Cerita fiksi belaka, ditulis untuk lomba cerita mini NDBF 5.0
“Memahami proses kematian dan belajar untuk mempersiapkan kematian merupakan modal spiritual yang luar biasa, bukan hanya untuk para pemula, namun juga untuk semua praktisi, karena kita berada dalam sebuah kehidupan yang berbahaya tanpa jaminan kapan ia akan berakhir” – Jika Hidupku Tinggal Sehari, Apa Yang Bisa Kuperbuat?
***
Saya suka kamu, Bahtari. Kamu yang teriak kegirangan dilengkapi gaya selebrasi di tanah lapang ketika berhasil memasukkan bola dalam gawang. Kamu yang terisak begitu sesak saat tokoh series film yang kamu idolakan tiada ─dalam layar nestapa bertuliskan “Netflix” itu. Kamu yang selalu menyisakan separuh nasi uduk di piring ayam penyetmu lalu berdebat denganku siapa yang akan menghabiskan itu. Kamu yang selalu menemaniku saat terjadi perang hebat antara batin dan pikiranku. Semua tentang kamu, saya suka. Kecuali satu, perpisahan kita yang sangat jelas ─sejak pertama kali kamu menyodorkanku selembar kertas berisi diagnosis kanker otak.
Saya tahu, Bahtari. Saya bukan orang pertama yang menemukanmu. Sebab menemukanmu itu satu perkara dan mengenalmu itu sudah lain hal. Kau tahu, Bahtari? Mendadak banyak manusia jadi pandai membual demi mendapat perhatianmu. Selayaknya bintang, asaku untuk menggapaimu adalah mimpi paling tidak tahu diri yang muncul dan mengambil alih ruang bawah sadarku. Sebab, sebanyak apapun tulisan ini saya jabarkan, pasti di luar sana akan banyak yang menulis riwayatmu dengan tinta, bukan dengan air mata layaknya diriku ini.
Seperti banyak catatan tentang luka, menceritakanmu berarti saya harus siap membicarakan kematian. Saya harus tabah menggiring kembali kenangan lama ─mulai dari kamu yang masih bertahan hingga mencapai proses kematian. Pikiranku seperti rol film yang mengulang kembali adegan ketika kita benar-benar terpisah. Iya Bahtari, saat kamu─secara tidak langsung─mengajariku berjalan ke arah raja kematian dengan segala bekal kebaikan.
Sore itu, suara lantang code blue rumah sakit mengejutkan saya yang sedang merengek pada Tuhan untuk meminta kesembuhanmu. Bahtari, sudah berapa kali kubilang? Kamu harus bertahan, kamu kuat, kamu bisa hidup bersamaku lebih lama lagi dengan sertaan tangan Tuhan. Tapi Bahtari, dahulu saya pikir, ini soal kamu yang kalah taruhan dengan alam dan Tuhan. Namun, sore itu benar-benar mengubah cara pandangku tentang bagaimana menghadapi kematian.
Kamar rawatmu adalah sumber code blue yang saya dengar. Jantungmu lagi-lagi meminta berhenti berdetak untuk sekian detik. Saat itu, rengekanku pada Tuhan masih belum selesai. Saya mau kamu hidup lebih lama lagi. Saya mau untuk terus beriringan denganmu menghabiskan hari demi hari kita. Tapi apalah arti kemauan itu, pertarungan di sore itu bukan lagi antara kamu dengan kanker otak, namun dengan proses menuju kematian.
Dingin. Itu yang saya rasakan saat menggenggam tanganmu. Kupandang lagi wajahmu yang pucat, bersamaan dengan alis tebalmu yang menyatu di dahi itu.
“Saya tadi cuma terserang kantuk, eh malah jantungnya ikutan mau tidur”, katamu dengan sangat rintih namun masih terdengar cengengesan.
“Jantung saya juga ikutan mau copot dengar code blue tadi”, balasku mendekatkan wajah ke Bahtari.
“Tidak boleh. Jantungmu harus tetap berdetak. Masih banyak impianmu yang ingin kamu raih kan?”, tanya Bahtari yang kini suaranya semakin rintih.
“Iya, bersamamu”, jawabku singkat.
“Saya pantau kamu dari surga saja ya”, jawab Bahtari yang kini mulai memejamkan mata.
“Bahtari, saya mau kamu. Saya mau bersama kamu berpuluh-puluh tahun lagi. Mana bisa kamu berkata seperti itu”, jawabku dengan sedikit menaikkan nada.
Belum sempat saya teruskan kalimat permohonan itu, suara alat deteksi jantung─yang hingga kini saya tidak mau mencari tau nama alat tersebut karena trauma dengan suaranya─kembali berbunyi. Kali ini tidak ada code blue karena suster masih berada dekat di ruangan. Namun, walaupun tidak ada code blue, sepertinya detik ini adalah yang saya takutkan. Detik yang selalu saya hindarkan dari pikiran. Jangankan melaluinya, saat itu membayangkan saja saya tidak mampu.
Pengecut seperti apa saya ini? Sekalipun saya merintih dan menagis darah, setiap detak pasti akan berhenti. Setiap yang hidup pasti akan mati. Berkali-kali saya mencoba memahami konsep tersebut, berkali-kali pula saya menaburkan garam pada luka batin ini. Namun saya tahu, hidup harus terus berjalan. Seperti yang pernah dikatakan Bahtari bahwa jantung saya harus terus berdetak menjelajahi segala impian hingga nanti detak ini akan berhenti jua. Seperti itu pula kado terindah di umur saya ke-19 ketika Bahtari membelikan sebuah buku tentang kematian.
Sejak hari kehilangan Bahtari, waktu luang yang ada saya isi dengan membaca kembali kado terindahnya ─buku Jika Hidupku Tinggal Sehari, Apa Yang Bisa Kuperbuat? ─ yang kemudian membuat atmaku sadar bahwa perpisahan pasti terjadi. Bukan hanya perpisahan antara sepasang kekasih, tapi juga antara raga dan nyawa dalam tubuh manusia yang akan terpisah. Kita semua berada dalam sistem kehidupan yang memiliki titik akhir. Jadi pada dasarnya, setiap yang bernyawa sedang menghitung hari dirinya akan dikubur.
Di ujung sini, saya tersadar. Banyak hal yang tidak layak untuk dipaksa, dan kematian itu adalah salah satunya. Bagi saya, sangat sulit untuk mengiringi datangnya proses kematian Bahtari yang begitu adigdaya, sedang saya di sini masih merayakan detak yang sedang ramai-ramainya. Bersama itu pula, abadi dalam kefanaan tidak akan pernah tergapai. Tidak ada. Nihil. Apapun itu, istimewa tetap akan menjadi nama tengah dari setiap yang bernyawa. Dari perginya Bahtari, kini saya lebih mengerti makna pamit dalam hidup─mulai menghitung hari saya dikubur.
Profil Penulis
Diah Ayu Asmaraning Nur Aziz atau akrab disapa Dayuk merupakan mahasiswi semester 5 Universitas Gadjah Mada (UGM) jurusan Peternakan. Lahir di Kabupaten Semarang, 15 Juni 2003 membuat gadis 20 tahun ini sangat mencintai karya sastra Jawa. Tidak hanya itu, ketertarikannya pada dunia sastra juga disalurkan dalam bentuk bahasa Indonesia, seperti puisi, cerpen, essay, karya tulis ilmiah, dan sebagainya. Karyanya sudah banyak menjuarai berbagai lomba di tingkat regional maupun nasional. Dayuk juga sudah menerbitkan lima antologi puisi, salah satunya antologi puisi “Kau Karang Saja Judulnya Apa” yang sekaligus mendapatkan penghargaan Juara 1 puisi masyarakat Jawa Tengah. Selain gemar membuat karya tulis, Dayuk juga merupakan Duta GenRe Intelegensia DIY 2023. Dayuk menjadi role model bagi remaja, khsusnya di daerah Yogyakarta, untuk menjadi remaja yang sehat, cerdas, dan berencana. Bakat lain yang dimiliki Dayuk adalah dalam bidang public speaking. Dayuk sering tampil di panggung sebagai pembawa acara, narasumber, moderator, bahkan sering menjuarai lomba debat. Dayuk dapat dihubungi melalui media sosial seperti Instagram (@ini_dayuk), Linkedin (Diah Ayu Asmaraning), dan WA (081341942161).