oleh Praviravara Jayawardhana
Dewasa ini, umat Buddha Indonesia seringkali berpendapat bahwa Buddha sudah parinirvana, bahwa beliau sudah meninggal sehingga Buddha tidak terlibat lagi dalam aktivitas menolong di dunia samsara ini.
Akan tetapi yang perlu disadari adalah, Buddha, sebagai guru para dewa dan manusia dan sekaligus sebagai sumber Dharma yang membawa kebahagiaan kita semua, jelas sekali bahwa beliau adalah makhluk suci yang amatlah baik dan penuh welas asih sehingga pantas menjadi objek keyakinan dan diperlakukan dengan penuh hormat. Tidak dianggapnya Sang Tathagatha sebagai makhluk suci dan pengkerdilan kualitas sosok Buddha bisa menyebabkan runtuhnya Buddhadharma di indonesia, apalagi apabila keyakinan umat Buddha indonesia terhadap guru utama ajaran ini mulai menurun dan Buddha dianggap tidak lagi mampu menolong dalam aspek-aspek kehidupan manusia sehari-hari.
Ada beberapa argumen untuk mendebat ini:
Pertama, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa untuk mencapai Kebuddhaan, diperlukan usaha penghimpunan dan penyempurnaan kebajikan (paramita) selama sekian asankhyeyya kappa dan sekian ratus ribu kappa. Sungguh suatu usaha yang sangat panjang sekali apabila dibandingkan dengan masa 45 tahun Buddha mengajar. Secara logika ini ibarat seseorang mengumpulkan sekian ratus milyar rupiah untuk membangun sebuah bisnis dan kemudian menutup bisnisnya setelah hanya mendapatkan penjualan sebesar sekian juta. Tentu saja, Buddha tidak demikian.
Kedua, sudah menjadi pengetahuan umum pula, bahwa ketika pertapa Sumedha pertama kali mengucapkan tekad Aditthana, beliau berikrar untuk “mencapai Kebuddhaan demi membebaskan semua makhluk hidup dari penderitaan.” Pertanyaannya sekarang, apakah kita sudah terbebaskan dari penderitaan? Apakah masih ada makhluk yang menderita di samsara ini? Jika jawabannya masih ada, maka pertanyaan kedua adalah, apakah menurut Anda, Buddha seorang yang menepati ikrarnya atau tidak? Apakah beliau akan berhenti beraktivitas ketika beliau sudah mencapai Kebuddhaan sedangkan di satu sisi, saat ini masih banyak sekali makhluk yang menderita?
Lebih jauh lagi, dalam pengertian umat Buddha di Indonesia secara umum, hanya karma masing-masinglah yang memiliki kemampuan untuk menolong. Namun, ada sebuah aspek yang dilewatkan mereka, yaitu peran serta Buddha dalam proses pertolongan melalui karma tersebut. Benar bahwa kita dilindungi oleh karma kita sendiri, namun ada dua peran Buddha di sana, yaitu: pertama, sebagai energi potensi bajik yang menginspirasi kita untuk berbuat karma baik, dan kedua, sebagai ladang kebajikan, yaitu objek kepada siapa tindakan karma baik itu ditujukan.
Sekarang saatnya kita bertanya kepada diri kita sendiri, apakah kita pernah merasakan aktivitas Buddha? Apakah kita pernah disentuh oleh Buddha melalui aktivitas-aktivitas beliau yang penuh misteri ini?
Di dalam teks Mahayanottaratantrasastram, terdapat sembilan perumpamaan untuk menjelaskan misteri kualitas aktivitas-aktivitas Buddha yaitu sebagai berikut:
“Seorang Tathāgata laksana Sakra,
Genderang, awan, dan Brahma,
Laksana mentari dan permata mulia,
Gema, langit, dan bumi.”
Sakra adalah pemimpin para dewa di Surga Tiga Puluh Tiga. Istananya terletak di puncak Gunung Meru, yang merupakan gunung tertinggi diantara semua gunung di dunia ini dan terletak di tengah-tengah. Ketika pantulan Sakra muncul, tanpa upaya dan tanpa direncanakan, pada tanah lapis lazuli, dewa-dewa lebih rendah yang melihatnya akan berpikir, “Seandainya aku dapat mencapai tingkat seperti ini.” Kemudian mereka mengumpulkan penyebab- penyebab untuk mencapai posisi seperti Sakra, sang raja para dewa. Dengan cara demikianlah, ketika seseorang melihat tubuh seorang Buddha dihiasi tanda-tanda utama dan tambahan, pertama-tama ia akan membangkitkan keinginan untuk mencapai tubuh seperti itu, kemudian ia akan mengumpulkan penyebab-penyebab yang akan membantunya untuk mencapainya. Perumpamaan pertama ini mewakili aktivitas tubuh seorang Buddha.
Di dalam Surga Tiga Puluh Tiga terdapat genderang yang disebut Vegadhari yang dihasilkan oleh kebajikan bersama para dewa. Walaupun tidak ada yang menabuhnya, genderang ini bergetar menghasilkan suara yang mengumandangkan empat segel Dharma dan mendorong para dewa untuk mencapai pembebasan. Seperti itu pula Para Buddha menjangkau semua makhluk dengan ucapan yang mengarahkan mereka pada dua tujuan, yaitu alam-alam tinggi dan kebahagiaan tertinggi. Walaupun begitu, ucapan mereka muncul tanpa upaya karena tidak dimotivasi oleh bentuk pemikiran konseptual apa pun. Cara mengajarkan Dharma seperti ini kepada makhluk-makhluk yang beruntung dan berharga mewakili aktivitas ucapan seorang Buddha.
Awan melambangkan aktivitas batin seorang Buddha. Seperti hujan yang turun dari awan dan menyebabkan pohon dapat tumbuh, aktivitas batin seorang Buddha menyebabkan pohon kebajikan tumbuh dalam batin mereka yang mampu ditaklukkan secara spiritual olehnya.
Aktivitas tubuh dan ucapan seorang Buddha menyerupai emanasi-emanasi Brahma. Tanpa meninggalkan kediaman surgawinya, Brahma dengan tanpa upaya memproyeksikan emanasi-emanasinya ke alam-alam dewa kamaloka, dengan tujuan untuk menjauhkan mereka dari kemelekatan. Begitu pula seorang Buddha dengan mudah memproyeksikan emanasi-emanasinya ke dunia untuk mengajarkan Dharma kepada mereka yang layak mendengarkannya. Namun, sambil melakukannya, beliau tetap terserap dalam pengalaman tubuh Dharmanya.
Aktivitas batin seorang Buddha seperti matahari, dalam seketika dan tanpa direncanakan mampu membuka bunga teratai, mematangkan panen tanaman, menutup bunga kumuda yang mekar di malam hari, dan seterusnya. Seorang Buddha menyerupai ini dalam kemampuannya untuk menyinari sekaligus makhluk-makhluk laksana teratai yang tak terhitung banyaknya, mematangkan mereka, dan memandu mereka menuju pembebasan, tanpa perlu berupaya berpikir secara konseptual.
Misteri batin seorang Buddha ibarat permata pengabul harapan berharga yang secara spontan menganugerahkan makanan, pakaian, dan sejenisnya kepada mereka yang memohon sesuatu dengan sepatutnya. Seorang Buddha yang paling langka, berdiam selamanya di samsara, dan secara spontan menganugerahkan Dharma kepada makhluk-makhluk sesuai dengan sifat dan kecendrungan mereka.
Misteri ucapan seorang Buddha serupa seperti gema, di mana keduanya tak berkaitan dengan pemikiran konseptual apa pun (terjadi secara otomatis), tidak dihasilkan dari upaya fisik dan tidak dapat dilacak di lokasi manapun juga baik di dalam maupun di luar.
Misteri tubuh seorang Buddha juga seperti ruang angkasa atau langit, di mana sifat dasar dari keduanya pada dasarnya adalah berbeda dari penampakannya. Demikian pula tubuh Buddha tidak bisa dicerap secara normal dan memiliki sifat dasar yang berbeda dari wujud yang terlihat.
Welas asih seorang Buddha seperti bumi. Seperti halnya bumi adalah tanah tempat tumbuh dan berkembangnya segala jenis tanaman, maka welas asih seorang Buddha juga lah yang menjadi sumber yang menghasilkan dan mengembangkan akar-akar kebajikan semua makhluk hidup.
Jadi, apakah Anda memang tidak pernah melihat Buddha melalui aktivitas-aktivitas beliau sebagaimana yang digambarkan oleh kesembilan perumpamaan di atas, yaitu aktivitas yang bagaikan Sakra, genderang, awan, Brahma, matahari, permata mulia, gema, langit dan bumi ini?
Seorang biksu di dalam salah satu ceramahnya pernah menantang para peserta ceramah untuk memohon sesuatu, apapun yang mereka inginkan, kepada Buddha, apapun itu, untuk membuktikan keberadaan Buddha dan dengan demikian bisa meningkatkan kualitas keyakinan kita kepada Buddha di dalam praktik Trisarana kita. Ini adalah sebuah tantangan yang sepertinya bisa diuji oleh semua orang.
Terakhir, saya akan menutup tulisan ini dengan sebuah kutipan dari Y.M. Ajahn Chah, sebagai berikut:
“Jangan cuma mengutip dan bermain dengan kata-kata saja. Kalau tidak, orang-orang akan berkata seperti ini, “Buddha ada dalam batinku,” tetapi perilakunya tidak sesuai, dan mereka tidak pernah benar-benar menjalani atau mencapai apa pun yang sesuai dengan ajaran Buddha…. Jadi pahamilah bahwa Buddha itu masih hidup…. Waspadalah! Buddha melihat! Buddha masih hidup untuk mendukung kita menapaki jalan kebenaran secara benar dan berkesinambungan, tetapi kita tidak melihat itu, kita tidak mengetahuinya.”