Hari Valentine tak lepas dari kisah-kisah romantis antara sepasang kekasih yang tersebar dalam film, buku novel, drama Korea, bahkan dalam kehidupan sehari-hari kita. Pastinya kita tidak asing dengan kalimat berikut ini:
“Aku cinta kamu, nggak mau kehilangan kamu.”
Romantis sekali, bukan? Kalau seseorang yang kita sukai menyampaikan itu kepada kita, tidakkah kita melayang, merasakan kupu-kupu dalam perut, dan kepikiran sepanjang malam?
Jatuh cinta atau kasmaran pada awalnya bagai memakan gulali yang begitu manis, cukup sesuap dua suap, atau satu buah gulali. Lama kelamaan, rasa gulali itu tidak akan selezat pada kali pertama menyuap. Setelahnya, kenyataan kembali menarik kita ke tanah, di saat kita sudah terbang melayang.
Namun, perasaan kasmaran yang penuh dengan euforia tersebut kadang-kadang membuat kita kecanduan. Walau kenyataan telah menampar–entah saat ditolak atau doi “berubah” dari bayangan kita–kita masih memburu rasa kasmaran tersebut, ingin perasaan indah itu selalu ada. Dan bagaimana jika perasaan itu kelebihan batas; karena menginginkan perasaan itu selalu ada, harus selalu bersama dengan dia, hingga kesal dan marah apabila dia bisa saja meninggalkan kita, bahkan merasa terancam dengan kemungkinan kehilangan dia? Kalimat “Aku cinta kamu, nggak mau kehilangan kamu,” malah menjadi bumerang. Tidak ingin kehilangan adalah hal yang mustahil terjadi karena bertemu dan berpisah adalah hal yang mutlak terjadi dalam lingkaran samsara ini.
Makanya kita harus berhati-hati. Perasaan kita ini dapat berangsur membuat hubungan menjadi beracun, istilahnya “toxic relationship”. Istilah ini pertama kali digunakan oleh Lillian Gllas dalam bukunya, Toxic People (1995). Gllas menggunakan “toxic relationship” untuk menggambarkan hubungan yang dibangun di atas konflik, persaingan, dan kebutuhan seseorang mengendalikan orang lain. Toxic relationship memiliki banyak jenis. Cairo West Mag mencontohkan di antaranya terjadi kebohongan, manipulasi, memanfaatkan, peremehan, pengkhianatan, atau ketidakpercayaan.
Sudah beredar banyak kasus mengenai toxic relationship yang begitu menakutkan. Banyak pula film-film yang menggambarkan potret toxic relationship seperti film Posesif, Story of Kale, dan lain sebagainya. Kasus-kasus yang paling parah bahkan menimbulkan korban jiwa. Seperti yang terjadi baru-baru ini, seorang guru meninggal dibunuh mantan suaminya yang ingin rujuk tetapi ditolak. Pelaku mengaku merasa cemburu karena korban dikabarkan dekat dengan laki-laki lain, sampai-sampai ia nekat menusuk mantan istrinya di depan sekolah hingga tewas.
Baca juga: “Menghadapi Fenomena Pelakor dengan Welas Asih”
Klesha Hasrat
Kita dapat melihat bagaimana perasaan kasmaran di awal dapat berangsur menjadi tragedi. Hal itu terjadi karena rasa tertarik yang berlebihan terhadap keindahan dan kenikmatan, sehingga muncul rasa melekat terhadapnya. Celakanya, banyak yang menganggap itu adalah cinta. Dalam Buddhisme, kita mengenal fenomena ketertarikan dan keinginan memiliki yang begitu kuat ini sebagai salah satu klesha atau kotoran batin, yaitu hasrat.
Kita perlu mengetahui bahwa klesha, baik itu klesha hasrat, kemarahan, kesombongan, ketidaktahuan, ataupun keraguan, tidak hanya merugikan kita dalam kehidupan ini dengan menimbulkan luka batin dan luka fisik. Lebih parahnya lagi klesha-lah yang menyebabkan kita terus terjebak dalam lingkaran samsara untuk waktu tak berujung. Dengan kata lain, kita bakal lahir-mati berulang kali dan lagi-lagi mengalami derita cinta tiada akhir. Kok bisa?
Klesha dan karma adalah yang memunculkan dukkha. Klesha mendorong kita untuk mengumpulkan karma yang suatu saat akan mendatangkan akibat. Selama kita masih punya klesha, kita pasti masih harus terlahir kembali untuk mengalami buah dari karma itu. Lain ceritanya kalau kita sudah mengatasi klesha seperti para arahat dan Buddha. Karena klesha sudah tidak ada, karma cuma akan jadi benih mandul di dalam tanah yang tidak bisa tumbuh. Ia pun tidak bisa terus-terusan menyebabkan penderitaan baru.
Klesha hasrat sendiri timbul ketika kita merasa objek-objek seperti kekayaan, tubuh orang lain, makanan dan minuman, bahkan pasangan, dan seterusnya, menarik dan kita tidak ingin terpisahkan darinya. Begitu dia sudah muncul, kita jadi ingin selalu berhubungan dengan objek tersebut; nafsu keinginan kita tumbuh semakin kuat dan hasrat semakin sulit untuk diatasi.
Hasrat yang kuat mendorong kita mulai mengumpulkan karma baik melalui pikiran, ucapan, ataupun tindakan. Mulai dari berkhayal tentang si dia, menelepon atau kirim chat setiap lima menit sekali, atau ekstremnya seperti kasus pembunuhan guru yang diceritakan tadi. Dan karena karma berlipat ganda dengan pesat dan salah satu akibatnya adalah kecenderungan mengulangi, kita pun terjebak dalam hasrat yang makin menggebu-gebu dan melakukan lebih banyak tindakan atas dasar hasrat itu sampai ke kehidupan-kehidupan berikutnya.
Hasrat itu sebenarnya sangat menipu. Contohnya ketika kita jatuh cinta, kita melihat pasangan kita begitu sempurna, sehingga kita tidak ingin berpisah dengan dia dan kesenangan yang ditimbulkan olehnya. Padahal pastinya pasangan kita tidaklah sempurna. Jika memang dia memiliki semua kualitas baik seperti yang kita bayangkan, maka setiap orang pasti juga merasakan hal yang sama terhadap dia. Namun, tentu tidak demikian. Hanya kitalah yang melekat terhadapnya. Parahnya lagi, karena hasrat membuat kita merasa “senang”, kita jadi gagal membangkitkan rasa muak terhadap samsara dan terjebak terus dalam kelahiran berulang.
Mengatasi Hasrat yang Meracuni Hubungan
Klesha hasrat ini sangat sulit untuk diatasi. Jika klesha lain ibarat noda pada kain, hasrat itu noda minyak yang mudah meresap dan sulit untuk dibersihkan. Artinya, batin kita seperti meresap ke dalam objek, dan akibatnya, akan sangat sulit untuk memisahkan batin dengan objek.
Dalam buku Pembebasan di Tangan Kita Jilid 3, klesha hasrat dapat diatasi dengan mempraktikkan meditasi kejelekan, misalnya merenungkan gambar mayat dalam berbagai tahap pembusukan. Tujuannya adalah menyadarkan diri kita bahwa objek apapun yang kita hasrati itu sebenarnya tidak kekal.
Saat kita terobsesi kita terhadap kualitas baik yang dimiliki oleh orang lain, khususnya objek yang kita lekati, bisa saja hanya merupakan hasil kerja klesha hasrat kita. Ketika kenyataan ternyata tidak sesuai dengan “kacamata” klesha Hasrat kita, kita tidak perlu kecewa, marah, hingga merugikan orang lain atau bahkan menghilangkan nyawa orang lain akibat klesha hasrat kita yang menggebu-gebu. Makanya kita perlu melakukan berbagai upaya untuk menyadarkan diri kita terhadap realita, bahwa si dia yang kita “cintai” bisa dan akan terus berubah, sama dengan segala hal di dunia ini.
Setelah kita menyadari hal tersebut, kita tidak akan lagi terobsesi ingin memiliki orang itu, juga tidak kecewa berlebih saat dia berbeda dari apa yang kita harapkan. Klesha hasrat kita akan berkurang dan dari situ, barulah kita bisa benar-benar mencintai dia, yaitu dengan tulus mengharapkan dan memberikan kebahagiaan untuknya.
Selain itu, kita perlu menyadari melihat bahwa di dunia ini ada begitu banyak makhluk yang sama-sama berharga dan berhak bahagia. Dengan kata lain, kita juga bisa melatih cinta kasih yang lebih besar, yaitu cinta kasih bagi semua makhluk yang tanpa syarat.
Penulis: Victoria
Referensi:
“Pembebasan di Tangan Kita” Jilid II oleh Phabongkha Rinpoche
“Memahami Dukkha dan Terbebas Darinya” oleh Guru Dagpo Rinpoche