Oleh Devi Riani Atika Sari
Minggu, 29 Agustus 2021 – “Harta, takhta, dan wanita” sering disalahpahami sebagai kelemahan atau godaan. Namun, dalam Sutra Gandawyuha yang mendominasi relief Candi Borobudur, harta dan takhta yang sering dianggap “menjerumuskan” ternyata bisa digunakan untuk kebaikan. Berbeda dengan kedua hal tersebut, wanita dalam Gandawyuha bukan objek yang bisa dimiliki atau digunakan, melainkan sosok yang berperan aktif sebagai pembimbing spiritual.
Penjelasan ini disajikan oleh pemerhati sosiologi, antropologi, dan sejarah Buddhisme Stanley Khu, S.Ant., M.A. dalam bedah buku daring “Harta, Takhta, Wanita, dan Gandawyuha: Kelana Pemuda Sudhana Mencari Pencerahan” di Nusantara Dharma Book Festival 3.0.
Acara yang dimulai pukul 19.00 WIB ini diikuti oleh 484 peserta terdaftar via situs ndbf.lamrimnesia.com.
“Dari sekian Sutra, dia (Gandawyuha) salah satu yang paling menakjubkan,” tutur Stanley untuk mengawali acara. Saking menakjubkannya, Sutra ini dianggap begitu penting oleh Wangsa Shailendra yang mendirikan Candi Borobudur. Dari 84.000 ajaran Buddha, Gandawyuha dipilih untuk mengisi 3 dari 4 galeri di Candi Borobudur (total 460 panel).
Inti dari Sutra Gandawyuha sendiri adalah kelana Sudhana mencari pencerahan. Stanley menyarikan salah satu pesan yang sangat gamblang dari Sutra ini, yaitu bahwa setiap orang tidak dapat hidup sendiri. Sudhana mencari pencerahan dengan tujuan membalas jasa begitu banyak makhluk yang telah memberi manfaat bagi dirinya. Dalam pencariannya, Sudhana pun bertumpu pada bimbingan 53 orang guru dari latar belakang yang beragam. Sebanyak 21 dari 53 guru ini adalah wanita.
“Kita tidak pernah lihat dominasi kaum perempuan bukan sebagai tokoh figuran, tapi sebagai pemeran utama dalam kitab keagamaan,” terang Stanley, “Tapi ini ada di Gandawyuha.”
Harta dalam Gandawyuha bukan untuk dikejar, melainkan merupakan buah karma baik masa lampau yang kemudian digunakan kembali untuk menolong banyak orang.
“Dalam filsafat Buddhisme, bukan kamu kaya atau miskin, moralnya tidak ada di situ,” kata Stanley, “Kamu kaya boleh, tapi kekayaan itu kamu pakai buat apa? Sudhana dan kalyanamitra yang lain kaya, tapi kekayaan itu dipakai untuk hal yang bajik.”
Berkenaan dengan isu takhta, guru-guru Sudhana dalam Gandawyuha berasal dari berbagai strata sosial. Hirarki para guru ini bukan ditentukan oleh tingkatan “takhta” duniawi tersebut, melainkan berdasarkan tingkat pencapaian spiritual mereka.
Gandawyuha juga mengajarkan bahwa guru tidak melulu seseorang yang mendidik secara formal. Siapapun yang mengurangi ketidaktahuan dan memberikan pengetahuan baru bisa menjadi guru. Buktinya, meskipun merupakan kitab Buddhis, tokoh-tokoh dari tradisi Hindu pun hadir sebagai guru Sudhana dalam Gandawyuha.
“Orang yang menunjukkan kamu jalan pun guru,” pungkas Stanley.
Di akhir sesi, Stanley berpesan untuk mengaitkan Sudhana dengan diri sendiri saat ada kesempatan berkunjung ke Borobudur atau membaca Sutra Gandawyuha. Sudhana bukan tokoh yang hanya untuk dikagumi, tapi juga untuk diteladani.
Bedah buku “Harta, Takhta, Wanita, dan Gandawyuha: Kelana Pemuda Sudhana Mencari Pencerahan” merupakan acara penutup rangkaian Nusantara Dharma Book Festival 3.0 yang diselenggarakan oleh Yayasan Pelestarian dan Pengembangan Lamrim Nusantara (YPPLN/Lamrimnesia). Dengan tema khusus “Membaca untuk Meningkatkan Ketangguhan Mental di Kala Pandemi”, NDBF 3.0 menghadirkan bazar buku, seminar, bedah buku, dan workshop yang bertujuan untuk meningkatkan minat baca generasi muda Indonesia. Seluruh acara diselenggarakan secara daring di situs ndbf.lamrimnesia.com dan media sosial Lamrimnesia.