Waisak menjadi momen yang sangat penting bagi kita sebagai umat Buddha untuk mengenang tiga peristiwa dalam riwayat Buddha Sakyamuni, yakni kelahiran sebagai Siddharta, pertapa Siddharta mencapai penerangan sempurna, dan Buddha mencapai Parinirwana. Tidak hanya mengenang tiga peristiwa penting tersebut, kita juga bisa mengenang sifat-sifat bajik yang dimiliki oleh Buddha, salah satunya adalah cinta kasih.
Untuk mengupas lebih jauh tentang apa itu cinta kasih atau ”metta”, Keluarga Mahasiswa Buddhis (KMB) IPB bersama KDJU (Kamadhis Dharma Jaya Universitas Atma Jaya Yogyakarta) menggelar Talkshow dengan tajuk “Genuine Love Spread Universal Happiness” bersama Bhikkhu Atthadhiro sebagai pembicara pada Minggu, 30 Mei 2021. Acara ini dimoderatori oleh Jordi Kurniawan, mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara.
Apa itu Cinta Kasih?
“Cinta kasih adalah satu pikiran dengan harapan semua hal yang mengacu pada diri sendiri dan makhluk lain agar bahagia,” ujar Bhikkhu Atthadhiro.
Cinta kasih adalah pikiran yang berisi harapan agar kita dan semua makhluk bahagia dan inilah sikap mental yang membedakan cinta kasih dengan sikap mental lainnya. Tidak seperti simpati dan empati hanya kepada orang yang sedang kesusahan, ataupun mudita kepada orang sedang berbahagia, cinta kasih ini muncul tidak memandang bulu dan kondisi, apakah saat ini ia sedang bahagia atau tidak, melainkan senantiasa diharapkan dan tercermin dalam ungkapan, “Semoga semua makhluk bahagia”.
Cinta kasih ini beda dengan belas kasih atau karuna. Karuna adalah perasaan sedih ketika kita melihat makhluk lain menderita. Seperti Buddha yang memberi Dharma pada kita atas dasar karuna, Buddha berbelas kasih karena kita sebagai makhluk hidup masih diliputi penderitaan, sehingga Beliau mewariskan Dharma yang bisa membebaskan semua makhluk dari penderitaan.
Melatih Cinta Kasih
“Sebelum ada tindakan nyata, hal yang harus dilatih adalah jangan membiarkan kebencian,” tutur Bhikkhu Atthadhiro.
Kebencian bisa menghambat munculnya cinta kasih dalam batin kita. Kadang kita tidak menyadari hadirnya kebencian dalam batin, misal kita berharap “semoga semua makhluk berbahagia, kecuali musuh saya”. Memang kita sudah mulai menumbuhkan cinta kasih, tapi masih ada pengecualian untuk orang-orang yang tidak kita sukai.
Supaya cinta kasih yang sesungguhnya bisa muncul, maka kita tidak bisa membiarkan kebencian berkembang dalam batin. Kebencian hadir karena seseorang masih belum bisa melepaskan keakuan terhadap kejadian yang sudah lewat dengan berbagai alasan, misalnya karena dia memukulku, mengambil milikku, bahkan mengumpatku. Keakuan ini bisa kita lenyapkan dengan memahami bahaya dari kebencian yang bisa menimbulkan permusuhan, provokasi, dan ujaran kebencian. Kalau kebencian dibiarkan menguasai diri, maka kita akan sulit untuk menumbuhkan cinta kasih.
Bhikkhu Atthadhiro lebih lanjut berpesan agar kita tidak fokus terhadap hal-hal yang tidak menyenangkan karena hanya akan mengarahkan pikiran kita terhadap kebencian. Apabila kita ingin mengembangkan cinta kasih, maka harus meninggalkan kebencian. Penawar dari kebencian adalah kesabaran. Kita sabar kalau ada orang yang marah karena kita tahu bahwa ia sedang tidak diliputi cinta kasih. Kita juga harus sabar apabila ada orang yang menyebar ujaran kebencian agar tidak terprovokasi dalam perkelahian. Kalau kita bisa sabar, kita pasti bisa mengembangkan cinta kasih sehingga tidak memiliki kehendak untuk membuat orang lain tersakiti, menderita, tersinggung, dan marah.
Tujuan dan Manfaat Cinta Kasih
“Sebetulnya tujuan dan manfaat pengembangan cinta kasih adalah untuk diri sendiri. Orang yang mencintai diri sendiri maka bisa mencintai orang lain. Tidur nyenyak, tidak mimpi buruk, bangun tidur segar, mudah konsentrasi, ketika meninggal tidak akan kebingungan, akan terlahir di alam Brahma – berhubungan dengan spiritual,” ujar Bhikkhu Atthadhiro terkait manfaat cinta kasih.
Cinta kasih akan membawa kebahagiaan untuk kita dan semua makhluk. Seseorang tidak akan menyakiti kalau ia tidak disakiti, seseorang akan mencintai apabila ia dicintai. Orang akan senang dengan kita karena punya cinta kasih. Orang memberi dana dan perhatian karena ia punya cinta kasih. Cinta kasih itu diibaratkan sebagai sosok ibu. Ibu tidak akan membiarkan anaknya hidup dalam kesulitan, maka ia akan melakukan apapun untuk kebahagiaan anaknya.
Cinta kasih yang kita kembangkan akan memberi banyak manfaat, misal tidur nyenyak dan tidak bermimpi buruk karena kita tidak memiliki kebencian terhadap siapapun. Kita pun bisa melakukan aktivitas sehari-hari dengan penuh konsentrasi karena tidak memikirkan balas dendam terhadap orang yang mengganggu, karena kita bisa bersikap sabar terhadapnya. Ketika kita sudah terbiasa mengembangkan cinta kasih, ketika akan meninggal pun kita merasa damai karena yang ada dalam batin hanyalah “cinta kasih”. Lebih jauh lagi, meditasi cinta kasih yang sering dilatih setiap hari bisa membuat suatu makhluk terlahir di alam Brahma.
“Dengan meditasi kita bisa mengaktifkan cinta kasih dalam diri. Apapun yang diulang-ulang akan masuk dalam ingatan kita,” imbuh Bhikkhu Atthadhiro.
Meditasi adalah salah satu metode latihan batin yang bisa kita lakukan di mana pun juga. Dengan meditasi cinta kasih, kita bisa melatih berulang-ulang salah satu nilai luhur Buddha. Sebagai hasilnya, rasa welas asih juga bisa muncul dalam diri kita saat melihat orang lain kesusahan dan segera membantunya.
Benang Merah Cinta Kasih dan Keluhuran Bangsa
Ternyata ada lho benang merah antara cinta kasih dengan Indonesia! Seperti apakah benang merah itu?
“Kita adalah bangsa Indonesia, dahulu dikenal sebagai bangsa yang luhur, punya tingkat sopan santun yang tinggi, gotong-royong, dan toleransi,” ujar Bhikkhu Atthadhiro.
Dahulu, bangsa Indonesia adalah bangsa yang menjadi suri tauladan bagi bangsa-bangsa di dunia karena terkenal akan sifat ramah penduduknya, suka bekerja sama, dan mengedepankan toleransi. Namun, sekarang nilai-nilai ini kiranya berkurang karena penduduknya hanya mementingkan diri sendiri. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya ujaran kebencian yang beredar di media sosial, orang-orang mudah emosi karena terprovokasi hingga akhirnya timbul perkelahian antar tetangga, antar desa, dan antar geng.
Lebih lanjut Beliau menjelaskan ketika ingin menghidupkan nilai-nilai luhur bangsa ini, maka kita harus punya cinta kasih yang terwujud dalam sikap gotong-royong, toleransi, dan peduli sehingga antar golongan bisa dekat dan bersatu. Ketika ada bencana tanah longsor kita bisa saling mengulurkan tenaga dan materi. Apabila kita tidak sanggup maka berilah doa, bukan malah menyalahkan si korban karena memiliki tempat tinggal dekat tebing. Apabila ada bencana gempa bumi, bantulah semampu kita, bukan menyalahkan mereka yang tinggal di daerah yang acap kali terjadi gempa. Kita tidak pernah tahu kapan musibah datang, bisa besok, dua tahun lagi, atau detik ini juga. Apabila ada sahabat kita sedang menunaikan ibadah, maka berilah ia waktu. Kalau kita hidup damai dalam keberagaman, pasti kan bahagia.
Oleh sebab itu, Bhikkhu Atthadhiro berpesan pada kita semua untuk menjadi bangsa yang luhur dengan menumbuhkan cinta kasih untuk saling peduli dan gotong royong untuk menjadi bangsa yang besar. Bangsa menjadi besar bukan hanya karena pemimpinnya, tapi karena setiap lapisan masyarakatnya bersatu untuk terus maju menjadi bangsa teladan.
Di penghujung acara, Bhikkhu Atthadhiro menyimpulkan bahwa cinta kasih bisa mengkondisikan bangsa kita untuk kembali memiliki keluhuran seperti perilaku gotong-royong, ramah, sopan. Namun, sekarang kita malah semakin individualis, terbukti dari maraknya korupsi (waktu, materi, dan tenaga) dan juga provokasi. Ini semua karena karena cinta kasih tidak dikembangkan. Untuk mengatasinya, kita bisa memulai melatih cinta kasih dari diri sendiri, yaitu dengan menjadi orang yang suka berdana dan mempraktikkan lima sila. Apabila cinta kasih sudah tumbuh dalam diri, maka kita bisa menyebarkan cinta kasih untuk semua orang sehingga menjadikan bangsa ini semakin besar. Bangsa yang besar bisa bangkit karena dimulai dari individu-individunya yang memiliki cinta kasih untuk menyatukan keluhuran bangsa.