Rusuhnya bunyi knalpot di jalan raya adalah latar belakang di balik pembuatan film pendek “Bising (Chorus of the Wounded Birds)” yang memenangkan penghargaan dalam Kompetisi Nasional 2023 di Minikino Film Week 9th The National & International Awarding Event, di Bali (23/9). Film yang panjangnya hanya 12 menit ini ternyata berhasil membuat saya merenung cukup panjang.
Film “Bising” bercerita tentang sebuah bengkel yang “unik”. Kenapa unik? Karena selain bisa servis kendaraan, spoiler alert, bengkel ini juga menyediakan “jasa” melampiaskan emosi untuk pria-pria yang frustrasi.
“Tempat memperbaiki mesin dipakai untuk memperbaiki manusia,” tutur sutradara film Amar Haikal di pemutaran kompilasi film pendek bertajuk “Kompilasi Berpacu dalam Emosi”, bagian dari acara 2023: Revisited di Teater Sjuman, Jakarta, 22 November 2023 lalu.
Kebanyakan orang yang tinggal di kota-kota besar tentu pernah dibuat kesal oleh suara motor ngebut dengan bunyi knalpot yang sengaja dibuat bising. Tidak larut dalam kekesalan itu, Amar berpikir lebih lanjut: apa yang membuat orang membuat kebisingan seperti itu? Ia pun mencari tahu dengan mengobrol dengan orang-orang di berbagai bengkel hingga mendapatkan sebuah kesimpulan yang kemudian ia kembangkan menjadi film: mereka hanya butuh didengar.
“Laki-laki jarang memiliki emotional outlet,” terang Amar, “Tidak semua orang punya media bercerita. Lalu ke mana suara itu pergi?”
Amar kemudian menjelaskan betapa laki-laki krisis ruang aman untuk bercerita tentang emosi yang mereka alami. Semua itu tertahan hingga suatu saat itu bisa meledak. Seandainya laki-laki punya kesempatan untuk mengenali dan mengakui rasa sedih, rasa kecewa, rasa marah, dan berbagai emosi lain dalam kehidupan mereka sehari-hari, ledakan yang bersifat negatif tentu tidak akan terjadi. Bahkan, semua emosi itu bisa disalurkan dengan cara yang positif.
“Jika ingin didengar, jika harus seberisik ini agar sesama lelaki bisa saling mendengar, maka biarlah,” ujar Amar menutup penjelasannya.
Emosi Terpendam
Menonton film “Bising” membuat saya berpikir. Ketika kita sibuk beraktivitas dari hari ke hari, perasaan kita seringkali terabaikan. Coba sekarang kita berhenti sejenak, lalu tanya pada diri sendiri, emosi apa saja yang kita rasakan hari ini? Bagaimana kita bereaksi terhadapnya? Kemungkinan besar kita tidak ingat lagi. Saya sih tidak ingat.
Apalagi di zaman modern seperti ini, begitu punya waktu untuk diri sendiri, saya refleks akan buka HP, mengisi waktu dengan scrolling medsos atau melihat hal-hal lain yang membuat saya berhenti memikirkan apa yang saya alami.
Selain waktu dan distraksi, rasa-rasanya ada satu hal lagi yang menjauhkan kita dari perasaan kita sendiri.
“Perempuan harus lemah lembut.”
“Laki-laki harus tegas dan keras.”
“Pegawai baru harus penuh semangat.”
“Seorang pimpinan harus sabar.”
Berbagai macam tuntutan membuat kita tanpa sadar “menyangkal” emosi dan pikiran yang muncul. Seiring dengan bertambah banyaknya emosi yang dipendam ini, kita makin kesulitan mengendalikan diri. Kita jadi sensitif, mudah tersinggung atau marah ketika sesuatu berjalan tidak sesuai dengan keinginan kita. Reaksi kita mendahului akal sehat.
Curhat dengan teman bisa menjadi salah satu cara mengeluarkan emosi terpendam yang besar, tapi tidak selalu memberikan solusi. Salah-salah, rasa kesal, marah, atau sedih semakin bertambah ketika kita mengulang kejadian itu di pikiran kita untuk diceritakan kembali.
Secara khusus, laki-laki kondisinya lebih parah. Jangankan mengenali atau menceritakan apa yang mereka rasakan, toxic masculinity yang sudah terbentuk selama berabad-abad membuat banyak laki-laki merasa mereka tidak boleh merasakan emosi-emosi tertentu, apalagi mengekspresikannya.
Mungkin ini yang berusaha disampaikan oleh tim pembuat film “Bising”, bahwa penting sekali untuk mengakui dan mengeluarkan emosi-emosi terpendam agar kita bisa merasa lega. Namun, pertanyaannya, bagaimana caranya supaya kita bisa melakukan hal tersebut?
Emosi dan Karma
Segala hal yang kita alami adalah buah karma kita. Ketika pengalaman itu tidak menyenangkan, artinya karma buruk kita sedang berbuah. Ketika pengalaman itu menyenangkan, artinya karma baik kita sedang berbuah. Respon emosional kita terhadap pengalaman-pengalaman itu juga tentu sangat berkaitan dengan karma yang telah kita timbun sejak waktu tak bermula serta kondisi lain yang menyertainya. Inilah sebabnya setiap orang bisa punya preferensi dan trigger yang beragam. Misal: ada yang menderita ketika makan makanan pedas, tapi ada juga yang menjadi senang. Atau ada yang menjadi marah ketika ditegur, tapi ada juga yang senang.
Lebih lanjut, emosi yang terpicu ketika kita mengalami sesuatu akan membuat kita menghimpun karma baru. Mengeluh karena kesakitan adalah sebuah karma. Sekadar memikirkan betapa kita membenci atau menyukai sesuatu juga merupakan karma pikiran. Ketika kita tidak mengenali dan mengolah emosi yang muncul, akan ada begitu banyak karma-karma yang kita himpun tanpa kita sadari. Jika emosi tersebut muncul dari kebencian, kemelekatan, atau ketidaktahuan, minimal karma buruk pikiran akan muncul. Lalu, karena karma berlipat ganda dengan pesat, maka karma buruk itu juga terus berlipat ganda.
Mungkin inilah yang terjadi ketika seseorang meledak akibat terus-terusan memendam emosi. Rasa kesal, marah, kecewa berlipat ganda di dalam diri, membentuk karma yang terus berlipat ganda setidaknya di level pikiran. Karma buruk pikiran kita berlipat ganda, penderitaan kita pun berlipat ganda, akhirnya kita tak lagi mampu menahan penderitaan tersebut dan meledak dengan berbagai cara.
Satu-satunya cara untuk menghentikan hal tersebut adalah dengan mengenali si emosi, mengenali sebab dan pemicunya, dan mengakuinya, seperti para pemuda dalam film “Bising” yang menyadari kekecewaan atau kemarahan mereka, lalu datang ke bengkel untuk mengeluarkan segalanya.
Cara Buddhis Mengolah Emosi
Di dunia nyata, entah di mana kita bisa menemukan bengkel tempat melampiaskan emosi seperti di film “Bising”. Apalagi ketika emosi itu dikeluarkan dengan mengamuk dan mengumpat, bisa jadi amarah kita memuncak dan kita membuat karma buruk baru. Lantas, bagaimana sebaiknya kita mengola emosi kita?
Saya pernah mengikuti sebuah pelatihan tentang manajemen emosi. Di situ, saya “diuji” untuk menuliskan emosi apa saja yang saya kenali. Setelah itu, pelatih menunjukkan sebuah diagram berisi banyak sekali kata-kata. Itu semua adalah beragam emosi yang bisa dikenali manusia. Ketika dibandingkan dengan daftar yang saya tulis dari “ujian” sebelumnya, terlihat bahwa saya bahkan hanya tahu segelintir emosi dari begitu banyak varian yang ada. Tanpa pengetahuan tentang jenis-jenis emosi, bagaimana kita bisa mengakuinya, apalagi mengeluarkannya dengan positif?
Metode Buddhis untuk terlebih dahulu belajar, lalu merenungkan apa yang dipelajari, dan membiasakan batin alias memeditasikan hasilnya menjadi sangat relevan. Jika kita mempelajari berbagai jenis emosi dan cara menyikapinya, kita bisa mengambil waktu untuk merenung, mengingat kembali apa-apa saja yang pernah kita alami dan rasakan, lantas mencocokkannya dengan apa yang telah kita pelajari. Dengan mengenali itu semua, kita bisa tahu cara terbaik untuk mengekspresikannya. Lebih lanjut, ketika kita sudah terbiasa, kita bahkan bisa mengenali emosi-emosi itu saat mereka muncul.
Namun, sebelum itu, dari mana kita bisa belajar? Buddha yang telah memahami rahasia alam semesta sudah menjelaskan cara kerja batin, termasuk berbagai macam emosi, dalam topik batin dan faktor-faktor mental. Itu bisa menjadi titik awal bagi kita semua untuk mengolah emosi kita menjadi sesuatu yang lebih positif.
Baca juga: Review game “A Space for the Unbound”, contoh hasil olah emosi yang positif.
Misalnya, Buddha memaparkan bahwa kemarahan adalah salah satu faktor mental negatif (klesha akar). Kemarahan ini didefinisikan sebagai sebuah reaksi yang harus kita derita, yang disebabkan orang lain atau sebuah objek, atau kepedihan akibat penderitaan itu sendiri, atau oleh sebab-sebab penderitaan. Ketika direnungkan, inilah yang sangat sering saya rasakan ketika mendapat pekerjaan tambahan tiba-tiba–perasaan tidak menyenangkan yang membuat saya ingin mengumpat.
Dijelaskan pula bahwa kemarahan ini menghasilkan akibat buruk: lahir di alam rendah, menghancurkan kebajikan, dan mendorong kita untuk berpikir, berucap, dan bertindak dengan cara yang negatif. Jika dibiarkan, itu semua akan memperbanyak karma buruk saya, yang kemudian akan berbuah menjadi penderitaan yang lebih besar.
Cara mengatasinya adalah menerapkannya adalah hening sejenak, memberi jarak antara diri saya dan kejadian yang membuat saya marah, lalu menyadari bahwa pekerjaan tambahan itu adalah buah karma yang tidak bisa saya hindari. Namun, saya bisa melampauinya dengan mengerjakan pekerjaan tersebut, “menuntaskan” buah karma buruk saya sambil sebisa mungkin meminimalisasi karma buruk baru.
Mencari Waktu dan Ruang Aman
Seperti yang sudah disebutkan di awal, kita sebagai manusia modern kekurangan waktu untuk memproses hal-hal yang terjadi dalam diri kita. Kita perlu berupaya, benar-benar menyisihkan sedikit waktu untuk menggali isi hati kita, mengakuinya, menerimanya. Kita juga perlu bahan pembelajaran yang dapat diandalkan agar kita tahu cara menangani permasalahan tersebut.
Lebih lanjut, film “Bising” menunjukkan pentingnya memiliki ruang aman untuk berbagi, teman-teman senasib yang dapat saling berempati, membuat kita merasa tidak sendiri, tidak menghakimi, juga sosok pemandu yang bisa melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang tepat untuk kita renungkan, yang bisa kita andalkan ketika kita merasa putus asa.
Saya pribadi mendapatkan ini semua dalam penyunyian Dharma seperti Indonesia Lamrim Retreat. Ada Guru Dharma yang memberikan bahan belajar sekaligus melontarkan berbagai pertanyaan yang membantu saya untuk merenungkan kembali apa yang terjadi pada diri saya. Juga ada sahabat-sahabat Dharma yang menjalani aktivitas yang sama. Ketika retret berakhir, saya keluar dengan cara pandang baru yang memungkinkan saya untuk menjalani rutinitas sambil benar-benar merasakan dan mengolah segala emosi yang saya alami.
Di masa sekarang, tentu ada bermacam-macam kegiatan dan komunitas support group untuk emotional release meski aksesnya belum merata. Mengikuti komunitas baru dan kegiatan baru juga seringkali membutuhkan keberanian dari sisi kita. Saya rasa di sinilah konsep Sangha dalam artian “komunitas” berperan–sebuah komunitas yang sama-sama berkomitmen untuk mempelajari, merenungkan, dan memeditasikan Dharma untuk menjadi orang yang lebih baik tentu bisa menjadi ruang aman untuk berlatih mengelola emosi. Bersama dengan Buddha sebagai Guru dan Dharma sebagai jalan, ketiga perlindungan bisa menuntun kita untuk melepaskan emosi dengan cara yang positif.
Film pendek “Bising (Chorus of the Wounded Birds)” bisa ditonton sebagai bagian dari Jogja-NETPAC Asian Film Festival, 25 November–2 Desember 2023, di situs KlikFilm.
Referensi:
- “Citta & Cetasika: Mengenal Batin dari Kacamata Buddhis” karya Guru Dagpo Rinpoche & Drepung Thrisur Lobsang Tenpa Rinpoche
- “Pembebasan di Tangan Kita” Jilid III karya Phabongkha Rinpoche