30 DESEMBER 2016—Indonesia Lamrim Retreat 2016 di Gedung Prasadha Jinarakkhita Jakarta sudah memasuki hari ketujuh. Di awal sesi, Biksu Bhadraruci berbicara mengenai realisasi dalam praktik Dharma. ‘Realisasi’ merupakan berkah Buddha yang mampu membawa kita menuju ke capaian-capaian tinggi yang pada akhirnya bakal berujung ke Kebuddhaan. Agar realisasi bisa diraih, batin kita harus matang. Batin yang matang adalah sebuah batin yang fokus memikirkan kehidupan mendatang. Salah satu cara untuk mematangkan batin adalah dengan menganggap semua perkataan dan ajaran guru sebagai instruksi pribadi yang harus direnungkan dan dipraktikkan, bukan sekedar mencatat beberapa kalimat keren untuk dibagikan ke teman-teman di luar. Kita harus bisa melihat bahwa setiap perkataan guru ditujukan pada diri kita sendiri.
Realisasi dapat dicapai melalui meditasi Lamrim. Meski tanpa pemahaman mengenai topik-topik urut dalam struktur Lamrim, meditasi yang kita lakukan mampu meningkatkan konsentrasi. Ini tentu hal yang positif. Namun, bagaimana konsentrasi yang telah kita tingkatkan itu dapat kita manfaatkan? Meditasi yang dibarengi Lamrim memungkinkan kita untuk menggunakan konsentrasi yang telah kita kembangkan untuk merenungkan banyak topik berharga sehingga tidak hanya menghasilkan kebijaksanaan.
Dalam meditasi lamrim, satu pengamatan akan mengarah pada pengamatan lainnya. Halangan-halangan yang kita miliki selama ini secara bertahap akhirnya bertumbangan satu per satu. Seiring dengan semakin banyaknya halangan yang tumbang, pemahaman dan kesadaran kita pun otomatis akan bertambah. Dalam memeditasikan topik kematian, misalnya, kita akan mulai paham dan sadar bahwa hidup ini memang sangat rapuh dan tak kekal, ibarat gelembung air yang siap meletus kapan saja. Realisasi ini bisa memunculkan perasaan takut mati yang bermanfaat, yaitu takut karena kita menghargai kelahiran kita sebagai manusia yang bebas dan beruntung dan ada kemungkinan kita tidak bisa terlahir kembali sebagai manusia di kehidupan berikutnya, bukan karena kita melekat pada hal-hal duniawi yang kita miliki di kehidupan ini.
Pada saat kematian, harta, teman-teman, sanak keluarga, hingga tubuh kita sendiri pun tak bisa menolong. Terdengar menyedihkan memang, tapi ini adalah pemahaman dasar yang harus disadari umat Buddha. Bukan berarti Buddhadharma adalah ajaran yang pesimis dan murung. Buddhisme tak mengajari kita untuk berputus asa dan bersedih hati dalam melihat hidup; alih-alih, Buddhisme mengajarkan kebenaran dari hidup ini. Demikianlah hakikat sejati dari hidup ini: ia penuh penderitaan, dan hanya diri sendiri yang mampu menolong kita untuk keluar darinya.
Ketika kita mati, satu-satunya yang mungkin tersisa dari diri kita di dunia adalah kenangan. Kenangan itu pun tidak bertahan selamanya. Hanya orang-orang dengan kebajikan besar yang masih diingat dalam waktu yang lama. Biksu Bhadraruci mengenang saat beliau dibelai oleh Yang Mulia Biksu Ashin Jinarakkhita saat memohon restu untuk menjadi seorang biksu, tapi generasi muda sekarang sudah tidak mengenal beliau. Bahkan memori akan sosok sebesar Biksu Ashin terancam hilang tergerus waktu.
Kematian pasti datang menjemput dan alam rendah hampir pasti menunggu kita, kita harus mencari perlindungan. Sebelah kaki kita sudah tercebur ke alam rendah, dan hanya Triratna yang bisa menuntun kita kembali ke jalan yang benar. Sayangnya, umat Buddhis di Indonesia tak pernah benar-benar memahami Triratna secara tepat. Di Indonesia, tindakan berlindung kepada Triratna, yang dikenal dengan istilah Trisarana, dipenuhi kesalahpahaman. Contoh kecilnya, ada umat yang melakukan Trisarana hanya untuk memenuhi syarat menikah; kalau mereka tak bisa menunjukkan kartu tanda Trisarana sebagai bukti bahwa mereka adalah Buddhis, otoritas tidak bisa memberi pemberkahan kepada mereka. Kalau begitu ceritanya, apa beda kartu tanda Trisarana ini dengan BPJS?
Trisarana yang sesungguhnya adalah yang dilakukan dengan pemahaman penuh mengenai kita berlindung dari apa, yaitu takut akan penderitaan alam rendah atau penderitaan samsara. Kita juga perlu mengapa Buddha, Dharma, dan Sangha sehingga layak kita jadikan objek perlindungan. Kita ambil Buddha sebagai contoh. Ada 4 alasan Buddha dapat melindungi kita dari penderitaan, yaitu:
- Buddha telah bebas dari segala ketakutan
- Buddha mahir membebaskan para makhluk dari semua ketakutan
- Buddha bertindak dengan cinta kasih dan adil terhadap semua makhluk
- Buddha bertindak untuk kepentingan semua makhluk, baik yang pernah maupun tidak pernah menguntungkannya
Sebagian besar umat Buddha di Indonesia memiliki pengertian bahwa Buddha sudah parinirwana dan tidak ada lagi di dunia sehingga tidak bisa menolong mereka. Dalam pengertian mereka, hanya karma masing-masinglah yang memiliki kemampuan untuk menolong. Namun, ada sebuah aspek yang terlewatkan, yaitu peran serta buddha dalam proses pertolongan melalui karma tersebut. Benar bahwa kita dilindungi oleh karma kita sendiri, namun ada dua peran Buddha di sana, yaitu:
- sebagai energi potensi bajik yang menginspirasi kita untuk berbuat karma baik, dan
- sebagai ladang kebajikan, yaitu sebagai objek kepada siapa tindakan karma baik itu ditujukan.
Buddha yang selama jutaan kalpa berjuang meraih pencerahan demi semua makhluk telah begitu baik kepada kita. Karma baik yang dilakukan terhadap sosok yang begitu besar kebaikannya tentu membawa hasil yang tak terhingga pula. Karena itu, Buddha adalah ladang yang amat subur bagi kita untuk menanamkan benih karma baik. Setiap kebajikan yang kita tujukan kepada Buddha seperti memberi hormat, membuat persembahan, dan mengucapkan perlindungan akan membawa buah karma baik yang amat besar sehingga dapat menolong kita dari penderitaan.
Dengan pemahaman ini, kita haruslah membenahi Trisarana kita sehingga dapat benar-benar melindungi dari dari penderitaan samsara, atau setidaknya penderitaan alam rendah di kehidupan mendatang.
Teman-teman yang ingin menyaksikan namun tidak bisa menghadiri acara dapat menyaksikan Livestreaming via buddhayana.tv
Untuk mendapatkan akses dan info jadwal, hubungi:
Sapta: 08984811450
Aprianti: 085375242326