Novel “Sang Alkemis” karya Paulo Coelho yang menceritakan perjalanan jauh seseorang untuk menjadi Sang Alkemis, dan perjalanan ini pada akhir novel memang harus dilakukan oleh Sang Alkemis tersebut untuk menjadikan kisah hidup Sang Alkemis menjadi sempurna dan indah pada akhirnya. Pada kisah nyata, media di Indonesia sedang hype dengan kedatangan serombongan biksu yang berjalan kaki dari Thailand menuju Candi Borobudur dan saat ini telah tiba di pulau Batam, Indonesia. Rombongan biksu tersebut oleh media dilabeli dengan label “Bhikkhu Thudong”. Apa itu Thudong?
Menurut buku “Dengan Jubah dan Mangkuk”; Thudong (baca: ‘tudong’, berasal dari bahasa Pali, “dhutanga” – Praktik Pertapaan Ketat) adalah kehidupan pengembaraan, pertapaan, terpencil, dan meditatif yang dijalankan oleh sekelompok biksu. Pada buku yang sama, dijelaskan 13 persyaratan praktik Thudong yang sudah ada dan dilakukan sejak zaman Buddha Sakyamuni. Praktik Thudong ini berawal dari Sang Buddha yang menolak untuk mengizinkan pertapaan ekstrim seperti yang Beliau jalani sebelum mencapai penerangan sempurna. Namun, beliau melihat bahwa dalam beberapa tingkatan, praktik ketat dapat memberi manfaat dalam latihan para biksu.
Peraturan Thudong dijelaskan dengan lengkap dalam “Jalan Pemurnian” (Visuddhimagga), Ch. II. Perlu digarisbawahi bahwa praktik ini tidaklah wajib dilakukan oleh semua biksu.
Juga ditekankan bahwa bagi seseorang yang sifatnya mengakar kuat pada kebencian (dosa), praktik pertapaan keras seperti praktik dhutanga ini tidaklah sesuai karena malah dapat meningkatkan rasa benci terhadap diri sendiri. Di sisi lain, bagi mereka yang sifat-sifatnya mengakar pada keserakahan (lobha), keyakinan (sraddha), dan sifat dasar yang bercampur (dengan kata lain ‘seimbang’), praktik Thudong dapat membantu mengembangkan rasa pelepasan dan rasa syukur.
Penulis ingat ada juga seorang biksu yang sangat populer yang pernah melakukan praktik serupa dan menempuh jarak yang tak kalah jauh dalam perjalanannya. Beliau bahkan oleh sebuah media dijuluki sebagai backpaker pertama dunia, yaitu Biksu Tang Xuanzang. Bhiksu Tang melakukan perjalanan dari Chang An (China) menuju Biara Nalanda (India). Dalam perjalanan tersebut, dikisahkan bahwa Beliau juga menerapkan aturan serupa dengan praktik Thudong walau bisa jadi hal ini tidak akan bisa dibuktikan secara hitam diatas putih.
Menariknya adalah ada juga beberapa umat awam yang sering melakukan perjalanan jarak jauh entah dengan jalan kaki atau bahkan sambil bernamaskara dengan maksud dan tujuan spiritual tertentu. Dalam keyakinan Katholik (Camino de Santiago) dan Islam (ibadah umrah) juga sering dijumpai praktik ziarah atau perjalanan spiritual yang serupa. Pada tahun 2010 lalu, juga ada lima orang mahasiswa STAB (Sekolah Tinggi Agama Buddha) yang berjalan kaki dari Jakarta menuju Candi Borobudur.
Namun, harap kita ingat, Guru utama kita, Buddha Sakyamuni tidak pernah memaksakan suatu bentuk praktik tertentu kepada semua murid. Yang dilakukan oleh Sang Buddha adalah menyarankan praktik tertentu kepada murid tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas murid tersebut. Begitu juga praktik Thudong ini sekilas dapat menginspirasi orang menjadi heboh dan bersemangat. Semangat terhadap kebajikan adalah hal bagus, tetapi kita harus ingat kemampuan dan kapasitas kita sendiri. Praktik termudah yang bisa kita lakukan terhadap praktik Thudong ini adalah mempraktikkan mudita citta atas kebajikan para biksu. Namun, jangan sampai kita meniru tanpa pikir panjang hingga melukai diri sendiri, apalagi membanding-bandingkan atau memaksa orang lain untuk melakukan hal yang sama.
Terlepas dari berbagai cerita di atas dan praktik spiritual yang dilakukan, ada sebuah pertanyaan yang perlu dijawab. Apakah praktik Thudong masih relevan untuk dilakukan pada masa kini? Lalu apa motivasi di balik praktik tersebut? Tentu saja jawaban untuk pertanyaan pertama hanya ada dua: masih relevan dan tidak relevan. Sementara itu, alasannya bisa belasan atau bahkan puluhan. Bahkan ini bisa memunculkan perdebatan sengit antara kubu yang masih menganggap praktik ini relevan dan yang tidak.
Jadi, apakah menurut pembaca praktik Thudong masih relevan di zaman sekarang? Penulis rasa jawaban tersebut sebaiknya direnungkan secara pribadi dan dipraktikkan sesuai dengan kapasitas kita masing-masing. Yang terlebih penting dari relevansi tersebut adalah apakah kita sudah menaruh komitmen dan konsistensi yang cukup pada praktik Dharma kita sehari-hari. Tanpa komitmen, tentu kita tidak akan pernah memulai praktik Dharma, dan tanpa konsistensi, tentu praktik dharma kita tidak akan pernah sempurna.
oleh Chatresa7
Referensi:
- Puluhan Bhikkhu Gelar Perjalanan Ritual Empat Negara, dari Thailand hingga Indonesia – batamtoday.com
- Xuanzang Buddhist monk – britannica.com
- Xuanzang Sang Backpacker Dunia Pertama dan Kisah Perjalananny a– phinemo.com
- Lima Mahasiswa Jalan Kaki Spiritual Jakarta-Borobudur – antaranews.com
- Jalani Ritual Thudong, Puluhan Biksu Thailand Jalan Kaki ke Borobudur– beritasatu.com
- Dengan Jubah dan Mangkuk – Bhikkhu Khantipalo, Insight-Vidyasena Production (2019)