Minggu (13/2), Yayasan Pelestarian dan Pengembangan Lamrim Nusantara (YPPLN) menggelar Lamrim Talk bertajuk “Dari Spirit Doll Sampai Sex Doll: Antara Cinta dan Cemas” digelar untuk membahas isu tentang spirit doll ramai dibicarakan beberapa waktu lalu. Acara masih dibawakan oleh narasumber kesayangan yaitu Stanley Khu, kepala editor penerbit YPPLN, dan moderator Yushua Adi Putra, Dharma Patriot Lamrimnesia.
Dua Sisi Spirit Doll
Stanley memandang fenomena spirit doll dan sex doll dari dua sisi, yakni secara spiritual dan psikologis. Menurutnya, dari segi spiritual, benda apapun seperti boneka, pohon, dan patung bisa memiliki spirit/roh maupun tidak bergantung pada orang-orang mempercayainya atau tidak.
Dari sisi psikologis, Stanley mengatakan bahwa saat kita kesepian, kita pasti membutuhkan teman. Namun, biasanya hubungan antarmanusia tidak pernah sederhana, bahkan dengan diri sendiri saja sangat kompleks. Dalam konteks pertemanan, bisa ada beragam kerumitan yang muncul, misalnya ada teman memberi saran baik, tapi kita malas mendengarnya. Atau saat kita mentraktir mereka, mereka malah membuat kita tersinggung dengan kritikannya. Hal inilah yang membuat kita sulit untuk memahami orang lain.
Berbeda dengan manusia, boneka hanya diam dan tidak menolak apapun yang kita lakukan terhadapnya. Karena boneka tidak bisa mengungkapkan kritik maupun saran, berhubungan dengan boneka menjadi cara mengatasi kesepian yang lebih praktis, baik dengan dijadikan teman atau untuk pemenuhan kebutuhan seksual. Namun, kepraktisan ini bisa menjauhkan kita dari realitas dan hanya memperoleh kebahagiaan jangka pendek saja.
Spirit Doll, Welas Asih, dan Karma
Ketika ditanya perihal pandangan Buddhis terhadap memberi kasih sayang terhadap boneka, Stanley menjawab:
“Sebenarnya apapun yang berpotensi untuk memunculkan welas asih dan cinta kasihmu itu ya baik, ya.”
Menurut Stanley, beberapa orang mungkin mengalami trauma berat sehingga kesulitan berkomunikasi dengan manusia. Untuk mengatasi trauma, bisa bisa saja seseorang menggunakan boneka sebagai sarana pemantik welas asih dalam diri mereka. Melalui boneka, mereka bisa menyalurkan kasih sayang, tapi sifatnya hanya sementara. Kalau kita mau pencerahan, berwelas asih terhadap boneka tentu tidak cukup. Tujuan akhirnya adalah kita tetap perlu berwelas asih terhadap semua makhluk hidup.
Selanjutnya, Stanley menuturkan bahwa tak ada hal di kehidupan kita yang terjadi secara kebetulan. Semua ada karena karma, tidak terkecuali dengan spirit doll maupun sex doll. Jika ada hubungan di kehidupan saat ini, karma tersebut otomatis tentu akan berlanjut ke kehidupan selanjutnya. Jika pada kehidupan saat ini memelihara spirit doll, bisa saja nanti berhubungan lagi di kehidupan mendatang walau kondisinya belum tentu sama.
Hati-Hati dengan “Milikku”
Di akhir sesi, Stanley berpesan terhadap orang-orang yang memiliki spirit doll berdasar sudut pandang Buddhis:
“Kita dalam hidup secara konstan harus berhati-hati dengan hal-hal yang dipersepsikan sebagai miliki kita, yang dijadikan wahana untuk menempelkan ego kita. Ego sebenarnya menular!”
Kita biasa memandang segala hal yang ada di sekitar kita sebagai milik kita–milik “aku”, baik itu spirit doll, benda mati lainnya, dan juga makhluk hidup. Kalau kita memiliki pasangan, maka rasa cemburu dan marah bisa muncul meski pasangan melakukan sesuatu yang tidak berhubungan dengan kita. Kalau mobil kita lecet, “aku” yang merasa disakiti. Semakin banyak “aku” yang kita miliki, semakin banyak pula penderitaan yang kita miliki, dan semakin lama pula kita mencapai pencerahan.
Jadi, tak ada salahnya memiliki spirit doll, tapi jangan sampai melekat terhadapnya, apalagi sampai menjadikannya satu-satunya cara untuk menghalau penderitaan yang kita alami.