dapat membawa pengikutnya mencapai pencerahan.
“Meskipun kelima sekte ini berbeda satu sama lainnya, namun mereka tidak mengganggu semua Dharmadhatu dari Buddha dan Nirvana Agung” -Mahavaipulyamahasamnipata Sutra
Sepintas Tentang Theravada
“Theravada” sesungguhnya merujuk pada tradisi Vinaya yang merupakan bagian dari tradisi Sthaviravāda yang terbentuk pada Konsili Sangha kedua. Karena Tradisi Theravada berkembang di Sri Lanka dan karenanya, penulisan Tripitaka tradisi ini menggunakan bahasa Pali yang saat itu banyak digunakan di Sri Lanka.
Di Indonesia, tradisi Theravada dikenali masyarakat luas sebagai satu dari tiga mazhab Buddhisme (Theravada, Mahayana, dan Vajrayana). Mazhab ini juga dikenal dengan istilah “Pratimokshayana”. Tujuan utama dari praktik mazhab ini adalah berakhirnya penderitaan samsara, atau yang lebih sering kita dengar dengan istilah “Nirwana”. Orang yang telah mencapai Nirwana kita kenal dengan sebutan “Arahat”, tingkatan tertinggi dari 4 tingkat kesucian yang dapat dicapai seorang praktisi. Atas dasar hal ini, tradisi Theravada berfokus pada topik-topik yang sangat erat kaitannya dengan lenyapnya Dukkha seperti Empat Kebenaran Arya, 12 Mata Rantai yang Saling Bergantungan (Pratityasamutpada), Karma, dan Tiga Corak Umum (Tilakkhana) yaitu Anicca, Dukkha, dan Anatta.
Apa yang dipraktikkan oleh praktisi Theravada? Dalam kehidupan sehari-hari, pegangan utama tradisi Theravada adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan yang diklasifikasikan dalam tiga bagian yaitu: Sīla, Samädhi, dan Pañña. Berikut adalah pembagiannya:
- Kebijaksanaan (Pali: Pañña; Sanskerta: Prajñā)
- Pengertian Benar (sammä-ditthi)
- Pikiran Benar (sammä-sankappa)
- Moralitas (Pali: Sīla)
- Ucapan Benar (sammä-väcä)
- Perbuatan Benar (sammä-kammanta)
- Mata Pencaharian Benar (sammä-ajiva)
- Konsentrasi (Pali: Samädhi)
- Daya-Upaya Benar (sammä-väyäma)
- Perhatian Benar (sammä-sati)
- Konsentrasi Benar (sammä-samädhi)
Dengan tujuan utama mengakhiri penderitaan, tradisi Theravada menekankan pengendalian kekotoran batin atau klesha melalui perhatian agar ia tidak mengambil-alih tindakan mental dan fisik kita. Kekotoran batin ini kemudian tumbang melalui penyelidikan, analisis, pengalaman, dan pemahaman internal tentang sifat sejati yang dimilikinya dengan menggunakan jhana (Chapman, David (2011), Theravāda Reinvents Meditation).
Tradisi Theravada berkembang di Sri Lanka dan Asia Tenggara serta menggunakan bahasa Pali yang dulu banyak digunakan di Sri Lanka. Buddhisme Indonesia modern banyak mendapat pengaruh dari tradisi ini, dapat dilihat dari kebaktian-kebaktian umum di wihara yang biasa menggunakan bahasa Pali.
Sepintas Tentang Mahayana
Secara singkat, tujuan tradisi Mahayana adalah mencapai tingkatan yang sama seperti Buddha Shakyamuni, yaitu Buddha yang lengkap sempurna, atau dalam tradisi Theravada disebut Samma-sambuddha. Untuk mencapai tingkatan ini, sama seperti dalam kisah kehidupan lampau Buddha, seorang praktisi harus menempuh “Jalan Bodhisatva”. Apa itu jalan Bodhisatva? Dalam buku “Riwayat Agung Para Buddha”, dijelaskan bahwa Jalan Bodhisatva merupakan jalan yang ditempuh Petapa Sumedha, yang merupakan kelahiran lampau Buddha Shakyamuni. Pertemuan Petapa Sumedha dengan Buddha Dipankara membuatnya terinspirasi hingga membangkitkan Bodhicitta (batin pencerahan, tekad untuk meraih Kebuddhaan untuk menolong semua makhluk). Sejak saat itu Beliau terus melatih diri selama empat Asankkheyya Kalpa dan 100.000 Maha Kalpa. Kisah-kisah kelahiran lampau Buddha sebagai Bodhisatva yang biasa kita kenal sebagai kisah Jataka bisa kita lihat terukir di Candi Borobudur.
Apa yang dilatih seorang Bodhisatva selama empat Asankkheyya Kalpa dan 100.000 Maha Kalpa? Ini adalah praktik utama jalan Mahayana, yaitu menyempurnakan paramita. Secara singkat paramita adalah kualitas-kualitas baik yang dimiliki seseorang, misalnya kualitas kemurahan hati (dana), disiplin moral (sila), dan sebagainya. Tradisi Theravada juga melatih kualitas batin ini, namun tidak perlu sampai sempurna untuk mencapai tingkat kesucian Arahat. Ketika semua paramita telah dilatih hingga sempurna, maka seseorang akan menjadi Samma-sambuddha atau Buddha yang lengkap sempurna. Dengan demikian, tercapailah tujuan terakhir seorang praktisi Mahayana.
Ada yang mengelompokkan paramita yang harus dilatih seorang praktisi Mahayana menjadi 10, ada yang 6. Perbedaan ini hanyalah perbedaan jenis klasifikasi. Beberapa parami dari 10 paramita dapat dianggap sebagai bagian dari parami yang lain sehingga pengelompokan ini bisa terdiri atas 6 paramita saja. Keenam paramita tersebut adalah:
- dāna-pāramitā: kesempurnaan kemurahan hati
- śīla-pāramitā: kesempurnaan perilaku atau disiplin moral
- kṣānti-pāramitā: kesempurnaan kesabaran
- vīrya-pāramitā: kesempurnaan upaya bersemangat
- dhyāna-pāramitā: kesempurnaan konsentrasi
- prajñā-pāramitā: kesempurnaan kebijaksanaan.
Tradisi Mahayana awalnya berkembang di India, lalu menyebar ke Tiongkok dan negara-negara Asia Timur. Oleh karena itu, ritual-ritual tradisi Mahayana seringkali menggunakan bahasa Mandarin. Praktik puja dalam tradisi Mahayana Tiongkok ini di Indonesia modern dikenal dengan istilah “Liam Keng”. Kerajaan Buddhis di Nusantara masa lampau juga mendapat pengaruh tradisi Mahayana, terbukti dengan banyaknya peninggalan berupa arca dan candi pemujaan para Bodhisattva. Ada juga prasasti Talang Tuo peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang berisi doa untuk semua makhluk yang identik dengan motivasi Mahayana. Selain itu, tanah Sumatera juga merupakan tanah kelahiran tempat mengajar bagi Guru Suwarnadwipa Dharmakirti, guru Buddhis yang termasyhur karena mewarisi ajaran khusus tentang Bodhicitta, dasar dari tradisi Mahayana.
Sepintas Tentang Vajrayana
Banyak ahli yang menyebutkan bahwa Vajrayana sebenarnya merupakan “percabangan” dari Mahayana, karena sama-sama bertujuan untuk mencapai Kebuddhaan yang lengkap dan sempurna. Akan tetapi, Vajrayana (yang juga dikenal dengan nama “Tantrayana”) lebih mengacu pada metode khusus yang digunakan oleh praktisi Mahayana untuk mencapai pencerahan secepat-cepatnya, bahkan dalam satu kehidupan. Apakah bisa? Contoh salah satu praktisi tradisi Vajrayana yang mencapai pencerahan pada kehidupan ini adalah yogi Jetsun Milarepa.
Jika merujuk pada kisah Pertapa Sumedha, perjalanan Beliau hingga lahir sebagai Siddhartha Gautama dan menjadi Buddha memakan waktu empat Asankkheyya Kalpa dan 100.000 Maha Kalpa. Nah, Jalan Vajrayana bisa menghasilkan pencapaian Kebuddhaan dalam waktu yang lebih singkat, bahkan satu kehidupan saja. Kenapa bisa? Pertama, untuk memasuki jalan ini, batin kita haruslah memiliki motivasi untuk menjadi Buddha demi semua makhluk, artinya memiliki motivasi Mahayana. Bagaimana cara memastikan bahwa seseorang telah memiliki batin Mahayana? Dalam “Macmillan Encyclopedia of Buddhism” (2004), dijelaskan bahwa seharusnya seseorang mempraktikkan Sumpah Bodhisatva terlebih dahulu sebagai prasyarat memasuki Jalan Vajrayana. Metode ini rahasia, dan memiliki risiko yang tinggi sehingga jika dijalankan tanpa kewaspadaan, maka konsekuensi karma buruk yang dihimpun juga akan semakin berat.
Karena merupakan “metode cepat”, persyaratan untuk mempraktikkan Vajrayana juga amatlah sulit. Terdapat kriteria khusus untuk guru yang berhak mengajarkan maupun murid yang mempraktikkan. Idealnya, seorang praktisi Mahayana haruslah merealisasikan penolakan samsara, Bodhicitta (tekad untuk meraih Kebuddhaan demi semua makhluk), dan pemahaman akan kesunyataan secara spontan. Jika belum bisa merealisasikan poin-poin tersebut secara spontan, setidaknya calon praktisi haruslah memiliki pemahaman mendalam terhadap topik-topik tersebut dan benar-benar berusaha untuk mempelajari dan merealisasikannya dalam batin mereka. Tanpa memenuhi syarat tersebut, praktik Vajrayana tidak akan mendatangkan manfaat, bahkan bisa menjerumuskan praktisi ke kelahiran di alam rendah.
Kualitas penolakan samsara, Bodhicitta, dan pemahaman kesunyataan yang menjadi syarat memasuki Vajrayana diraih dengan melatih diri sesuai dengan praktik-praktik di tradisi Theravada dan Mahayana. Menolak samsara sejalan dengan tujuan Theravada untuk meraih penghentian dukkha sementara Bodhicitta adalah kualitas dasar yang harus dibangkitkan praktisi Mahayana. Pemahaman kesunyataan sendiri merupakan kebijaksanaan tertinggi yang harus diraih di kedua tradisi tersebut. Jadi, walau terkesan “instan” karena bisa membuat seseorang meraih pencapaian Kebuddhaan dalam satu kehidupan, tradisi Vajrayana juga sejalan dengan kedua tradisi lainnya.
Jejak historis praktik Vajrayana baru ditemukan pada tahun 500 M. Ini bisa jadi karena praktiknya sendiri merupakan praktik rahasia yang diturunkan dengan amat hati-hati dari guru ke murid. Tradisi Vajrayana identik dengan Buddhisme Tibet karena memang berkembang paling pesat di sana, namun ajaran ini juga dipraktikkan di India dan negara-negara lain, bahkan di Nusantara. Terdapat peninggalan sejarah berupa arca dan candi khas Vajrayana serta kitab-kitab kuno bercorak Vajrayana.
Lamrim itu Theravada, Mahayana, atau Vajrayana?
Lamrim secara harfiah berarti “Tahapan Jalan Menuju Pencerahan”, sebuah metode belajar Buddhadharma yang dirintis oleh Guru Atisha Dipamkara, pandit besar India murid dari Guru Suwarnadwipa Dharmakirti dari Sriwijaya.
Dalam Lamrim, keseluruhan ajaran Buddha dirangkum menjadi topik-topik urut yang mengantarkan kita semua melatih batin untuk meraih Kebuddhaan. Topik-topik ini dikelompokkan berdasarkan 3 jenis motivasi, yaitu meraih kebahagiaan di kehidupan mendatang, membebaskan diri dari penderitaan samsara, dan mencapai Kebuddhaan untuk menolong semua makhluk. Latihan untuk motivasi pertama mencakup topik-topik dasar yang harus dilatih seorang Buddhis dari tradisi manapun seperti Karma dan Trisarana. Latihan untuk motivasi kedua adalah latihan-latihan yang ditekankan di tradisi Theravada karena bertujuan untuk mengakhiri dukkha di samsara. Selanjutnya, latihan di motivasi ketiga sejalan dengan tradisi Mahayana dan Vajrayana yang bertujuan untuk meraih Kebuddhaan yang lengkap dan sempurna. Untuk berlatih di motivasi kedua, kita perlu melatih topik-topik motivasi pertama. Begitu pula untuk melatih di tahapan ketiga, kita harus khatam dengan latihan di motivasi-motivasi sebelumnya.
Jadi, dari sudut pandang Lamrim, ketiga tradisi besar Buddhisme ini merupakan ajaran Buddha yang amat berharga dan harus dilatih secara bertahap sesuai dengan kondisi dan kapasitas praktisi. Lebih jauh lagi, dalam struktur Lamrim, disebutkan secara khusus bahwa menganggap salah satu tradisi lebih unggul sementara tradisi lain salah atau sesat merupakan kesalahan besar, yaitu menolak Dharma yang diajarkan Sang Buddha.
Bagaimana kita sebagai umat Buddha seharusnya memandang ketiga tradisi ini?
Seperti yang kita ketahui, Buddha adalah “Guru Dewa dan Manusia” yang memiliki kemampuan untuk mengajarkan makhluk-makhluk berdasarkan kondisi & kapasitasnya masing-masing. Jadi, setiap orang tentunya memiliki kecocokan ataupun kecenderungan yang berbeda-beda dalam menangkap suatu ajaran. Jadi, perbedaan ini seharusnya dipandang bukan sebagai perpecahan. Kita bisa melihat bahwa ajaran Buddha dapat berkembang dan disajikan dengan beragam metode sehingga dapat memberi manfaat bagi jenis orang yang beragam pula.
Kita juga bisa mengikuti teladan Y.M. Biksu Ashin Jinarakkhita Mahasthavira, sosok yang mempelopori Buddhadharma Indonesia pasca kemerdekaan. Beliau senantiasa mengajarkan bahwa Theravada, Mahayana, dan Vajrayana adalah ajaran Buddha yang saling melengkapi meskipun memiliki perbedaan tradisi. Oleh karena itu, amatlah baik jika kita bisa menghormati dan menghargai setiap tradisi.
Referensi:
“Buddhist Insight: Essays” (1984) oleh Alex Wayman
“Kathavatthu: Encyclopedia of Indian Philosophies Volume VII: Abhidharma Buddhism to 150 A.D.” oleh James P. McDermott
“Pembebasan di Tangan Kita” oleh Phabongkha Rinpoche
J. Praviravara. “Tantra di Bumi Nusantara: Jejak Tantra di Masa Lampau”. 2018. Diterbitkan di Buddhazine.com