Oleh: Ven.Thubten Chodron (18 Juni 2011)
Saat pertama kali seseorang memulai praktik Dharma, seringkali mereka bertanya: “Menurut Buddhisme, kemelekatan adalah sikap yang mengganggu. Jika saya mengurangi kemelekatan saya, apa yang akan terjadi pada ambisi saya? Apakah saya akan menjadi lesu dan menjadi kurang termotivasi untuk melakukan apapun? Apa yang akan terjadi pada karir saya?” Demikian pula, mereka akan bertanya: “Apakah ambisi diperlukan saat kita mengerjakan acara terkait Dharma dan melakukan kerja relawan di pusat Dharma? Bagaimana kita memastikan positifnya usaha kita?”
Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang sangat bagus, dan untuk menjawabnya kita harus membedakan antara ambisi yang konstruktif dan destruktif. Ambisi, sama seperti hasrat, memiliki dua aspek, bergantung pada motivasi dan objek yang dituju.
Ambisi negatif mengejar kesuksesan dan kenikmatan duniawi dengan motivasi yang egois. Ambisi positif mencari tujuan yang bermanfaat melalui salah satu dari tiga tingkat motivasi Dharma: untuk memiliki kelahiran yang baik di masa mendatang, untuk terbebas dari penderitaan karena kelahiran berulang-ulang, dan untuk mencapai pencerahan sempurna demi membantu semua makhluk dengan cara yang paling efektif.
Ketika membicarakan halangan pertama pada praktik Dharma sejati – kemelekatan pada kebahagiaan saat ini saja – Buddha berbicara mengenai hasrat atau ambisi untuk memiliki harta, uang, ketenaran, pujian, penerimaan oleh pihak lain dan kenikmatan indrawi seperti makanan, musik dan hubungan seksual. Karena hasrat kita begitu kuat untuk mendapatkan kenikmatan yang kita pikir akan diberikan hal-hal tersebut, kita sering menyakiti, memanipulasi, atau menipu orang lain agar kita dapat mendapatkan kenikmatan tersebut. Bahkan, meskipun kita berusaha mendapatkan hal-hal tersebut tanpa menyakti makhluk lain secara langsung, batin kita masih terkunci pada kondisi jangka pendek: mencari kebahagiaan dari orang lain dan objek eksternal yang tidak dapat memberikan kita kebahagiaan sejati. Oleh karenanya, waktu yang seharusnya kita gunakan untuk mengembangkan cinta kasih, welas asih, dan kebijaksanaan malah dialihkan untuk mencari sesuatu yang tidak dapat memuaskan kita pada jangka panjang. Untuk mendapatkan kebahagiaan sejati, kita harus mengurangi ambisi tersebut terlebih dahulu, melihatnya sebagai kerugian – karena ia menciptakan masalah dalam hubungan kita dengan orang lain dan menanam jejak karma negatif pada arus batin kita – dan kedua, menyadari bahwa hal-hal yang dikejar oleh ambisi duniawi tidak dapat menghasilkan kebahagiaan jangka panjang. Kita tahu bahwa ada banyak sekali orang kaya dan terkenal yang hidupnya diliputi kesedihan dan menderita karena masalah emosional dan alkoholisme.
Seiring dengan upaya kita mengurangi ambisi duniawi, akan muncul ruang di batin kita untuk bertindak dengan welas asih dan kebijaksanaan. Hal ini adalah ambisi positif. Welas asih – aspirasi agar semua makhluk terbebas dari penderitaan – dapat menjadi motivator yang kuat pada setiap tindakan. Welas asih dapat menggantikan amarah yang selama ini memotivasi kita saat kita melihat ketidakadilan sosial, dan menginspirasi kita untuk bertindak menolong orang lain. Selain itu, ambisi konstruktif yang dijiwai dengan kebijaksanaan mampu menilai secara cermat akibat jangka panjang dan pendek dari tindakan kita. Secara ringkas, melalui latihan yang konsisten, kekuatan dari ambisi egois kita untuk kenikmatan duniawi akan berubah menjadi kekuatan untuk mempraktikkan Dharma dan bermanfaat bagi makhluk lain.
Sebagai contoh, andaikan ada seseorang bernama Sam yang sangat melekat pada reputasinya. Dia ingin orang-orang berpikir baik tentang dia dan berbicara baik mengenai dia, tidak karena dia memang peduli pada mereka, namun karena dia ingin mereka memberikan dia sesuatu, untuk melakukan sesuatu bagi dirinya, dan untuk memperkenalkan dia pada orang-orang terkenal dan berkuasa. Dengan motivasi ini, dia berbohong, menutupi kekurangannya, berpura-pura memiliki kelebihan yang tidak dia miliki, atau memiliki interaksi yang sesungguhnya palsu. Atau, dia bahkan dapat melakukan sesuatu yang tampak baik, seperti berbicara baik mengenai seseorang, namun tujuan sebenarnya adalah untuk memenuhi keinginan egoisnya saja.
Jika dia berhenti dan merenungkan, “Apa hasil dari sikap dan tindakan tersebut? Apakah mencapai apa yang dituju ambisiku benar-benar membawa kebahagiaan bagiku?” Sam akan menyadari bahwa sebenarnya dia menciptakan lebih banyak masalah bagi dirinya dan orang lain melalui penipuan dan manipulasi yang ia lakukan. Meskipun pada awalnya dia dapat membodohi orang-orang, pada akhirnya dia akan gagal dan mereka akan menemukan motif dasar dari semua tindakannya, dan kehilangan kepercayaan padanya. Kalaupun dia berhasil mendapatkan apa yang ia inginkan dan awalnya menikmatinya, hal tersebut tidak akan benar-benar memuaskannya dan malah akan memberikannya masalah baru. Selain itu, dia juga menciptakan karma negatif yang menjadi sebab dari masalah di masa depan. Dengan merenung seperti ini, ambisi duniawi yang ia miliki akan berkurang dan akan ada tempat untuk berpikir secara jernih. Dengan merenungkan kesalingbergantungan yang ia miliki dengan semua makhluk, Sam akan mengerti bahwa kebahagiaannya dan orang lain tidaklah terpisahkan. Bagaimana mungkin dia berbahagia jika orang-orang di sekitarnya menderita? Bagaimana mungkin dia memerhatikan kebahagiaan orang lain jika dia mengabaikan kebahagiaannya sendiri? Setelahnya, dia akan dapat terlibat dalam berbagai kegiatan dengan motivasi yang lebih baru dan realistis, serta memerhatikan dirinya sendiri dan orang lain.
Seiring upaya kita meninggalkan ambisi duniawi, kita dapat mengerjakan tugas dan karir kita menggunakan motivasi baru. Dengan ambisi duniawi, kita melekat pada gaji dan semua yang kita ingin beli melalui gaji itu, serta selalu mencemaskan reputasi kita di tempat kerja dan bagaimana mendapatkan promosi yang kita inginkan. Saat kita menyadari bahwa perolehan hal-hal tersebut takkan membuat kita berbahagia selamanya ataupun memberikan makna bagi hidup kita, maka kita dapat merasa rileks. Perasaan ini bukanlah sebuah kemalasan, karena saat ini terdapat ruang dalam batin kita untuk sikap yang lebih altruistik dan tujuan jangka panjang yang memotivasi kerja kita. Sebagai contoh, setiap pagi sebelum berangkat kerja, kita dapat berpikir, “Saya ingin menawarkan pelayanan pada klien dan kolega saya. Tujuan saya bekerja adalah untuk memberikan manfaat bagi mereka dan memperlakukan mereka dengan kebaikan dan hormat.” Bayangkan bagaimana lingkungan kerja kita akan berubah jika ada satu orang saja – kita – yang bertindak dengan niat tersebut! Kita dapat juga berpikir, “Apa pun hal yang terjadi hari ini – bahkan saat saya mendapatkan kritik atau sedang stres – Saya akan menggunakannya untuk mempelajari batin saya dan mempraktikkan Dharma.” Kemudian, jika hal yang tidak menyenangkan terjadi pada saat kerja, kita dapat memerhatikan batin kita dan mencoba memberikan penawar Dharma pada emosi negatif seperti amarah. Jika kita tidak berhasil mendamaikan batin kita saat hal itu terjadi, kita dapat mengevaluasi apa yang telah terjadi dan menerapkan penawar Dharma ketika tiba di rumah, yakni dengan melakukan meditasi untuk melatih kesabaran. Dengan cara ini, kita dapat merasakan bahwa melepas ambisi duniawi akan membuat kita lebih baik, lebih rileks, sehingga kita pun menjadi lebih efisien dalam pekerjaan kita. Dan yang menarik, hal-hal tersebut adalah kualitas yang akan membawa kita pada reputasi yang lebih baik, dan bahkan promosi, meskipun kita tidak menginginkannya secara langsung!
Terkadang, jika kita tidak berhati-hati, ambisi duniawi kita seringkali bercampur dengan kegiatan Dharma. Sebagai contoh, kita dapat tergoda untuk menjadi seseorang yang penting di mata guru spiritual kita, dan menjadi cemburu atau bahkan bersaing dengan sesama murid untuk mendapatkan perhatian guru kita. Bisa saja kita ingin menjadi seseorang yang berpengaruh di pusat studi Dharma, sehingga semua hal yang berlangsung berjalan sesuai dengan ide kita dan kita pun mendapatkan kredit atas segala sesuatu yang dicapai. Kita bisa saja ingin memiliki banyak rupang Buddha, buku Dharma, dan potret guru spiritual kita yang indah dan mahal sehingga kita bisa memamerkannya pada teman-teman Buddhis kita. Kita dapat juga ingin memiliki reputasi sebagai meditator yang baik atau seseorang yang telah mendapatkan banyak inisiasi dan menyelesaikan beberapa retret.
Dalam kasus ini, meskipun objek-objek dan orang-orang di sekitar kita terkait dengan Buddhisme, motivasi kita tidaklah berlandaskan Buddhisme. Apa yang terjadi adalah ambisi duniawi yang sama, hanya saja menjadi lebih mematikan karena semua itu justru berfokus pada objek Dharma. Sangatlah mudah untuk terperangkap pada jebakan ini. Kita berpikir bahwa dengan bekerja di kelompok dharma, pergi ke sesi pengajaran, atau memiliki objek Buddhis, kita telah mempraktikkan Dharma. Hal ini tidaklah sesederhana itu. Motivasi untuk mendapatkan reputasi, kepemilikan dan berbagai hal untuk mendapatkan kebahagiaan saat ini akan mengotori tindakan kita. Kita harus berulang kali memerhatikan motivasi kita sehingga kita dapat membedakan apakah motivasi kita termasuk ke dalam kategori duniawi atau Dharma. Seringkali, kita mendapatkan motivasi yang bercampur: kita memang memedulikan Dharma dan ingin melayani orang lain, namun kita juga ingin usaha kita dinilai, dihargai, dan mendapatkan pengakuan atau remunerasi sebagai imbalannya. Adalah hal yang normal jika motivasi kita tercampur seperti ini, karena kita memang belum mencapai pencerahan. Jika kita menyadari bahwa motivasi kita telah tercampur atau ternoda oleh keinginan duniawi, maka kita perlu merenungkan kerugiannya sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dan segera mengembangkan salah satu dari tiga motivasi Dharma.
Tujuan praktik kita bukanlah untuk terlihat berpraktik Dharma, tetapi untuk mempraktikkannya secara nyata. Mempraktikkan Dharma berarti melakukan transformasi batin kita. Hal ini terjadi dalam batin kita. Patung, buku, pusat studi Dharma, dan semua yang terkait adalah hal-ihwal yang menolong kita dalam mewujudkan ini. Semua itu adalah alat yang menolong kita untuk membuat tujuan kita menjadi nyata; mereka bukanlah praktik itu sendiri. Oleh karenanya, untuk berkembang di sepanjang jalan ini, kita harus selalu menyadari batin dan perasaan internal kita dan memeriksa apakah mereka mencari ambisi dan hasrat duniawi yang bersifat egois dan sempit. Jika ternyata memang demikian, kita dapat mengubah mereka menjadi ambisi dan hasrat positif untuk tujuan yang lebih mulia, seperti kebahagiaan orang lain, pembebasan dari kelahiran kembali, dan pencerahan sempurna seorang Buddha. Dengan terus-menerus melakukan hal ini, manfaat yang diraih oleh diri kita dan orang lain niscaya akan semakin nyata.
(Sumber: thubtenchodron.org | diterjemahkan oleh Andri Kurnia)