oleh: Stanley Khu
Menurut salah satu bapak sosiologi asal Prancis, Emile Durkheim, bunuh diri adalah fenomena yang relatif stabil dalam masyarakat. Artinya, bila kita melihat statistik orang yang melakukan bunuh diri tiap tahunnya dalam masyarakat, kita akan menemukan bahwa angka bunuh diri dari tahun ke tahun tidak terlalu fluktuatif. Bahkan, badan kesehatan dunia, WHO, menyimpulkan bahwa rata-rata 1 juta orang melakukan bunuh diri tiap tahunnya di seluruh dunia. Faktanya, angka bunuh diri lebih stabil ketimbang angka kematian.
Ketika Durkheim meneliti angka bunuh diri di beberapa negara Eropa di penghujung abad ke-19, ia berangkat dengan asumsi bahwa bunuh diri bukanlah fenomena individual, melainkan fenomena sosial. Artinya, ketika seorang individu memutuskan untuk bunuh diri, ada lebih banyak faktor sosial (budaya, agama, gender, pekerjaan, dst) yang berperan daripada faktor seperti kepribadian individu. Dengan kata lain, meskipun bunuh diri adalah tindakan yang bersifat individual dan internal, ia dipengaruhi oleh faktor eksternal atau kehidupan sosial tempat individu hidup di dalamnya. Singkat kata, Durkheim ingin membuktikan bahwa bahkan tindakan paling individual dan internal seperti bunuh diri pun memiliki aspek sosialnya, yang dengan demikian akan menunjukkan kontribusi ilmu sosial seperti sosiologi dalam perkembangan masyarakat.
Di sini, kata kuncinya adalah ‘integrasi’, yang didefinisikan sebagai hubungan sosial yang mengikat individu pada sebuah kelompok sosial, dan ‘regulasi’, yang didefinisikan sebagai tuntutan moral yang dibebankan pada individu ketika ia menjadi anggota dari sebuah kelompok sosial. Setelah meneliti tingkat bunuh diri di antara pengikut agama tertentu, di antara individu yang jomblo dan menikah, dan di antara masa perang dan masa damai, Durkheim pun sampai pada rumusannya yang terkenal. Untuk menjelaskan fenomena bunuh diri, ia menggolongkan bunuh diri ke dalam tiga tipe.
Yang pertama adalah bunuh diri altruistik. Tipe ini disebabkan oleh tingginya tingkat integrasi dalam suatu masyarakat. Contoh yang ekstrem adalah pilot-pilot Jepang di Perang Dunia II yang melakukan kamikaze atau dengan sengaja menabrakkan pesawat mereka ke musuh. Contoh yang tidak ekstrem adalah polisi yang mati dalam tugas. Dalam kasus bunuh diri altruistik, pelaku lebih tepat dikatakan mengorbankan nyawanya ketimbang mencabut nyawanya. Pengorbanan ini tentu saja dilandasi oleh keyakinan bahwa masyarakat tempat ia menjadi anggota menduduki posisi lebih penting ketimbang dirinya sendiri. Dengan kata lain, tindakan bunuh diri dilakukan dengan sukarela sembari mengusung sebuah tujuan yang mulia di dalam benaknya.
Yang kedua adalah bunuh diri fatalistik. Tipe ini disebabkan oleh tingginya tingkat regulasi dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah para budak, tahanan penjara, mahasiswa yang terbebani oleh kuliah, dan karyawan yang terbebani oleh pekerjaan di kantor. Dalam kasus bunuh diri fatalistik, pelaku merasa terjebak dan tercekik di antara berbagai aturan dan disiplin yang berada di sekelilingnya. Ia boleh jadi merasa bahwa tidak ada masa depan yang terbentang di hadapannya karena semua peluang dalam hidup tampaknya telah diputus oleh sistem hukum yang ada, atau ia merasa bahwa kebebasan dirinya sebagai seorang manusia telah direnggut oleh rutinitas dan birokrasi yang ketat. Dengan kata lain, tindakan bunuh diri dilakukan dengan keyakinan bahwa jati dirinya sebagai seorang manusia telah hilang, dan oleh karenanya tak ada lagi alasan untuk hidup di dunia ini.
Yang ketiga adalah bunuh diri egoistik. Tipe ini disebabkan oleh rendahnya tingkat integrasi dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah para jomblo yang merasa kesepian dalam hidup, siswa sekolah yang merasa tak punya teman, orang kaya yang merasa bahwa orang-orang hanya berteman dengan mereka karena kekayaan yang mereka miliki, atau istri yang tidak bisa hamil dan memiliki anak (yang membuat perannya sebagai seorang wanita bersuami dalam masyarakat tak maksimal). Dalam kasus bunuh diri egoistik, pelaku juga merasakan hilangnya jati diri sebagai seorang manusia. Namun, jika jati diri dalam bunuh diri fatalistik hilang karena terserap ke dalam aneka aturan dan norma, jati diri dalam bunuh diri egoistik hilang karena terpisahnya individu dari aturan dan norma yang ada. Artinya, nilai-nilai moral yang biasanya diwariskan oleh masyarakat kepada anggotanya tidak terjadi dalam kasus bunuh diri egoistik. Dengan kata lain, meskipun hidup di tengah-tengah masyarakat, individu tetap merasa resah karena tak punya pegangan hidup, dan karenanya, merasa sendirian. Kesendirian ini, yang ditambah dengan tiadanya nilai-nilai moral yang bisa mengontrol perilakunya, akhirnya membuat individu menjadi depresi dan memutuskan untuk bunuh diri.
Yang keempat adalah bunuh diri anomik. Tipe ini disebabkan oleh rendahnya tingkat regulasi dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah orang-orang yang bunuh diri karena merasa nothing to lose, seperti karyawan kantor yang baru dipecat, orang yang suka ugal-ugalan di jalan raya, dan pecandu narkoba. Dalam kasus bunuh diri anomik, pelaku merasa tak punya pegangan hidup karena memang tidak ada sesuatu yang bisa dijadikan sebagai pegangan (mis: norma, budaya, agama, nilai-nilai moral) dalam masyarakat. Ketika sebuah negara baru saja melewati sebuah bencana alam yang dahsyat atau sebuah revolusi, di mana norma yang lama sudah dilenyapkan sedangkan norma yang baru masih belum ditetapkan, jamaknya akan ada banyak orang yang melakukan bunuh diri anomik (seperti kasus melonjaknya angka bunuh diri di Eropa ketika terjadi Revolusi 1848). Atau, ketika terjadi ledakan ekonomi, individu untuk sementara waktu akan kehilangan norma yang berlaku dalam masyarakat karena pada waktu itu segala sesuatu tampak mungkin dilakukan; individu tiba-tiba disodori dengan kebebasan dan kesempatan yang selama ini tak pernah dicicipinya. Terakhir, seiring dengan semakin canggihnya perkembangan zaman, angka bunuh diri anomik juga akan semakin tinggi, karena gadget yang datang silih berganti mencabut individu dari realitas tempat interaksi yang bersifat nyata berlangsung. Dengan kata lain, meskipun individu memiliki teman bermain dan hubungan sosial, kesemuan yang mencirikan hubungan tersebut pada akhirnya akan mendorong individu untuk merasakan hilangnya sebuah jati diri dan makna hidup.
Untuk menjelaskan fenomena bunuh diri atau aksi yang menjurus ke bunuh diri di kalangan remaja yang belakangan ini menjadi berita utama di berbagai media massa, kita akan memakai tipe bunuh diri yang terakhir, yaitu bunuh diri anomik, sebagai kerangka konseptualnya.
Belakangan ini, seperti yang kita semua barangkali ketahui, media massa banyak membahas berita tentang sebuah permainan berbahaya yang dinamakan skip challenge, atau pass out challenge, atau choking game, atau space monkey challenge. Dalam permainan ini, individu akan ditekan dadanya sekeras mungkin sampai ia kehabisan napas. Pada kasus tertentu, ia akan menderita kejang-kejang, atau bahkan pingsan. Sebagai tambahan, media massa juga membahas berita tentang permainan yang bahkan jauh lebih berbahaya lagi. Permainan ini ditemukan di Rusia dan kawasan Asia Tengah, dan dinamakan blue whale challenge. Dalam permainan ini, individu tak hanya ditantang nyalinya, namun juga benar-benar diminta untuk mencabut nyawanya. Peserta permainan ini akan berkomitmen untuk melakukan tugas-tugas tertentu dalam kurun 50 hari. Setiap hari, tugas yang diberikan berbeda-beda, mulai dari tidak berbicara seharian, menonton film horor seharian, menyayat badan sendiri, sampai akhirnya di hari ke-50, peserta akan diminta untuk mengakhiri nyawanya. Boleh jadi kita menganggap bahwa siapa pun penemu dan peserta permainan ini adalah orang-orang yang tidak waras, tetapi faktanya, sudah seratusan orang yang meninggal karena memainkannya.
Selain permainan berbahaya di dunia maya, banyak pula public figure yang diidolakan orang banyak juga melakukan bunuh diri karena berbagai alasan. Contoh yang paling anyar adalah vokalis Linkin Park, Chester Bennington. Kepergian Chester Bennington ini terpaut tak jauh dari Chris Cornell, vokalis band Soundgarden yang juga diduga meninggal karena bunuh diri.
Apa yang sebenarnya sedang terjadi di dunia yang kita tinggali ini? Apakah kiamat sudah dekat? Hari Pengadilan sudah menunggu kita semua? Tidak juga. Hari kiamat pasti akan tiba suatu saat nanti, tapi tampaknya hari itu masih jauh dari jangkauan kita. Fenomena ganjil yang sedang kita saksikan saat ini, menurut kacamata sosiologi, tak lain daripada gejala anomie, yakni hilangnya sebuah budaya atau sistem nilai yang mengatur perilaku setiap individu dan menjamin keutuhan dalam bermasyarakat. Hilangnya norma tidak melulu berarti sebuah masyarakat sama sekali tidak memiliki norma apa pun untuk dijadikan pegangan. Hilangnya norma, terutama berkaca pada kondisi masyarakat kita saat ini, juga bisa berarti terkesampingkannya nilai lama oleh nilai baru, yang sayangnya belum begitu teruji kemanjurannya dalam mengikat keutuhan masyarakat.
Jika kita memerhatikan kondisi masyarakat kita saat ini, apa yang terlihat adalah sebuah krisis. Saat ini kita memang tidak lebih melarat atau terkungkung daripada beberapa dekade sebelumnya, namun ketika keseimbangan dalam masyarakat kita terganggu oleh nilai-nilai yang asing dan baru, maka kondisi ini bisa kita namakan sebagai krisis. Dengan semakin gencarnya gelombang modernisasi dan globalisasi yang menghantam setiap negara di dunia ini, tak dapat dipungkiri bahwa setiap orang, terutama kaum remaja yang sedang mencari identitas dan jati dirinya, terpapar oleh kesukaran dalam memilih apa yang terbaik bagi hidupnya. Dan memang pilihan di zaman sekarang begitu melimpah, sampai-sampai timbul semacam perasaan kebebasan yang palsu. Orang-orang merasa bebas memilih dan melakukan apa pun yang dianggapnya baik untuk dirinya. Karena merasa bahwa hidupnya adalah sepenuhnya miliknya, mereka terdorong untuk melakukan apa pun, misalnya aneka tantangan yang mempertaruhkan nyawa. Mereka menolak untuk dikontrol oleh nilai dan norma yang dirasanya sudah usang, dan pada akhirnya mereka pun tiba pada tahap ‘lepas kontrol’; artinya, mereka tiba pada suatu perasaan bahwa kontrol atas hidup hanya bisa diraih melalui pertaruhan hidup itu sendiri.
Ini bukan sekadar kecanggihan dari permainan kata-kata. Saat ini, siapa pun bisa melihat bahwa anak-anak dan kaum remaja semakin kehilangan kontrol atas hidupnya. Dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi, mereka hampir tidak perlu menggerakkan anggota tubuhnya untuk mengetahui dan berhubungan dengan dunia luar. Saat ini, melalui gadget, individu bisa berbicara atau bahkan menatap temannya tanpa perlu bergerak keluar dari kamar. Ia bisa menyaksikan pertandingan sepakbola tanpa perlu memasuki lapangan dan berinteraksi dengan orang-orang. Ia bisa mengetahui aneka macam spesies tumbuhan dan binatang tanpa perlu pergi ke tempat penangkaran atau taman nasional. Jadi, seluruh dunia berikut penghuninya kini seolah-olah berada dalam genggaman jari-jari tangannya yang dengan lincah menekan tombol-tombol pada layar. Namun ada satu hal yang luput: manusia lupa bahwa sebagai homo ludens (makhluk yang bermain dengan alam) dan homo faber (makhluk yang bekerja dengan perantara alam), sudah menjadi kodratnya untuk merasakan alam dan berinteraksi dengan sesamanya tanpa perantara apa pun.
Menurut Durkheim, kapasitas manusia untuk merasakan kebutuhan adalah tak terbatas. Maka dari itu, muncullah berbagai aturan, disiplin, dan otoritas untuk menjaga agar kapasitas ini tak kebablasan. Sayangnya, manusia lupa bahwa meskipun sifatnya lebih terbatas, interaksi langsung dengan manusia lainnya adalah sumber dari pemenuhan dirinya sebagai manusia. Di sisi lain, meskipun gadget menawarkan sebuah kemungkinan yang tak terbatas untuk berinteraksi dengan semua manusia yang ada di bawah kolong langit, faktanya manusia mulai menyalahpahami relasinya dengan teknologi: alih-alih melihatnya sebagai alat bantu, saat ini manusia melihat teknologi sebagai sumber nilai yang baru. Dengan kata lain, ia mengidentikkan dirinya dengan teknologi yang dimilikinya, dan merasa mustahil bisa hidup tanpanya.
Buktinya sederhana saja. Di zaman sekarang, pemandangan di sebuah meja di ruang makan atau restoran adalah sebuah pemandangan yang homogen: A dan B akan duduk bersama mengitari sebuah meja dan masing-masing sibuk bercakap-cakap dengan C dan D yang tak berada di dalam ruangan melalui gadget mereka. Kalau misalnya C dan D adalah seseorang yang benar-benar mereka rindukan, atau kalau percakapan yang berlangsung adalah mengenai sesuatu yang penting, tentu lain masalahnya. Namun masalahnya, ketika suatu hari nanti giliran A bertemu C dan B bertemu D di tempat yang terpisah, A akan kedapatan bercakap-cakap dengan B, dan boleh jadi C dengan D. Fenomena ini bukannya tidak diketahui oleh kita semua, dan malahan sudah sering dijadikan sebagai bahan meme. Namun, satu hal yang tidak kita sadari adalah fakta tentang betapa tergantungnya manusia modern pada gadget yang dikantonginya. Sebagai nilai baru yang dipegangnya, gadget tanpa disadari sudah mencabut kefasihan manusia dalam menerapkan nilai lama, persisnya dengan menawarinya sebuah nilai baru yang bisa kita namai ‘kebebasan tanpa batas’. Sehingga, kini manusia tidak lagi paham bagaimana cara menatap lawan bicaranya dengan benar atau mempertahankan sebuah percakapan yang menarik minimal selama 5 menit.
Dalam penjelasannya tentang bunuh diri, Durkheim memang menempatkan bunuh diri anomik dalam posisi yang berbeda dari ketiga tipe bunuh diri lainnya. Menurutnya, bunuh diri anomik berbeda dari tipe lainnya karena ia bukan soal bagaimana individu terikat dengan masyarakat, tapi bagaimana masyarakat mengatur individu. Untuk lebih jelasnya, kita tahu bahwa bunuh diri egoistik berasal dari ketidakmampuan manusia untuk menemukan landasan bagi eksistensi hidupnya. Bunuh diri altruistik terjadi karena manusia menempatkan landasan bagi eksistensi di luar hidup itu sendiri. Bunuh diri fatalistik terjadi karena basis bagi eksistensi terlalu dominan sehingga melenyapkan jati diri manusia. Lalu bagaimana dengan bunuh diri anomik? Tipe ini, seperti yang sudah disebutkan, terjadi karena tiadanya regulasi (atau norma) yang mengikat individu dalam satu kesatuan dengan individu lainnya. Artinya, meskipun individu masih terus menjalin relasi sosial dengan individu lainnya, kesemuan yang mencirikan relasi ini tak memungkinkan terbentuknya sebuah regulasi yang punya kekuatan mengikat. Tiadanya regulasi yang mengikat ini di satu sisi bisa ditafsirkan sebagai sebentuk kebebasan, namun di sisi lain ia juga bisa berarti tersesatnya individu dalam kehidupan bermasyarakat.
Dan Durkheim sendiri memang ada menyebut tentang anomie sebagai sebuah situasi di mana individu terjebak di antara dua sistem nilai yang tidak saling beririsan. Situasi ini tentu saja menimbulkan semacam kegamangan, karena sesuatu yang baru sudah barang tentu mewakili semangat kekinian, sehingga ada daya tarik yang besar untuk mengikutinya. Di sisi lain, sesuatu yang lama akan tersingkir secara perlahan-lahan oleh nilai-nilai yang baru, terlepas dari kemanjurannya yang sudah tahan teruji oleh waktu. Misalnya, seberapa sering kita mendengar seseorang yang memenangkan lotre dan tak lama kemudian jatuh melarat lagi?
Atau, menyangkut topik kali ini, kita bisa melihat bahwa dalam menghadapi kesulitan hidup, kaum remaja saat ini lebih suka mencari solusinya melalui dunia maya ketimbang berkonsultasi dengan keluarga, terutama orang tua mereka. Persisnya dari sinilah muncul aneka solusi yang kita anggap tak waras, misalnya skip challenge atau blue whale challenge yang telah disinggung sebelumnya. Dan sesuai hukum permintaan dan penawaran, solusi-solusi konyol seperti ini otomatis akan semakin bertambah peminatnya. Di dunia ini, ada banyak remaja galau yang berada di persimpangan jalan. Ketika mereka semua bertemu dalam satu komunitas bernama dunia maya dan akhirnya menemukan bahwa mereka semua memiliki masalah yang sama, timbullah keinginan untuk memecahkan masalah ini dengan sebuah solusi baru yang sama-sama dianggap efektif dari sudut pandang mereka yang individualistik dan posisi mereka yang tercabut dari dunia nyata. Pada akhirnya, ketika solusi tersebut telah diterapkan oleh segelintir orang, segelintir yang lain akan merasa terdorong untuk ikut-ikutan, dan dari sini muncullah sebuah efek domino berupa, misalnya, bunuh diri atau aksi yang menjurus ke bunuh diri dalam skala yang viral.
Selain permainan berbahaya di dunia maya, banyak pula public figure yang diidolakan orang banyak melakukan bunuh diri. Baru-baru ini vokalis band Linkin Park, Chester Bennington, meninggal karena bunuh diri tak lama setelah sahabatnya sekaligus vokalis band Soundgarden, Chris Cornell, lebih dulu meninggal karena hal yang sama.
Di sinilah agama dan ritual masuk dan menjalankan perannya dalam masyarakat. Menurut Durkheim, para pemeluk agama tidak pernah melihat agama sebagai sebuah cara berpikir atau pengetahuan yang baru; bagi mereka, agama hanya membantu kita menjalani hidup. Pemeluk yang berkomunikasi dengan Tuhannya tak bermakna bahwa ia telah melihat kebenaran baru; alih-alih, ia hanya menjadi lebih kokoh dalam mengarungi hidup, karena poin utamanya di sini adalah keyakinan bahwa ia telah diselamatkan oleh keyakinan. Tapi ide saja tentunya tak cukup. Kita mesti beraksi dan mengulangi aksi secara sinambung agar efeknya bisa terus diperbarui. Dari perspektif ini, pemujaan menjadi penting.
Siapa pun yang mempraktikkan agama tahu betul bahwa pemujaanlah yang merangsang perasaan damai, senang, dan antusias. Bagi Durkheim, pemujaan adalah pencipta dan pemelihara keyakinan. Keyakinan beragama bersandar pada pengalaman pasti yang punya nilai demonstratif. Realitas yang menjadi sebab objektif, universal, dan abadi dari pengalaman beragama adalah masyarakat, karena ia mampu membangkitkan rasa aman dan memberikan perlindungan, sehingga individu pun menjadi terikat pada pemujaan atasnya. Adalah realitas bernama masyarakat ini yang membentuk individu dan membuatnya bangkit melampaui dirinya. Di sinilah arti penting pemujaan terletak, karena masyarakat tak bisa menebar pengaruh tanpa aksi, sedangkan ia hanya beraksi bila kumpulan individu yang menyusunnya beraksi dalam aksi bersama; dengan kata lain, masyarakat adalah ‘koperasi aktif’. Jadi, aksilah yang mendominasi kehidupan beragama, dengan masyarakat sebagai sumbernya.
Dan karena perasaan kolektif baru menjadi sadar akan dirinya sendiri melalui objek-objek eksternal, maka daya beragama, atau daya manusia, atau daya moral, tidak bisa mengorganisasi diri tanpa mengidentifikasi diri dengan sebuah ritual. Dengan cara inilah mereka meraih hakikat fisik dan berkontak dengan dunia fisik. Dengan kata lain, melalui ritual fisik seperti sembahyang bersama atau pengakuan dosa, agama memungkinkan gairah, sensasi, emosi, dan kebingungan dalam diri individu keluar dan tersalurkan dengan cara ‘tepat’; artinya, sebuah cara yang juga dilakukan oleh individu lain dalam masyarakat dengan gairah, sensasi, emosi, dan kebingungan yang sama. Untuk merekam kesan-kesan yang diterimanya, manusia menyematkan pada ritual aneka nilai dan daya yang boleh jadi tak dikandung oleh ritual tersebut. Tanpa idealisasi seperti ini, masyarakat takkan mampu mencipta dan mencipta ulang dirinya. Dari sini, muncullah sebuah perasaan bahwa kita sebagai individu tidaklah sendirian berada di dunia yang kejam ini; ada orang-orang yang juga mengalami masalah yang sama seperti kita, dan mereka toh baik-baik saja dan tetap berani dalam menjalani hidup. Efek seperti inilah yang coba ditiru oleh dunia maya, dan terbukti gagal total (terbukti dari betapa banyaknya orang yang malah menjadi tidak berani untuk hidup).
Sebagai kesimpulan, tidak ada masyarakat di dunia ini yang abai pada perlunya upaya memelihara dan memperkuat perasaan dan ide kolektif yang menjadi basis bagi kesatuannya. Dan upaya ini hanya bisa diraih melalui berbagai pertemuan, majelis, dan kongregasi tempat setiap individu bisa menegaskan ulang sentimen besama mereka. Oleh karenanya, meskipun agama adalah sistem ide yang bertujuan untuk mengekspresikan dunia, ia juga merupakan sistem praktik yang berorientasi pada aksi. Aksi ini sendiri harus dipahami dan diakui arti pentingnya, karena dengan mengakui aksi yang terkandung dalam ritual, kita juga, seperti kata Durkheim, mengakui bahwa di atas individu ada sesuatu yang bernama masyarakat, yang menjadi tempat individu mencari dan, pada akhirnya, menemukan makna hidupnya sebagai seorang manusia.
Untuk menutup tulisan ini, kita bisa merenungkan fakta berikut. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Durkheim, ditemukan bahwa di antara kaum jomblo dan kaum yang berpasangan, perilaku bunuh diri lebih banyak ditemukan pada kelompok pertama. Fakta ini tentunya menggiring kita untuk bertanya-tanya kenapa kasus bunuh diri dalam kelompok biarawan Katolik dan biksu Buddhis (kecuali mungkin yang sifatnya altruistik) hampir-hampir tak pernah terdengar. Jawabannya, seperti yang sekarang kita ketahui, adalah fakta bahwa meskipun mereka berstatus jomblo, mereka adalah salah satu kelompok manusia dengan ritual terbanyak di dunia ini.
Sumber Rujukan:
Durkheim, Emile. 1995. The Elementary Forms of Religious Life. New York: The Free Press.
Durkheim, Emile. 2002. Suicide: A Study in Sociology. London & New York: Routledge Classics.
Photo by Hailey Kean on Unsplash