Dibangun pada kisaran abad 8-9 Masehi oleh Wangsa Syailendra, dengan waktu penyelesaian diperkirakan memakan waktu 75 tahun, kemudian mulai ditinggalkan pada sekitar abad 14-15 Masehi karena satu dan lain hal, Candi Borobudur terkubur oleh waktu selama lebih kurang 4 abad sebelum akhirnya ditemukan kembali pada 1814 oleh Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles dan Hermann Cornelius. Kemudian, pada periode 1907-1911, seorang insinyur Belanda bernama Theodore Van Erp memimpin proses pemugaran Candi Borobudur. Ketika itu, Van Erp menemukan kepingan-kepingan batu yang kemudian direkonstruksi Beliau menjadi sebuah chattra atau payung bertingkat tiga yang diduga oleh Beliau dahulunya pernah terpasang megah di puncak stupa utama Borobudur. Beliau sempat memberanikan diri untuk memasang chattra tersebut. Namun, kemudian Beliau didesak untuk melepasnya kembali karena dianggap tidak memenuhi kriteria-kriteria rekonstruksi arkeologi berupa persentase kombinasi antara batu asli dengan batu yang baru.
Sejak itu, dimulailah polemik pemasangan chattra di Candi Borobudur. Sebagai akibatnya, chattra hasil rekonstruksi Van Erp pun harus bersabar untuk digeletakkan di dalam museum menunggu ketegasan hati para manusia.
Namun, pusaran polemik tersebut selalu berputar di perihal disiplin arkeologi saja tanpa mempertimbangkan sebuah aspek yang sebenarnya tidak kalah pentingnya dalam memugar sebuah situs peninggalan keagamaan. Apakah itu? Yakni, disiplin ilmu dari keagamaan itu sendiri, yang mana filosofi agama tersebutlah yang sebenarnya justru menjadi pondasi dibangunnya situs tersebut pada awalnya.
Mari kita coba menelaah polemik chattra ini dari kacamata yang berbeda kali ini, yakni dari kacamata Buddhisme, yang selama ini hampir tidak pernah dilakukan. Chattra atau payung memiliki catatan sejarah dan dasar filosofi yang sangat mendalam di dalam Buddhisme. Pertama, kita bisa membuka Mucalindasuttam dari Udana II.1 yang menceritakan bahwa pada ketika Buddha baru saja mencapai Pencerahan Sempurna dan belum bergeming dari tempat duduknya di bawah pohon Bodhi, Raja Naga Mucalinda pernah datang dan melingkari tubuh Sang Buddha sebanyak tujuh kali menggunakan ekornya, lalu menegakkan badannya sembari mengembangkan kepalanya di atas Buddha dan memayungi Buddha dari cuaca panas maupun dingin, dari serangga, dari teriknya matahari, dan dari binatang-binatang buas lainnya. Kisah ini bisa dilihat sebagai salah satu cerita paling awal dalam kanon Buddha tentang peran payung sebagai sebuah pelindung.
Lalitawistara Sutra adalah sebuah Sutra Mahayana yang sangat populer yang bahkan diukir ke dalam 120 keping relief di badan Candi Borobudur. Sutra ini diajarkan oleh Buddha di Sravasti, Jetavana, Anathapindada, di hadapan sejumlah 12 ribu biksu, berikut 32 ribu Bodhisatwa dan para dewa tingkat tinggi. Di dalam Sutra ini, Buddha menceritakan kembali riwayat hayat Beliau mulai dari sebelum Beliau masuk ke dalam rahim sang Ibunda, Ratu Mahamaya, hingga Beliau mencapai Pencerahan Sempurna dan memutar Roda Dharma untuk pertama kalinya. Di dalam Sutra ini, dapat ditemukan puluhan kali penggunaan kata payung (bahasa inggris: parasol) oleh Buddha. Berikut adalah beberapa di antaranya:
- Sebelum turun ke dunia untuk lahir sebagai Pangeran Siddharta, Sang Bodhisatwa berdiam di sebuah istana surgawi yang dihiasi penuh oleh payung-payung indah, panji-panji dan perhiasan lainnya;
- Sesaat sebelum Pangeran Siddharta lahir, sang Ayahanda, Raja Suddhodhana memerintah pasukannya untuk membuat persiapan menyambut kelahiran sang Pangeran dengan menghiasi istananya menggunakan payung-payung surgawi, panji-panji dan deretan pohon palem;
- Ketika Pangeran Siddharta lahir, 10 ribu dewi-dewi surgawi memegang payung dan panji-panji pun hadir menyambutnya; Kemudian sebuah payung besar yang terbuat dari permata berharga dan kipas ekor yak muncul di tengah-tengah angkasa dan 10 ribu dewa-dewa lain juga melayang di angkasa memegang payung-payung putih besar untuk menyambut kelahiran beliau;
- Dalam sebuah kesempatan, Pangeran Siddharta juga pernah memproklamirkan sebagai berikut, “Lihatlah diriku sebagai seorang pemegang payung di tiga dunia,” dan benar-benar kemudian sebuah payung besar muncul dari dalam bumi dan memayungi tiga dunia, menghilangkan penderitaan semua makhluk;
- Ketika Pangeran Siddharta hendak meninggalkan istana pun, Sakra, pemimpin para dewa, hadir bersama dengan pasukan dewanya yang memegang berbagai payung indah, bunga-bunga, panji kemenangan, dan perhiasan lainnya, untuk menyaksikan peristiwa penting tersebut;
- Di penghujung Sutra, Sang Buddha bahkan merangkumkan kualitas-kualitas seorang Buddha kepada Bodhisatwa Maitreya dan salah satu analogi yang digunakan Beliau adalah bahwa, “Buddha memiliki kualitas layaknya seorang anggota keluarga kerajaan karena Buddha adalah sang pembawa payung permata.”
Mari kemudian kita beralih ke Gandawyuha Sutra yang diukir ke dalam 332 keping relief di badan Candi Borobudur. Secara garis besar, Sutra ini menceritakan kisah seorang pemuda bernama Sudhana yang berkelana demi belajar kepada lebih dari 50 orang guru untuk mengejar pencapaian Pencerahan Sempurna. Uniknya adalah, sang Sudhana sering atau bahkan hampir selalu digambarkan sebagai seorang pemuda yang selalu memiliki sebuah payung yang melindunginya. Oleh karena itu, bisa dibayangkan seberapa sering kata payung muncul dalam Sutra ini dan seberapa sering pula payung muncul dalam relief-relief Gandawyuha di Candi Borobudur.
Bagaimana pula dengan kisah-kisah Jataka dan Awadana yang menempati 720 keping relief di Candi Borobudur? Penggunaan simbol payung dapat ditemukan bertebaran di relief-relief ini. Seringkali di sini dapat kita temukan relief yang menggambarkan para brahmin yang dilindungi oleh payung di atas kepalanya. Kemudian, Kalpawriksha atau pohon pengabul harapan juga adalah salah satu simbol yang paling populer yang bisa ditemukan di sini dan di dalam salah satu relief Sang pohon juga digambarkan dilindungi oleh sebuah payung.
Bahkan lebih jauh lagi, di dalam Karmawibhangga Sutra yang menghiasi 160 keping relief di kaki Candi Borobudur, diajarkan bahwa salah satu cara menghimpun kebajikan yang luar biasa adalah dengan mempersembahkan payung kepada objek-objek suci. Dikatakan bahwa karma mempersembahkan payung seperti ini akan membawa hasil antara lain berupa: terlahir sebagai orang yang berwibawa, berlimpah kekayaan, bisa terus bersama-sama dengan para Buddha dan Bodhisatwa, serta bahkan hingga bisa membawa pada pencapaian pembebasan.
Dengan demikian, pemaknaan chattra atau payung dalam filosofi Buddhisme dapat dirangkum menjadi tiga, yakni: sebuah sebuah objek persembahan surgawi, sebagai sebagai pelindung dan juga sebagai penanda anggota keluarga kerajaan.
Lebih jauh lagi, dalam tradisi Vajrayana, mempersembahkan mandala adalah sebuah praktik mendasar. Mandala dimaknakan sebagai alam semesta dan kita diajarkan untuk melatih dana paramita dengan cara mempersembahkan segala sesuatu (yang dilambangkan sebagai alam semesta) kepada Ladang Kebajikan, yakni Triratna. Dalam praktik persembahan mandala ini, salah satu objek yang dihiaskan ke dalam mandala sebelum dipersembahkan adalah sebuah payung berharga (bahasa Inggris: precious parasol) yang ditemani oleh sebuah panji kemenangan (bahasa Inggris: victory banner). Praktik ini dilakukan setiap hari bahkan hingga detik ini oleh para praktisi Vajrayana.
Baca juga: Borobudur Itu Apa Sih?
Masih pula dalam tradisi Vajrayana, kita juga mengenal banyak sekali istadewata-istadewata yang membawa payung sebagai salah satu ornamen kebesarannya. Beberapa di antaranya adalah Sitatapatra, Sang Pembawa Payung Putih Yang Agung, ataupun Waisrawana, Pelindung Dharma di sebelah Utara, yang membawa payung sebagai simbol status kebesarannya. Selain itu, ada pula Ibunda Sri Dewi Palden Lhamo, Sang Pelindung Dharma yang menjaga silsilah Y.M.S. Dalai Lama dan juga bahkan pernah dipuja di bumi Nusantara ini di masa lampau. Beliau digambarkan memiliki sebuah payung yang terbuat dari bulu merak yang sangat indah yang melambangkan bawah Beliau berperan sebagai pelindung bagi para makhluk di tiga dunia.
Jadi, kesimpulan apa yang bisa ditarik? Pertama, adalah sebuah fakta bahwa batu-batu serpihan chattra telah ditemukan oleh Van Erp di dalam lokasi Candi Borobudur. Oleh karena itu, tidak mungkin bahwa di dalam Candi Borobudur tidak ada chattra, karena serpihan batu-batu tersebut pasti pada masa kejayaannya dulu pernah terpasang di suatu tempat di candi. Adalah sebuah fakta pula bahwa bagian puncak dari stupa utama Candi terindikasi memiliki sebuah struktur yang saat ini sudah tidak bisa teridentifikasi lagi. Kedua, dalam filosofi Buddhisme, chattra memang memiliki peran dan makna yang sangat mendalam sebagaimana bisa ditelusuri di relief-relief yang tersebar di seluruh badan Candi. Oleh karena itu, tanpa perlu mengerdilkan disiplin ilmu arkeologi, namun cukup dengan memberikan sedikit ruang interpretasi bagi disiplin ilmu Buddhisme, maka kita seyogyanya bisa mengambil sebuah keberanian untuk melerai polemik berkepanjangan seputar chattra Candi Borobudur dan merekonstruksi pemasangan chattra ini di puncak stupa utama Candi Borobudur. Dengan demikian, umat Buddha secara khususnya dan bangsa Indonesia secara umumnya, sebagai pemilik sah Candi Borobudur, pun akhirnya dapat menikmati sebuah rasa puas karena akhirnya Sang Candi berhasil mencapai status paripurna yang sempurna.
Penulis: Prawirawara Jayawardhana
Artikel ini pertama kali terbit di borobudurwriters.id