oleh BESTRELOAD
Ada stigma yang beredar di masyarakat Buddhis maupun non-Buddhis Indonesia: bahwa umat Buddha itu menyembah patung, menyembah berhala, atau hanya menghormati sosok.
Coba kita lihat stigma ini secara ringkas. Non-Buddhis menganggap umat Buddha menyembah patung atau berhala karena dianggap tidak memiliki sosok yang disebut Tuhan. Ada lagi yang berpendapat “Buddhisme itu cuma filsafat, jadi sebetulnya tidak membutuhkan sosok pemujaan”. Untuk kasus umat Buddha sendiri, biasanya beda istilah saja. Karena tidak mau dianggap “menyembah berhala” ataupun “menyembah patung”, beberapa orang menyatakan bahwa pemujaan kepada patung Buddha merupakan cara untuk mengingat jasa dan ajaran Beliau; tapi ujung-ujungnya, sosok Buddha dianggap sebagai sekadar ‘kenangan’ yang masih tersisa.
Kalau kita mundur selangkah dan membandingkan kedua pendapat ini, kita mungkin bisa menemukan kesamaan. Ternyata baik Buddhis maupun non-Buddhis sama-sama melihat rupang Buddha sebagai benda mati yang mentok-mentok hanya punya fungsi estetis, tak ada bedanya dengan foto atau lukisan yang kita pajang di rumah!
Apakah memang demikian seharusnya kita memaknai perlambang tubuh Buddha? Mari kita sama-sama merenung…
Jika seseorang non-Buddhis dan menganggap bahwa umat Buddha menyembah patung, kita bisa maklum. Toh mereka belum pernah mempelajari ajaran Buddha secara mendalam. Namun, di internet kita bisa melihat orang-orang yang mengklaim bahwa umat Buddha “asli” tidak peduli ada patung atau tidak, tidak menganggap perlambang tubuh Buddha memiliki nilai dan makna, sehingga tidak masalah kalau rupang dihancurkan atau diperlakukan sembarangan. Parahnya lagi, tidak sedikit umat Buddha yang mengamini klaim tersebut!
Buddhisme memang tidak mengenal konsep “Tuhan” sebagai pencipta dan asal muasal segalanya (kausa prima), tidak seperti agama Samawi yang lebih dikenal masyarakat luas. Ini merupakan salah satu perbedaan mendasar yang membuat kita tidak bisa memaknai berbagai hal yang menjadi ciri khas Buddhisme dengan cara yang sama dengan agama lain, termasuk dalam kasus ini: penggunaan rupang Buddha. Jadi, terlalu dini bagi orang yang belum pernah mendalami filsafat Buddhis untuk menerka-nerka cara seorang Buddhis seharusnya memaknai rupang Buddha hanya dengan apa yang terlihat oleh mata dan lantas menyebarkan terkaannya seolah-olah itu adalah benar.
Di sisi lain, umat Buddha sendiri juga seringkali menganggap Buddha sudah ‘meninggal’, hanya meninggalkan ajaran saja di dunia. Pola pikir demikian meninggalkan sebuah lubang besar di hati kita karena Triratna sudah tidak lengkap lagi, hanya tertinggal Ratna Dharma dan Ratna Sangha. Lubang inilah yang rawan diisi oleh klesha keragu-raguan dan bisa menjadi alasan utama orang-orang mulai banyak berpindah agama, mempertanyakan manfaat dari belajar Buddhadharma, dan merasa terpaksa kalau harus ke wihara dan sejenisnya.
Ketika seorang Buddhis yang seperti ini mendengar seseorang berkata bahwa Buddhis menyembah berhala, dia akan mulai berpikir, “Hmm… Benar juga, ya…” Rasa minder pun muncul dan membuat orang ini menimbang antara berpikir untuk pindah agama atau menciptakan seribu satu alasan untuk menjustifikasi tindakan “menghormati patung Buddha” yang sesuai dengan logika filsafat non-Buddhis. Dari respons kedua ini, muncullah pandangan atau asumsi bahwa seorang Buddhis tidak peduli jika patung Buddha dihancurkan atau diinjak, bahwa bagi seorang Buddhis pun Buddha hanya ‘orang bijak yang dikagumi’ dan perlambang wujudnya ibarat foto kakek buyut kita atau foto pemenang hadiah Nobel semata.
Sebelum berpikir untuk pindah agama atau melakukan cocoklogi seperti di atas, mungkin ada baiknya kita melakukan sedikit usaha lebih untuk mencari tahu: bagaimana seharusnya umat Buddha memaknai patung Buddha? Apakah ada penjelasannya di dalam kitab-kitab? Saya mencoba mengumpulkan penjelasan-penjelasan itu dan akan membagikannya melalui tulisan ini. Tapi sebagai pembuka, satu ungkapan bagi Anda yang hanya menganggap rupang Buddha merupakan patung/simbol biasa: SAYANG SEKALI BAMBANK!
Singkatnya, kita itu punya akses untuk mendapatkan perlindungan yang tak terbatas dari sosok Buddha. Menganggap suatu figur Buddha sebagai Buddha yang sebenarnya akan meningkatkan keyakinan, dan keyakinan berbanding lurus dengan usaha kita menerapkan ajaran Beliau. Semakin besar keyakinan kita, maka semakin baik pula kita menerapkan apa yang Beliau ajarkan, dan semakin besar pula manfaat yang kita dapat.
Jadi, jika bisa mendapatkan manfaat yang lebih besar, kenapa harus tidak percaya? Sebelum menarik kesimpulan, alangkah baiknya jika kita mencari lebih banyak ilmu di luar apa yang kita kira kita sudah tahu. Caranya, dengan menilik argumen-argumen yang berdasarkan kitab suci dan teks-teks yang telah diverifikasi guru-guru besar Buddhis.
Jadi, inilah kenapa umat Buddha bukan hanya menyembah patung:
1. Kemampuan Buddha yang tak terbatas: tubuh Dharmakaya Buddha berada dalam objek apa pun ketika kita bisa menganggapnya demikian.
“Sejauh mana kebijaksanaan menjangkau, sejauh itu pula jangkauan tubuh fisik Tathagatha.”
– Sutra Which Reveals the Inscrutable Mystery of the Tathagata (dikutip dari Pembebasan di Tangan Kita Jilid II)
Banyak Sutra-sutra yang menjelaskan bahwa Buddha memiliki lebih dari satu tubuh. Riwayat Agung Para Buddha karya Tipitakadhara Mingun Sayadaw menjelaskan bahwa Buddha memiliki tubuh Rupakaya dan Dharmakaya. Sumber-sumber lain seperti Abhisamayalamkara karya Arya Maitreya juga menjelaskan bahwa ada 4 tubuh Buddha, yaitu Nirmanakaya, Sambhogakaya, Svabhavivakaya, dan Dharmakaya. Dikatakan bahwa Dharmakaya Buddha merupakan tubuh kebenaran yang tidak bisa dijelaskan, karena telah melampaui konsep, dualisme, dan seluas angkasa. Inilah salah satu aspek Buddha yang dapat dikenali sebagai ‘sifat’ Ketuhanan.
Kualitas Buddha yang sudah sempurna dan memiliki banyak tubuh tersebut memiliki 10 kekuatan, 4 keberanian, 6 kebijaksanaan, dan 18 kualitas. Singkatnya, pencapaian Buddha merupakan pencapaian yang sudah maksimal dan kemampuan Beliau tak terbatas. Jadi, aspek-aspek tersebut memungkinkan Buddha untuk mematangkan batin para makhluk yang tak terhingga banyaknya. Dengan kualitas-kualitas yang tak terkira itu, kehadiran Buddha yang sesungguhnya saat kita memberikan penghormatan kepada patung atau gambar Buddha tentu bukan merupakan hal yang tidak mungkin.
Arya Shantidewa juga pernah mengatakan, “Dalam kegelapan ini, keinginan memuja Buddha atau ketika kita benar-benar sudah memuja beliau merupakan aktivitas Buddha, dan kita telah mendapatkan berkah dari Buddha.”
2. Bisa atau tidaknya kita melihat Buddha tergantung karma.
Pada dasarnya, kita harus memahami bahwa kemampuan kita dalam memersepsikan objek adalah bergantung pada kemampuan kita memersepsikan apa yang ada di sekitar kita. Hal ini amatlah bergantung pada karma dan klesha kita.
Sebagai contoh, seekor anjing tidak bisa membedakan air mineral dan air comberan. Keduanya sama-sama air yang bisa mereka minum. Manusia tentu tidak akan berlaku sama; mereka akan membuang air comberan dan minum air mineral. Demikian pula, sang anjing pun tidak akan bisa memahami betapa emas adalah barang yang sangat bernilai, sedangkan manusia akan melihat emas sebagai sesuatu yang sangat berharga dan akan menyimpannya sebaik mungkin. Dengan logika yang sama, kitab-kitab suci menjelaskan bahwa simbol tubuh Buddha yang kita lihat dalam bentuk yang terbuat dari tanah liat, tembaga, dan material lainnya sebenarnya akan bisa dirasakan sebagai tubuh emanasi Buddha yang unggul pada saat batin kita telah mencapai kondisi konsentrasi arus Dharma (dharmasrota samadhi) di Marga Penghimpunan. Lalu ketika kita mencapai tingkat Bodhisatwa pertama, simbol-simbol tubuh Buddha tersebut pun akan bisa terlihat sebagai Sambhogakaya yang sebenarnya dari seorang Buddha. Jadi, ini adalah kasus yang sama dengan perbedaan antara manusia dan anjing dalam melihat, mencerap dan mengidentifikasi emas. Buddha pada dasarnya ada di sana, namun batin kitalah (yang dipengaruhi oleh karma dan klesha kita masing-masing) yang tidak sanggup melihat, mencerap, dan mengidentifikasinya.
Oleh karena itu, adalah sangat penting bagi kita untuk berlatih mulai sekarang untuk menganggap berbagai simbol seperti rupang dan lukisan sebagai apa yang sesungguhnya mereka representasikan, yakni Sang Buddha itu sendiri.
3. Memandang figur/simbol Buddha sebagai Buddha yang sesungguhnya merupakan kebajikan yang luar biasa.
“Ini adalah poin Latihan yang harus dipraktikkan: memperlakukan wujud-wujud Buddha sebagai objek yang harus dihormati – seolah-olah mereka adalah Buddha yang sebenarnya.”
-Je Tsongkapha (dikutip dari “Risalah Agung Tahapan Jalan Menuju Pencerahan” Jilid I)
“Yang Arya Sariputra bisa menjadi satu dari dua murid unggul Sang Buddha karena karma Beliau yang di kehidupan sebelumnya memandang figur Buddha dalam kekaguman dan berpikir, ‘Betapa saya ingin bertemu langsung dengan sosok menakjubkan ini’”. Di dalam Saddharmapundarika Sutra juga dijelaskan, “Bahkan mereka yang memandang figur para Sugata yang dilukis di dinding dengan batin yang terganggu sekali pun pada akhirnya akan bertemu sepuluh juta Buddha”. Cuplikan sutra ini menjelaskan tentang manfaat dari melihat simbol-simbol Buddha. Jika bahkan seseorang yang memandang suatu figur Buddha dalam keadaan batin yang marah pun bisa mendapatkan manfaat-manfaat seperti itu, tentu saja kita akan mendapatkan manfaat yang lebih ketika memandang figur tersebut dengan sikap penuh hormat.
4. Tidak hanya menyembah, kita juga beraspirasi mencapai tingkatan Buddha.
Tujuan Buddha mencapai penerangan sempurna dan mengajar adalah agar semua makhluk bisa terbebas dari penderitaan dan mencapai tingkatan yang sama seperti Beliau. Esensi dari Kebuddhaan adalah tercapainya kesempurnaan dalam welas asih (perfection of compassion) dan kesempurnaan kebijaksanaan (perfection of wisdom). Pencapaian ini telah dicapai oleh orang-orang di masa lalu dan bisa pula dicapai oleh orang-orang di masa yang akan datang.
Dengan merenungkan sosok Buddha, kita bisa menghimpun kebajikan yang sangat besar. Kita bisa menyadari bahwa kita memiliki benih Kebuddhaan dalam diri kita. Kita tidak perlu iri pada sosok yang datang 2500 tahun yang lalu karena kita juga memiliki potensi yang sama. Jadi, kita tidak harus menunggu nabi yang datang beberapa tahun lagi (Uttaratantra hal 206). Dalam sumber yang sama, jika diibaratkan sebuah jendela kaca, bisa kita katakan bahwa jendela kaca ini bersih. Namun, jendela ini telah dikotori oleh debu-debu dari luar. Ketika jendela ini dibersihkan, maka ia akan kembali pada sifat awalnya. Ini sama seperti Kebuddhaan yang secara default sudah ada dalam diri kita, namun untuk menemukannya kita mesti menghilangkan kotoran batin terlebih dulu. Kita bisa merenungkan dan menyadari ini semua ketika kita melihat sosok Buddha, baik dalam bentuk rupang atau gambar. Tekad yang bangkit dalam diri kita untuk menjadi penolong semua makhluk seperti Sang Buddha akan menjadi kebajikan yang luar biasa besar sekaligus sebab bagi pencerahan kita.
Penutup
Dengan melihat kualitas-kualitas dari Sang Buddha, guru agung kita, seorang Buddhis seharusnya memperlakukan patung atau simbol Buddha selayaknya patung atau simbol ini adalah Buddha sendiri. Kita harus berbangga hati dan tidak minder jika dibandingkan dengan agama-agama lain, apalagi sampai terbawa tuduhan atau interpretasi dangkal yang tidak didasari oleh pemahaman sesungguhnya akan filsafat atau kitab-kitab Buddhis.
Namun, perlu diingat bahwa esensi ajaran Buddha adalah untuk mengembangkan batin. Buddha mengajar sejatinya adalah untuk mengubah diri kita menjadi lebih baik. Saran saya, kita sebagai umat Buddha harus senantiasa melihat ke dalam batin dan bertanya pada diri sendiri, “Apakah saya sudah benar-benar memiliki keyakinan terhadap Buddha?” Setelah itu, kita harus lanjut bertanya, “Apakah saya memiliki dasar bagi keyakinan tersebut?” Ini mungkin bisa menjadi titik awal untuk menumbuhkan keyakinan yang kokoh terhadap Buddha, keyakinan yang tidak dengan mudahnya digoyang karena kemudahan dan kesenangan yang bersifat sementara.
Saya akan menutup artikel ini dengan salah satu pernyataan dari teman saya, “Orang akan berhenti mengatakan umat Buddha menyembah berhala ketika kita sebagai umat sendiri juga mampu memosisikan Buddha di posisi yang sepantasnya dan selayaknya.”
Referensi:
1. “Pembebasan di Tangan Kita” oleh Phabongkha Rinpoche
2. “The Tibetan Book of The Dead” oleh Padmasambhava, ditemukan oleh Karma Linga, diterjemahkan oleh Gyurme Dorje, disunting oleh Graham Coleman dan Thupten Jinpa
3. “Risalah Agung Tahapan Jalan menuju Pencerahan” oleh Je Tsongkhapa
4. “Uttaratantra” oleh Dzongsar Khyentse Rinpoche
5. Taisho Tripitaka