Cerita fiksi belaka, ditulis untuk lomba cerita mini NDBF 5.0
Berdiri di hadapan sebuah pintu putih klasik dengan nomor 519, tiga perempuan muda menunggu dalam diam. Mereka baru saja pulang dari kebaktian hari Minggu dan datang bersama orangtua temannya untuk menjenguk teman mereka yang sudah sebulan ini absen dari vihara karena sakit. Beberapa saat kemudian, pintu tersebut terbuka dan menampakkan perawakan lelaki muda yang letih.
“Maaf ya kalian harus menunggu lama, kalian coba masuk dulu,” ucap Om Yusdi, ayah dari teman mereka.
Tiga sekawan itu buru-buru masuk dengan khawatir. Ruangan di dalam sangat bersih dan segar, luas berwarna serba putih. Tidak ada suara apapun selain pengharum ruangan dan isakan tangis.
“Hei Gege, ini kami, Shani, Tria, dan aku Felly. Kami kangen kamu!” seru Felly berusaha riang.
Tidak ada jawaban untuk waktu yang lama. Shani menggeleng, menginstruksikan mereka untuk pergi. Namun, ketika sudah mendekati pintu, sebuah suara lirih terdengar.
“Aku juga kangen.”
Mereka menoleh kaget. “Gege?! Apakah kita boleh mendekat?” seru Tria.
Gege menghela napas. “Tapi, aku jelek….”
Tiga sekawan itu mengerutkan alis, saling menatap satu sama lain.
“Jangan begitu, kami datang dulu ya?” ujar Shani lembut.
“Ya sudah, tapi aku sudah peringati ini menjijikan,” tutur Gege.
Ketika mereka menyibak tirai putih itu, tampaklah seorang perempuan cantik berambut hitam lurus yang berkilau. Wajahnya terlihat menghangat karena menangis dan sekujur kulitnya ditumbuhi ruam-ruam besar berwarna merah dengan sedikit putih di beberapa sisi, seperti mengering.
“Keren,” puji Felly.
“Apanya?” tanya Gege heran.
“Tampilan barumu,” lanjut Felly.
Gege tertawa kecil. “Dasar manusia aneh.”
“Kami sudah dengar dari Om Yusdi di mobil, tentang penyakitmu,” ujar Shani.
“Pso… psoarias?”
Felly memutar bola matanya. “Psoriasis, Tria. Sama Dermatitis.”
“Ya, ya, itu.”
Gege mengelus kulitnya malu. “Kalian enggak jijik?”
“Kenapa harus jijik? Sang Buddha yang agung saja merawat Bhikku Tissa yang terserang penyakit kulit berat yang bau. Masa kita sebagai umatnya tidak mau merawat orang sakit hanya karena jijik? Lagipula, kamu itu teman kami, Gege. Teman itu ada dalam segala situasi, senang dan susah,” sela Tria cepat.
“Tumben kamu bijak,” ledek Felly.
Tria mencubit Felly pelan. “Awas kamu ya, beraninya merusak momenku.”
“Ingat kata Buddha, ‘barang siapa merawat orang sakit dan menderita, berarti ia merawat-Ku!’” tambah Shani.
Gege tertawa melihat mereka. “Aku kangen sekali bercanda dan bermain bersama kalian. Sepertinya keterpurukanku membuatku lupa bahwa aku punya kalian dan Buddha, bahkan hidupku yang dibekali Dharma.”
“Penderitaan selalu ada dalam hidup kita, yang penting kita tidak menyerah. Semua yang berkondisi akan berlalu,” balas Shani tersenyum.
“Berlalu-lalang,” timpal Tria.
“Enggak gitu dong, Triana Devi,” tegur Felly membalas cubitan Tria tadi.
“Aduh, ampun!”
Gelak tawa mengisi ruangan kecil itu. Obrolan demi obrolan tercipta, mengalir dengan bebas di antara 4 kawan yang sudah lama tidak bersua.
“Aku enggak yakin bisa kembali seperti dulu. Sudah lama sekali sejak terakhir penyakit ini kambuh sewaktu aku kecil. Karena kecerobohan dan situasi yang tidak baik akhir-akhir ini, aku memperparah kondisi kesehatanku,” cerita Gege.
“Pelan-pelan kamu pasti bisa membaik. Gege sudah pernah melewatinya dulu, sekarang pasti bisa bahkan lebih baik dari sebelumnya,” hibur Shani.
“Memangnya aku bisa baik-baik saja walaupun tidak normal? Kata dokter aku harus mengendalikan stress, tapi aku tidak bisa berhenti menangis dan merenung terus,” tutur Gege sedih.
“Gege kamu enggak sendiri kok, selama ini aku juga berjuang untuk hidup dengan depresi yang aku alami sejak lama. Awalnya memang sulit dan aku seringkali merasa kalau aku tidak pantas bahagia karena aku sakit jiwa. Tapi ternyata, ketenangan jiwa bukan berarti tidak ada penyakit atau masalah, tapi bagaimana kita menghadapi itu semua,” cerita Tria.
“Wah, aku enggak menyangka. Kalau kamu enggak cerita aku enggak akan tahu, kamu benar-benar mengendalikan diri dengan sangat baik!” puji Gege takjub.
“Wajar kok Gege, maaf juga kamu harus tahu dengan kondisi seperti ini, dan kita juga belum lama ini ketemu, jadi aku belum sempat cerita. Soalnya kalau main sama kalian aku suka lupa waktu dan suasana!” seru Tria tertawa lepas.
“Gege pasti bisa! Yang penting niat Gege untuk membaik saja sudah cukup untuk memulai. Ayo dong, datang ke Vihara biar kita sama-sama latihan meditasi dan dengar Dharma bareng lagi!” seru Felly.
Shani mengangguk. “Kamu bisa belajar mengelola stress kamu dengan menenangkan pikiran, kalau enggak bisa berpikir positif, coba dengan berpikir netral. Kalau ada kegelisahan dan cemas, terima kehadiran dia, lalu coba alihkan pada hal-hal yang menenangkan kamu. Juga jangan berpikir kalau kamu sakit, kamu tidak akan baik-baik saja. Semua orang bisa dan pantas baik-baik saja juga bahagia dalam kondisi apapun.”
“Oh iya, bulan depan ada sharing tentang mental wellness tau, kamu kan tertarik banget dengan topik-topik psikologi begitu. Yakin enggak mau hadir?” tawar Felly.
Mata Gege seketika berbinar. “Yang betul? Aku mau dong! Tapi… kalau penampilanku masih begini, bagaimana?”
“Jangan khawatir, Gege sayang. Bagaimanapun kamu, tidak akan merubah fakta kalau kamu itu salah satu murid Sang Buddha yang keren banget!” celetuk Tante Shilla, Ibu Gege. Ia berjalan sambil membawa beberapa kantong plastik berisi jajanan.
Tria dan Felly berteriak riuh melihat makanan-makanan itu. Shani menggelengkan kepalanya, sedangkan Gege hanya tertawa melihat tingkah teman-temannya yang lucu itu.
Satu bulan cukup membuat keadaan Gege membaik. Walau begitu, bekas dari ruam-ruam di kulitnya masih tampak jelas. Namun, Gege ‘memakainya’ dengan berani sebagai tanda dari perjuangannya selama ini.
“Sehubungan dengan tema pembicaraan kita kali ini, ada yang mau berbagi cerita mungkin?” tanya Bhante pada umat-umat yang ada di ruangan itu.
Gege mengangkat tangannya tinggi dan berdiri menerima mikrofon dengan percaya diri. Ia menatap seisi ruangan itu, beberapa orang tampak berbisik dengan raut bertanya, ada yang tersenyum–dua diantaranya adalah orangtuanya, dan yang melambai-lambai… ya itu tiga kawan uniknya, Tria, Felly, dan Shani. Meskipun rasa gugup menyelimuti, Gege memantapkan diri dengan satu tarikan napas.
“Perkenalkan nama saya Gaia Dharmasita, biasa dipanggil Gege oleh orang terdekat. Usia saya 20 tahun dan saya ingin menceritakan tentang penyakit saya yang tidak bisa sembuh dan mengharuskan saya berada dalam kondisi mental wellness agar bisa mengendalikan pertumbuhannya sehingga tidak kambuh dan beraktivitas dengan baik.”
Orang-orang tampak takjub sekaligus penasaran. Gege melanjutkan pembicaraannya dengan senyum hangat. “Saya adalah pengidap Dermatitis dan Psoriasis. Sebuah kondisi hipersensitif dan autoimun yang sudah ada sejak lahir. Lalu, tentang bagaimana Dharma membantu saya melewati kondisi ini.”[]
Profil Penulis :
Belinda Marella lahir di Medan pada 1 Agustus 2001, hobi menulisnya terwujud sejak SD dan keberhasilannya meraih juara 1 pada lomba Cerpen Bulan Bahasa 2018 membawanya masuk lebih dalam ke dunia literasi. Saat ini dirinya tengah menempuh pendidikan sarjana jurusan Ilmu Komunikasi di Universitas Pelita Harapan dan mempersiapkan karirnya di bidang penulisan digital dan menjadi seorang novelis. Salah satu keinginan terbesarnya adalah menulis hal-hal yang berkaitan dengan ajaran Buddha dan dapat ikut menyebarkan Dharma lewat riset dan tulisan yang dibuatnya.