Minggu, 26 Desember 2021 – Yang Mulia Biksu Tenzin Konchog membahas berbagai kontroversi dalam Buddhisme dalam acara daring “Debunking Myth About Buddhism”. Pembahasan dilakukan dengan merujuk pada kitab “Pembebasan di Tangan Kita” karya Phabongkha Rinpoche.
Acara ini merupakan bagian dari Perayaan 100 Tahun Pembebasan di Tangan Kita yang diselenggarakan oleh Yayasan Pelestarian dan Pengembangan Lamrim (YPPLN/Lamrimnesia). Perayaan ini berlangsung selama dua hari, 25-26 Desember 2021, via Zoom dan diikuti oleh 170 peserta. Hari pertama diisi dengan membaca bersama kitab “Pembebasan di Tangan Kita” bagian karma dan kelahiran sebagai manusia yang berharga serta diskusi mengenai kedua topik tersebut. Gelar wicara “Debunking Myth About Buddhism” diselenggarakan di hari kedua.
Pembebasan di Tangan Kita
Kitab “Pembebasan di Tangan Kita” sendiri merupakan pemaparan Tahapan Jalan Menuju Pencerahan atau Lamrim, sebuah metode mempelajari Dharma yang mencakup ketiga kendaraan (Theravada, Mahayana, dan Vajrayana) Buddhis sebagai sebuah kesinambungan. Lamrim juga berkaitan erat dengan Guru Suwarnadwipa Dharmakirti, mahaguru Dharma yang hidup di Nusantara pada abad X.
Apakah Buddha masih ada? Bukannya sudah Parinirwana?
“Buddha pasti masih ada,” tutur Y.M. Tenzin Konchog di awal gelar wicara untuk menjawab pertanyaan peserta tentang keberadaan Buddha. Hingga saat ini, ketiga aliran besar agama Buddha masih mempraktikkan Tisarana, dimana salah satu dari tiga objeknya adalah Buddha. Dengan kata lain, hal itu menunjukkan bahwa Buddha masih ada. Jika Buddha tak lagi ada sejak Beliau parinirwana 2500 tahun lalu, tentu praktiknya bukan “Tisarana”, tapi “Dwisarana”.
“Meskipun kita melihat atau tidak melihat sesuatu, belum tentu itu benar atau tidak benar,” terang Y.M. Tenzin Konchog, “Karena manusia punya keterbatasan mempersepsikan sesuatu.”
Memahami ragam aliran dalam Buddhisme
Selanjutnya, Y.M. Tenzin Konchog menjawab pertanyaan seputar aliran dalam agama Buddha. Adanya aliran tersebut sebenarnya menjadi indikasi bahwa ajaran Buddha masih dipraktikkan dan kian berkembang.
“Manusia memiliki banyak aspirasi sehingga berkembang juga berbagai cara dan pendekatan untuk menolong semua makhluk,” pungkas Beliau.
Lebih lanjut, Y.M. Tenzin Konchog juga mengingatkan bahwa kita perlu memahami Buddhadharma secara lengkap dan menyeluruh agar tidak terpeleset mengkotak-kotakkan beragam aspirasi dalam Buddhisme menjadi sekte terpisah, lalu dibanding-bandingkan. Misalnya aspirasi Theravada yang bertujuan untuk meraih pembebasan pribadi dan berfokus pada penolakan samsara dengan aspirasi Mahayana yang bertujuan membebaskan semua makhluk. Lantas ada yang bilang membebaskan diri sendiri itu egois. Itu bukan cara pandang yang tepat.
“Padahal untuk memasuki Mahayana, perlu membangkitkan Bodhicitta. Kita tidak mungkin membangkitkan Bodhicitta tanpa penolakan samsara,” terang Y.M. Tenzin Konchog.
Kembali ke tujuan beragama
Biksu yang telah mempelajari Lamrim selama 17 tahun ini menekankan bahwa alih-alih mempertanyakan aliran mana yang paling baik dan harus dipilih, seseorang yang serius ingin mempraktikkan Buddhadharma haruslah berangkat dari masalah apa yang mereka alami dan menerapkan penawar untuk masalah tersebut.
“Beragama itu bukan untuk menyembah-nyembah Biksu, Buddha, atau Tuhan. Beragama itu untuk mengatasi penderitaan dan menjadi bahagia,” lanjut Y.M. Tenzin Konchog.
Pentingnya proses
Masuk ke pertanyaan berikutnya, peserta bertanya: lebih efektif mana, berdana untuk orang yang membutuhkan dan berdana untuk persembahan kepada Buddha?
Menanggapi hal itu, Y.M. Tenzin Konchog menegaskan bahwa praktik Dharma tidak bergantung pada penampakan luar. Tidak perlu memperdebatkan tentang apa dan untuk siapa karena hasil dari sebuah praktik bergantung apda prosesnya. Apabila tangan memberi kepada yang membutuhkan, tetapi batinnya mencemooh atau memandang rendah, hal itu bukanlah bentuk kemurahan hati.
“Jadi harus jujur, kepada siapa kamu bisa bermurah hati?” ungkap anggota Sangha Vajrayana SAGIN tersebut.
Selanjutnya, kurang lengkap apabila diskusi Buddhisme tidak membahas karma. Masyarakat kerap melekatkan konsep karma dengan ajaran Buddha. “Karma itu hukum, bukan takdir,” tutur Y.M. Tenzin Konchog.
Karma bukan takdir
Beliau menyarankan untuk terus merenungkan karma, baik dalam keadaan bahagia maupun menderita. Terkadang, kebahagiaan membuat seseorang terlena, lalu lupa bahwa kebahagiaan itu didapat dari himpunan karma di masa lampau. Akibatnya, kebahagiaan itu memicu timbulnya keangkuhan.
Karena karma bukan takdir yang permanen, seseorang tidak seharusnya pasrah begitu saja terhadap masalah yang menimpa. Sikap yang harus dilatih adalah tidak menyerah dan berusaha mengemban tanggung jawab atas akibat dari perbuatan yang telah dilakukan. Inilah yang dapat menjadi basis perkembangan spiritual berikutnya.
Di akhir sesi, Y.M. Tenzin Konchog berpesan kepada seluruh peserta untuk mempelajari Dharma secara lengkap dan bertahap agar tidak terjebak dalam mitos Buddhisme ataupun pandangan salah. Dengan demikian, barulah Dharma bisa bermanfaat bagi batin diri sendiri dan semua makhluk.
“Butuh banyak belajar untuk membantu banyak orang,” tutup Beliau.
Penulis: Devi Riani Atika Sari