Tulisan ini dibuat untuk lomba NDBF 5.0.
Stigma negatif kesehatan mental di Indonesia masih memengaruhi sebagian besar cara pandang masyarakat terhadap arti mental wellness atau sehat secara jiwa dan definisi kebahagiaan yang seringkali dikaitkan dengan kondisi tersebut. Bahwasanya orang-orang dengan penyakit jiwa adalah orang yang tidak bahagia dengan hidupnya.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia sendiri, kesehatan mental didefinisikan sebagai “keadaan sejahtera dimana individu menyadari kemampuannya sendiri, dapat mengatasi tekanan hidup normal, bekerja secara produktif dan bermanfaat, dan mampu membuat kontribusi kepada komunitasnya.”. Lantas apakah manusia yang dinyatakan normal sekalipun, dapat dipastikan sehat secara utuh dan mampu menjalankan fungsi-fungsi tersebut?
Karena nyatanya, merujuk pada penelitian Global Wellness Institute (GWI), sebanyak 85% populasi dunia ini tidak terdiagnosa memiliki penyakit jiwa, tetapi orang-orang ini tidak semuanya ‘sehat/stabil’ secara mental bahkan untuk mengendalikan emosi-emosi tertentu dalam kehidupan sehari-hari dan merasakan kebahagiaan. Di sisi lain, mereka dengan penyakit mental justru masih memiliki keadaan mental yang netral atau positif, seperti merasa bahagia, memiliki hubungan yang sehat dengan orang lain, dan, menjalankan fungsi dengan baik dalam pekerjaan mereka. Pernyataan mengenai mental wellness ini pun ditegaskan oleh dokter spesialis kedokteran jiwa (psikiater) bernama dr. Jiemi Ardian, SpKJ dalam acara bincang kesehatan mental di Jakarta, “sehat jiwa tidak ada harus selalu bahagia, jadi lebih kepada keseluruhan kehidupan, bukan sekadar perasaan bahagia saja.”.
Sehingga tidaklah valid jika kesehatan mental dan kebahagiaan didasarkan pada tidak adanya penyakit jiwa. Orang-orang dengan penyakit jiwa juga dapat meraih keadaan mental yang sehat dan bahagia. Sebagaimana dituliskan dalam salah satu artikel Global Wellness Institue (GWI), kesehatan mental dengan penyakit mental dapat hidup bersama dan bukanlah rangkaian sederhana dari ‘penyakit mental ke sehat secara mental’ begitu saja, tetapi mental wellness sudah pasti dapat mengurangi keadaan dari penyakit mental. Kondisi ini juga diperjelas oleh GWI bahwa mental wellness adalah sebuah proses yang mengharuskan kita terlibat secara proaktif dan bukanlah sebuah keadaan statis, karena kesehatan mental sendiri merupakan sumber yang dinamis, dapat diperbaharui, dan positif. Oleh karena itu, kesehatan mental tidak hanya terfokus pada cara berpikir mental itu sendiri, melainkan memiliki beberapa dimensi yang memengaruhi lainnya seperti; perasaan dalam dimensi emosional, koneksi dalam dimensi sosial, dan fungsi dalam dimensi psikologi untuk bisa mencapai suatu kebahagiaan yang seimbang.
Salah satu kaitan pada gangguan kejiwaan ada pada sistem kerja otak. Baik kondisi genetik, luka pada otak, infeksi atau tumor, tekanan berkepanjangan, racun/zat berbahaya, dan sebagainya. Merujuk pada penjelasan Diana Setyawati, M.HSc.Psy., Ph.D dalam Kuliah Online CPMH Psikologi UGM pada 28 Januari 2022, dalam gangguan kejiwaan, beberapa sirkuit yang mendasari semua fungsi otak tidak bekerja satu atau lebih sebagaimana mestinya, diantaranya seperti berpikir, persepsi, emosi, signaling, fisik, dan perilaku, sehingga memicu munculnya tanda-tanda dan gejala penyakit kejiwaan. Hal ini membuktikan otak sebagai pusat dari segala aktivitas seorang manusia dan terdapat ilmu khusus “Neurosains” yang mempelajari kondisi seluk-beluk otak manusia dan saat ini telah digunakan dalam terapi-terapi kesehatan terutama psikologis untuk penyakit jiwa/mental.
Di sisi lain, dalam Agama Buddha disebutkan pada salah satu ajarannya sebagai ‘kebahagiaan datang dari kedamaian batin’ dan sumber utama untuk mencapai hal tersebut adalah dengan mengendalikan pikiran. Pernyataan tersebut diperjelas dalam sutra Dhammapada III : 35 yang berisi “sukar mengendalikan pikiran yang binal dan senang mengembara sesuka hatinya. Adalah baik untuk mengendalikan pikiran, suatu pengendalian pikiran yang baik akan membawa kebahagiaan.”dan Dhammapada III : 36 tentang “pikiran sangat sulit untuk dilihat, amat lembut dan halus, pikiran bergerak sesuka hatinya. Orang bijaksana selalu menjaga pikirannya,seseorang yang menjaga pikirannya akan berbahagia.”.
Pernyataan tersebut menjadi salah satu pondasi, dimulai dari mengendalikan pikiran, selanjutnya dapat terwujud pada tubuh dan perasaan, sehingga mampu memengaruhi proses interaksi manusia sehari-hari, termasuk dalam pekerjaan mereka menjadi lebih optimal dan berfungsi baik. Dalam buku “Be Happy” yang ditulils oleh Dr. K. Sri Dhammananda Nayaka Mahathera, J.S.M., Ph.D, D. Litt. tertulis pendekatan psikologi masa kini mirip dengan ajaran Buddha yaitu “jalani oleh dirimu sendiri” yang bertujuan membuat kita menyadari hakikat dari kehidupan, diri kita, dan masalah kita sehingga pada waktu yang sama selain melatih diri mencapai mental wellness pada tingkatan yang dapat kita kendalikan. Dengan Dharma kita juga menjalani cara mengurangi kotoran batin dan mengikis akar dari segala masalah yang dihadapi, sehingga memungkinkan untuk mengalami pertumbuhan spiritual dan bangkit kembali terbebas sepenuhnya dari penderitaan dan kondisi duniawi.
Dharma adalah hukum alam abadi dan yang menjaga hukum ini akan hidup bahagia di dunia ini dan berikutnya. Juga merupakan tugas dari setiap manusia untuk menggunakan pikirannya dengan benar dan disalurkan untuk menciptakan dunia yang alami, adil, dan damai. Dengan memahami Dhamma dan mempraktekannya dengan kewelasan dan kebijaksanaan yang dikembangkan secara bersama dapat meraih kebebasan dan kehidupan yang baik dan seimbang. Tak ada orang yang bisa bahagia sebelum ia merasa cukup hati terhadap dirinya sendiri. Ketika manusia cukup dan bahagia pada diri sendiri, disanalah salah satu faktor untuk mental wellness dapat terwujud. Lingkungan yang dipenuhi oleh orang-orang seperti ini akan terus memberi efek yang sehat, seperti rantai, dari satu orang ke orang lainnya.
Ajaran Buddha tentang kebahagiaan mencakup seluruh makhluk hidup dan tidak hanya berpaku pada kondisi-kondisi tertentu. Sehingga kembali pada konklusi awal, memiliki penyakit mental bukanlah sebuah akhir dan alasan untuk berpasrah pada keadaan, bahkan menyakiti orang lain. Sedangkan pada orang dengan tidak adanya penyakit jiwa pun bukan berarti tidak dapat mencapai keseimbangan mental yang sehat, justru dengan kondisi dimana diri sendiri memiliki dukungan dari ‘kesehatan’ tersebut, belajarlah untuk mengendalikan diri untuk mencapai mental wellness itu lebih baik lagi.
Seorang filsuf Jepang dan presiden dari Buddhisme Jepang, Daisaku Ikeda berkata: “Kebahagiaan sesungguhnya bukanlah ketiadaan dari penderitaan. Manusia tidak bisa memiliki hari demi hari dengan langit terus berwarna biru terang. Kebahagiaan sesungguhnya berdiri pada diri yang dibangun dengan gigih dan bermartabat seperti istana besar, yang bahkan dapat berdiri kokoh pada hari-hari hujan, bersalju, maupun petir.”. Hidup tidak pernah lepas dari penderitaan dan menjalani hidup berarti menghadapi penderitaan tersebut. Jadilah seperti bunga teratai yang memiliki kemampuan untuk tumbuh dari lumpur, mekar dari kegelapan, dan memancarkan keindahan juga keunikan dirinya pada dunia. Daripada terpaku menyalahkan keadaan dan terus mempertanyakan kehadiran penyakit tersebut, terutama sebagai seorang Buddhist, baiknya memaknai setiap ajaran Buddha dimulai dengan pikiran dan berbuat baik, sedikit demi sedikit, hari demi hari, niscaya tercapainya jiwa yang sehat dan kebahagiaan tertinggi.
Profil Penulis :
Belinda Marella lahir di Medan pada 1 Agustus 2001, hobi menulisnya terwujud sejak SD dan keberhasilannya meraih juara 1 pada lomba Cerpen Bulan Bahasa 2018 membawanya masuk lebih dalam ke dunia literasi. Saat ini dirinya tengah menempuh pendidikan sarjana jurusan Ilmu Komunikasi di Universitas Pelita Harapan dan mempersiapkan karirnya di bidang penulisan digital dan menjadi seorang novelis. Salah satu keinginan terbesarnya adalah menulis hal-hal yang berkaitan dengan ajaran Buddha dan dapat ikut menyebarkan Dharma lewat riset dan tulisan yang dibuatnya.