Orang-orang di seluruh dunia bertahan menghadapi wabah COVID-19 dengan berbagai cara. Salah satu hal yang paling banyak dilakukan adalah menuangkan pikiran di media sosial. Pikiran ini tertuang tidak hanya dalam bentuk tulisan, tapi juga dengan cara-cara kreatif seperti parodi lagu, ilustrasi, sampai meme-meme lucu. Isinya beragam, mulai dari curhatan ketakutan, protes ke pemerintah, sampai yang bernada positif dan mengajak orang untuk melihat sisi baik dari permasalahan ini.
Salah satu jenis ‘pemikiran’ yang lumayan sering saya lihat di medsos adalah sindiran terhadap agama. Salah satu contohnya adalah ilustrasi berikut:
Ilustrasi ini hanyalah salah satu dari sekian banyak cuapan yang mengatakan bahwa di saat wabah, agama tidak ada gunanya, sains adalah satu-satunya harapan untuk menemukan obat yang bisa mengakhiri pandemi COVID-19. Bahkan ada yang menyindir lebih jauh lagi dengan mengatakan bahwa sekarang semua menumpukan harapan pada ilmuwan, tapi setelah wabah berakhir semua ‘penghargaan’ hanya akan dihaturkan kepada ‘Tuhan’.
Sebagai seorang (yang mengaku) Buddhis, saya agak bingung. Kok rasanya ada yang salah, ya?
Siapa bilang agama dan sains bertentangan?
Saya tidak bisa bicara soal agama lain, tapi Buddha tidak pernah sekali pun mengatakan bahwa berdoa di mulut saja cukup dan bisa menyelesaikan semua permasalahan. Buddha mengajarkan karma dan kesalingbergantungan, bahwa terjadinya sesuatu bergantung pada banyak sekali faktor, mulai dari yang kasar sampai yang subtil. Jika kita ingat poin ini, bahkan dengan pemahaman paling kasar sekali pun, kita seharusnya bisa melihat bahwa usaha para ilmuwan dan doa banyak orang sama-sama merupakan bagian penting dalam mengakhiri wabah.
Wabah penyakit yang melanda seluruh dunia adalah buah dari karma buruk kolektif orang banyak. Sebaliknya, berakhirnya wabah tentu merupakan buah dari karma baik orang banyak pula. Dengan memahami Buddhadharma, kita dapat menghindari karma buruk kolektif yang dapat menjadi penyebab wabah dan mengumpulkan sebab-sebab bajik yang mendatangkan kebahagiaan di kehidupan ini maupun kehidupan mendatang. Pencegahan dan pengobatan yang didapat dari penerapan sains adalah penanganan wabah dari sisi eksternal, tapi penanganan ini efektif atau tidak tetap bergantung pada perlindungan internal, yaitu praktik Dharma kita.
Baca penjelasan tentang cara kerja hukum karma di sini.
Pemuka agama juga berperan penting.
Kembali ke ilustrasi sindiran di awal tulisan ini, mana mungkin kita mengharapkan pemuka agama untuk alih profesi menjadi peneliti virus atau pembuat vaksin? Kecuali mereka memang sarjana ilmu kedokteran atau mikrobiologi, itu lain cerita.
Selain kesehatan fisik, ada satu hal yang amat penting dan tidak boleh diabaikan dalam masa pandemi COVID-19 ini, yaitu kesehatan mental. Jutaan manusia di seluruh dunia, baik yang terkena penyakit maupun tidak, pasti terdampak secara mental oleh wabah ini. Kepanikan dan kekhawatiran secara alami muncul seiring dengan semakin mendesaknya tuntutan untuk mengubah pola hidup. Okelah, karantina wilayah mungkin bisa membatasi penyebaran virus, tapi berapa banyak orang yang jadi stres gara-gara kesulitan beradaptasi? Di beberapa negara yang menerapkan karantina, terjadi peningkatan kasus kekerasan dalam rumah tangga. Di belahan dunia lain, banyak juga yang mengabaikan instruksi untuk tinggal di rumah karena tidak tahan dikarantina. Parahnya lagi, tidak sedikit berita tenaga medis dan orang dalam pengawasan (ODP) yang dipersekusi karena masyarakat ketakutan dan tidak bijak dalam menyikapi wabah. Belum lagi panic buying menyebabkan kelangkaan barang pokok sehingga banyak yang tercekik di masa pandemi ini. Ini semua tentu tidak membantu terhadap usaha penanganan pandemi, bahkan bisa memperparah. Ketika ilmuwan akhirnya berhasil menemukan vaksin untuk virus corona, mungkin hampir seluruh umat manusia sudah musnah gara-gara kerentanan batin yang berdampak pada kegagalan pengendalian penyebaran penyakit.
Lantas, apa yang bisa ‘menjaga’ kesehatan batin orang-orang di masa pandemi ini? Jelas Dharma adalah jawabannya. Dharma mengajarkan kita cara mengelola batin dan menyikapi situasi sulit, bahkan menggunakan situasi itu untuk membuat batin kita makin berkembang sehingga bisa ‘menampung’ makhluk lain dan tidak hanya memikirkan diri sendiri. Di sinilah peran penting guru-guru Dharma yang menyemangati kita semua untuk terus melatih batin dan melakukan kebajikan. Para guru Dharma juga tentunya tidak berpangku tangan selagi para ilmuwan berjuang lalu mengabaikan jasa mereka setelah obat ditemukan seperti yang disindir orang-orang di internet. Bahkan sekarang pun para guru terus bekerja untuk ‘menjaga’ batin orang banyak sambil memberikan penghargaan kepada semua pihak yang berjasa dalam menghadapi pandemi sesuai dengan peran mereka masing-masing!
“Dari posisi saya yang seadanya, saya ingin berpartisipasi dalam usaha ini. Usia saya, 88 tahun, mencegah saya untuk berperan aktif dan melakukan tindakan konkret seperti yang saya inginkan. Namun, sebagai seorang Lama, sebagai seorang praktisi Buddhis, saya berdoa dengan intens agar penyebaran virus corona segera berhenti secepat mungkin di seluruh dunia…”
Y. M. Guru Dagpo Rinpoche, 8 April 2020
Guru Dagpo Rinpoche adalah salah satu guru Dharma yang aktif memberikan pesan dukungan di masa wabah COVID-19. Dalam pesan terbaru Beliau, Rinpoche berterima kasih ke semua pihak, mulai dari tenaga medis, perawat, petugas kebersihan, seniman, sampai warga negara biasa yang sudah berperan dengan menaati aturan lockdown demi melawan COVID-19. Di usia 88 tahun, Rinpoche memang tidak bisa memberikan bantuan secara fisik. Namun, sebagai seorang Lama yang berpengaruh di Prancis dan di seluruh dunia, Beliau membimbing kita agar bisa menghadapi wabah dengan sikap batin yang tepat sesuai dengan Dharma sekaligus menyemangati kita semua untuk tidak menyerah dan memancarkan welas asih di setiap kesempatan.
Yang Maha Suci Dalai Lama XIV juga merupakan salah satu pemuka agama yang berperan aktif di masa pandemi ini. Dalam salah satu pesan terbuka Beliau. Y. M. S. Dalai Lama mendorong semua pihak untuk memberi bantuan pada orang-orang yang kehilangan mata pencaharian karena wabah COVID-19. Mungkin banyak sekali warganet yang menyerukan hal serupa di medsos mereka, tapi dorongan ini tentu punya kekuatan berbeda jika dikeluarkan dalam bentuk surat terbuka dari salah satu tokoh Buddhis paling berpengaruh sekaligus pemenang nobel perdamaian yang dihormati oleh pemimpin-pemimpin dunia.
Jadi, peran dokter, tenaga medis, dan ilmuwan memang penting untuk melindungi tubuh kita dari COVID-19. Namun, di saat yang sama, Buddhadharma dan tokoh-tokoh agama juga memiliki peran yang amat penting dalam menjaga kesehatan mental orang banyak yang amat rentan selama para ilmuwan dan pihak-pihak lain yang memiliki kemampuan khusus berjuang mencari cara mengatasi pandemi ini. Tanpa Dharma dan guru-guru Dharma yang membimbing kita untuk menjaga batin kita selama pandemi berlangsung, usaha para ilmuwan tentunya akan sia-sia karena kemanusiaan keburu tumbang karena rasa takut, cemas, dan sikap mementingkan diri sendiri membuat kita saling menghancurkan satu sama lain.
Wahai kaum rebahan, jangan gabut!
Ilmuwan punya peran, pemuka agama punya peran, lalu bagaimana dengan kita? Kita tidak punya kemampuan untuk meneliti virus atau merawat orang sakit. Kita juga mungkin tak punya cukup kebijaksanaan ataupun kharisma untuk menolong orang lain secara mental. Kita punya uang seadanya, sudah kita danakan untuk pengadaan APD bagi tenaga medis dan bantuan sembako untuk pekerja sektor informal. Sekarang tinggal rebahan di rumah biar nggak kena virus atau menyebarkan virus ke orang lain. Santai-santai aja pun ternyata kita udah berjasa untuk menangani pandemi COVID-19! Asal nggak keluar rumah, kita bebas melakukan apa saja!
Eits… Nggak gitu, lho, Bambank…
Rebahan di rumah saja nggak cukup untuk mengatasi wabah COVID-19. Ingat hukum karma, setiap tindakan pasti ada akibatnya. Segala hal yang kita lakukan selagi rebahan di rumah juga akan berdampak pada perkembangan pandemi! Kalau kita mainan medsos sepanjang hari, marah-marah di status, menyebarkan berita-berita yang nggak jelas kebenarannya, mengutuk orang-orang yang kita anggap ‘kurang baik’ seperti pemerintah yang kurang gercep atau orang kaya yang pake APD buat ke supermarket justru menambah sebab terjadinya wabah. Semakin banyak orang yang nggak menjaga batin dari emosi negatif, semakin banyak pula sebab-sebab karma buruk kolektif yang akan membuat perjuangan para pahlawan COVID-19 yang melakukan aksi nyata jadi sia-sia!
Selagi di rumah, kita masih bisa melakukan menciptakan sebab-sebab berakhirnya wabah sesuai dengan hukum karma, yaitu mengumpulkan kebajikan. Dengan memperkaya batin dengan membaca buku-buku Dharma, menerapkan hidup berkesadaran dengan menganalisis setiap emosi yang muncul, menerapkan penawar terhadap emosi negatif, dan melakukan berbagai kebajikan seperti bermeditasi, membaca sutra-sutra, melafalkan mantra, atau membuat persembahan dan mendedikasikannya untuk berakhirnya pandemi dan kebahagiaan semua makhluk, kita secara aktif menciptakan sebab-sebab terhentinya wabah virus corona dan mendukung usaha berbagai pihak untuk menemukan vaksin dan obat. Kita juga bisa memberikan bantuan untuk usaha-usaha yang bertujuan untuk menjaga batin orang banyak di masa pandemi lewat tenaga maupun materi. Ilmuwan, tenaga medis, pegawai pemerintah, petugas kebersihan, driver ojek, dan begitu banyak orang lain bekerja mati-matian di luar sana, masa kita tega biarin mereka berjuang sendiri dan gabut di rumah?
Sama halnya dengan Buddha tidak bisa mencuci dosa-dosa kita dengan air, tapi mengajarkan Dharma agar kita bisa menolong diri kita sendiri, Guru Dagpo Rinpoche dan tokoh-tokoh agama lainnya sudah memberikan bimbingan. Kita sendirilah yang bisa menentukan apakah kita mau dibimbing dan menjalankan anjuran mereka untuk menjaga batin, mengembangkan welas asih, dan terus berdoa dan melakukan kebajikan di rumah atau mau santai-santai sambil saling sindir di media sosial.