Pagi telah menjelang kaki bukit Himalaya yang dijejeri pohon-pohon tusam. Yang Maha Suci Dalai Lama ke-14 duduk bermeditasi dalam bilik pribadinya di Dharamsala, sebuah kota kecil usang yang bertengger di tepian tinggi Lembah Kangra di India Utara. Pelan-pelan, beliau bergerak, mengayun kakinya dengan kelincahan yang menakjubkan dari seseorang berusia 83 tahun. Ia menggapai selop kain merah yang tersimpan rapi di bawah dudukannya dan keluar menyambut orang-orang yang telah berkumpul.
Sekitar 300 orang melalui dinginnya cuaca bulan Februari untuk mempersembahkan syal khata putih dan menerima berkat dari sang Dalai Lama. Ada rombongan dari Bhutan yang memakai pakaian kotak-kotak tradisional. Ada pula pria dari thailand yang membawa syal klub sepak bola Liverpool agar grup asal Inggris ini diberikan berkat mulia dalam ajang perebutan gelar. Dua orang wanita hilang akal ketika mereka mendekati tahta Dalai Lama dan akhirnya dibawa pergi dalam keadaan terguncang, menggumamkan mantra dengan manik-manik doa tergenggam erat.
Sang Dalai Lama berinteraksi dengan pengunjung tak ubahnya anak kecil dalam tubuh dewasa: beliau menepuk kepala-kepala botak, mengenggam kepangan salah satu pemuja, dan mengibas hidung umat yang lain. Setiap percakapan dibumbui kekeh dan tawa. “Kita semua, tujuh miliar umat manusia, tidak berbeda secara emosional, fisik, dan mental,” ujarnya pada TIME dalam wawancara yang berdurasi 90 menit. “Semua orang menginginkan kehidupan menyenangkan.”
Hidup beliau sendiri telah mencapai titik genting. Sang Dalai Lama dianggap sebagai Buddha cinta kasih hidup, reinkarnasi dari Boddhisatwa Awalokiteshwara yang menolak Nirwana demi menolong umat manusia. Gelar ini awalnya hanya menandai biksu Buddha berpengaruh di daerah Tibet, sebuah tanah terpencil yang berukuran kira-kira dua kalinya Texas yang tersembunyi di balik kabut bukit-bukit Himalaya. Namun, semenjak abad ke-17, sang Dalai Lama juga memegang kekuasan politik penuh atas kerajaan tertutup ini. Semuanya berubah ketika Mao Zedong menyerang Tibet dan mengakhiri pemerintahan Dalai Lama saat ini. Pada 17 Maret 1959, beliau terpaksa mengungsi ke India.
Dalam enam dekade setelahnya, pemimpin suku paling tertutup di dunia telah menjadi wajah dari agama yang dipeluk oleh hampir 500 juta orang di dunia. Namun, sosoknya dikenal lebih dari sekadar batasan agama karena praktik-praktik yang mengakar dalam Buddhisme seperti mawas diri dan meditasi telah pelan-pelan meluas menyentuh hidup jutaan orang lainnya di dunia. Lebih-lebih, sang putra petani yang di masa kecilnya dipanggil ‘Sang Raja Dewa’ ini telah diterima oleh dunia Barat semenjak pengasingannya. Beliau memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1989 dan diangkat pada film biografis Martin Scorcese pada tahun 1997. Posisinya yang memungkinkan pemerintahan mandiri di Tibet tidak hilang dari pengetahuan masyarakat Barat berkat sejumlah besar pengagum, mulai dari Richard Gere ke Beastie Boys ke Juru Bicara partai Demokrat Nancy Pelosi, yang menyebutnya ‘pembawa harapan bagi jutaan manusia di dunia’.
Namun usia senja membuat perjalanan semakin sulit, dan bayang-bayang pengaruh politik Cina telah berkembang sedemikian rupa sehingga pengaruh sang Dalai Lama semakin menipis. Saat ini, partai komunis Cina yang mengusirnya keluar Tibet mencoba untuk turut campur dalam prinsip-prinsip Buddhisme serta tata cara pewarisan gelar itu sendiri. Secara resmi, partai ini tidak menganut agama apapun, namun sangat adaptif. Mereka tidak segan menggunakan agama maupun kapitalisme, dan mengklaim bahwa ada tempat untuk kepercayaan dalam nasionalisme yang telah dibangkitkan Xi Jinping di Beijing. Pada bulan Januari, partai komunis Cina menyatakan bahwa mereka akan ‘Mencinakan’ Buddhisme dalam kurun waktu lima tahun mendatang dan menciptakan citra baru dari kepercayaan Cina kuno ini, sebuah proyek yang memakan jutaan dolar.
Dari Pakistan hingga Myanmar, pundi-pundi uang Cina telah merestorasi situs-situs Buddhis bersejarah dan mendorong penelitian Buddhisme. Beijing menghabiskan tiga juta dolar mentransformasi kota Nepal Lumbini, tempat lahir Sang Buddha, menjadi situs ziarah mewah lengkap dengan bandar udara, hotel, pusat rapat dan perkumpulan, kuil, dan universitas. Cina telah menjadi tuan rumah Forum Buddhis Dunia semenjak 2006 dan mengundang biksu dari seluruh penjuru dunia.
Sayangnya, hal ini tidak menjadikan Cina sebagai nomor satu (dalam Buddhisme). Beijing tetap menganggap Dalai Lama sebagai ancaman berbahaya dan tidak segan menunjukkan penolakan mereka pada negara manapun yang memperlakukan sang Dalai Lama dengan serius. Hal ini sepertinya bekerja, sebab meski dulunya dielu-elukan di ibukota berbagai negara, sang Dalai Lama belum bertemu dengan satupun pemimpin dunia sejak tahun 2016. Bahkan India yang telah memberikan perlindungan terhadap beliau dan 100.000 warga Tibet lainnya tidak mengirimkan petinggi sebagai perwakilan dalam perayaan 60 tahun pengasingan beliau yang diadakan oleh komunitas perantau setempat. Alasan resmi yang diberikan adalah ‘kondisi sangat sensitif’ dalam hubungan bilateral dengan Beijing. Setiap presiden Amerika Serikat sejak George H. W. Bush selalu memastikan pertemuan dengan Dalai Lama. Hal ini akhirnya terputus di Donald Trump yang tengah berada dalam perundingan dengan Cina untuk mereformasi ekonominya yang dikendalikan oleh pemerintah.
Namun, sang Dalai Lama tetap berharap dapat kembali ke tanah airnya. Terlepas dari ketenaran dan teman-teman berpengaruh yang dimilikinya, beliau tetaplah seseorang yang rindu akan kampung halaman dan seorang pemimpin yang dijauhkan dari kaumnya. Beliau telah mundur dari “tanggung jawab politik” dalam komunitas pengasingan sejak tahun 2011 dan mengaku hanya ingin memiliki “kesempatan mengunjungi beberapa tempat suci di Cina sebagai bagian dari ziarah,” tuturnya pada TIME. “Aku sungguh-sungguh hanya ingin melayani umat Buddha di Cina.”
Meski demikian, partai komunis tetap menganggapnya ‘serigala berbulu jubah biksu’ dan petinggi-petinggi Cina menyebutnya ‘pemecah-belah’ berbahaya. Beliau telah menyerah meminta kemerdekaan Tibet sejak 1974 dan menerima kenyataan geopolitis bahwa segala kemungkinan penyelesaian harus tetap membiarkan Tibet berada sebagai bagian dari Republik Rakyat Cina. Sebagai gantinya, beliau mendorong agar Tibet diberikan otonomi lebih besar dan Cina menghargai kebebasan beragama dan berbudaya bagi rakyatnya. Hasilnya minim.
“Pada titik ini, sulit mempercayai bahwa beliau bisa kembali,” ujar Gray Tuttle, dosen studi Tibet di Columbia. “Cina memegang segala kendalinya.”
Lhamo Thondup muda telah diidentifikasi sebagai inkarnasi ke-14 sang Dalai Lama pada umur 2 tahun, ketika sekelompok lama (biksu senior Buddhisme Tibet) berkedudukan tinggi mengikuti serangkaian ramalan dan pertanda hingga mencapai desanya di daerah timur laut Tibet. Bocah yang nampak lebih cerdas dari umurnya ini seolah dapat mengenali benda-benda milik Dalai Lama ke-13, sehingga para lama menyatakannya sebagai sang pewaris tahta agung. Pada umur empat tahun, beliau diarak dalam usungan emas ke Lhasa, ibukota Tibet, dan dirumahkan di bawah naungan atap Istana Potala yang megah gemerlap. Setelahnya, pendidikan spiritual dari guru-guru agama terkemuka menjadi keseharian beliau.
“Kadangkala guruku menggunakan cambuk untuk mengancamku,” sebut sang Dalai Lama sambil tersenyum mengingat-ingat. “Cambuk itu berwarna kuning karena dimaksudkan untuk seorang suci, sang Dalai Lama. Namun aku tahu bahwa apabila cambuk itu digunakan, tak ada bedanya. Sakitnya selangit!”
Masa kecil beliau amatlah sepi. Sang Dalai Lama hampir tidak pernah bertemu orang tuanya dan tidak punya akses bertemu teman-teman sebayanya selain kakaknya Lobsang Samden yang bertugas sebagai kepala rumah tangga. Meski guru-gurunya berfokus pada topik-topik spiritual (atau mungkin justru karena itu), beliau terkagum-kagum pada sains dan teknologi. Beliau senang mengintip kehidupan jalanan Lhasa dari atap Potala melalui teleskop, juga membongkar pasang proyektor dan kamera untuk mempelajari cara kerjanya. “Beliau berulangkali mengejutkanku dengan daya tangkap, keuletan, dan kerja kerasnya,” tutur pendaki gunung Austria Heinrich Harrer dalam tulisannya. Heinrich adalah salah satu guru Dalai Lama dan satu dari enam orang Eropa yang diperbolehkan tinggal di Lhasa pada saat itu. Sekarang sang Dalai Lama dengan bangga mendeskripsikan dirinya sebagai ‘separuh biksu Buddha dan separuh ilmuwan’.
Dalai Lama seharusnya baru menerima peran politik pada usia 18 tahun. Seorang wali akan mengisi posisinya hingga saat itu. Namun, kedatangan pasukan Mao untuk mengambil alih kekuasaan Tibet pada tahun 1950 menyebabkan pemerintah Tibet memberikan seluruh kekuasaan pada beliau yang baru berusia 15 tahun. Tanpa pengalaman politik maupun pengetahuan tentang dunia luar, beliau dijerumuskan dalam perundingan dengan tentara musuh dan di saat yang sama mesti menenangkan pengikutnya yang setia namun tak bersenjata.
Keadaan memburuk dalam kurun waktu sembilan tahun pendudukan. Proklamasi Cina yang menyebut Sang Buddha sebagai tokoh ‘reaksioner’ mengundang kemarahan 2.7 juta rakyat yang taat. Pada Maret 1959, gosip sudah tersebar bahwa Dalai Lama akan diculik atau dibunuh, memupuk rencana pemberontakan yang tenar namun ditakdirkan gagal. Konfrontasi ini kemungkinan akan menyebabkan pertumpahan darah besar-besaran. “Tepat di depan Potala (istana), di seberang sungai, bersiaga satuan artileri Cina,” ungkap Dalai Lama. “Awalnya semua senjata api ditutup, namun sekitar tanggal 15 atau 16, mereka melepas tutupnya. Saat itu kami mengerti situasi sudah sangat serius. Pada pagi hari tanggal 17, aku memutuskan untuk kabur.”
Perjalanan dua minggu ke India amatlah berat karena pasukan Cina memburu kelompok beliau melintasi medan-medan bentang alam paling kejam di dunia. Dalai Lama mencapai India dalam penyamaran dengan menunggang dzo, persilangan antara sapi dan yak. Semua gedung tempatnya singgah dalam perjalanan dengan segera disucikan sebagai kuil, namun daerah-daerah yang dilewatinya dimusnahkan oleh kekejaman Revolusi Budaya dan Lompatan Jauh ke Depan di bawah kepemimpinan Mao.
Kekukuhan Tibet untuk tetap terisolasi dan tak terganggu telah menjadi hambatan. Kerajaan ini tidak punya sekutu yang berguna karena pemerintah Lhasa telah menolak mengadakan hubungan diplomatis resmi dengan negara manapun, juga tidak berpartisipasi dalam organisasi internasional apapun. Karena itu, permintaan bantuan Dalai Lama dengan mudah diabaikan. Tibet bersikeras bersikap netral sepanjang Perang Dunia kedua, dan Amerika Serikat baru saja terlibat konflik segar dengan Semenanjung Korea.
“[Perdana Menteri India Pertama] Pandit Nehru mengatakan padaku, ‘Amerika tidak akan melawan komunis Cina untuk membebaskan Tibet, jadi cepat atau lambat engkau akan harus berunding dengan pemerintah Cina’,” kenang sang Dalai Lama.
Awalnya, ketika masyarakat Tibet mengikuti sang Dalai Lama ke India, mereka hidup dengan bawaan terkemas dan tidak membangun rumah permanen karena mempercayai bahwa kepulangan penuh kemenangan akan dapat diraih sewaktu-waktu. Hal ini tidak pernah terjadi.
Empat dekade perundingan antara Cina dan kepemimpinan Tibet yang terasing berakhir buntu. Perundingan formalitas dimulai pada tahun 1970an antara pengikut Dalai Lama dan pemimpin reformis Cina Deng Xiaoping dan berlanjut hingga kepemimpinan pengganti Deng, Jiang Zemin. Perundingan telah lama memutuskan bahwa kemerdekaan Tibet tidak mungkin terjadi, namun keberjalanannya tetap saja bertele-tele dan ditunda pada tahun 1994 untuk dilanjutkan lagi di tahun 2000an, masih tidak menemui hasil.
Sementara itu, Tibet berada dalam cengkeraman Beijing. Perwakilian Tinggi Hak Asasi Manusia PBB telah mengeluhkan bahwa kondisinya ‘menggelincir dengan cepat’ di daerah tersebut. Pada bulan Mei, wirausahawan Tibet Tashi Wangchuk dipenjara lima tahun semata-mata karena mendukung perkembangan bahasa Tibet. Pada bulan Desember, pemerintah mengeluarkan arahan untuk menghentikan pengajaran budaya dan bahasa Tibet di biara-biara. Lhasa yang dulunya dikenal sebagai ‘hunian dewata’ telah dijajah neon dan semen tak ubahnya kota Cina lainnya. Meskipun Amerika Serikat secara resmi menganggap Tibet sebagai bagian dari Cina, pada bulan Juli Wakil Presiden Mike Pence menyatakan bahwa masyarakat Tibet ‘telah dikungkung dengan brutal oleh pemerintah Cina’.
Banyak yang menganggap kebebasan beragama dan berbudaya mereka terancam oleh pemerintah Cina. Beberapa warga Tibet bahkan menggunakan cara-cara ekstrem untuk menyatakan keberatan terhadap perlakuan yang mereka terima. Sejak tahun 2009, lebih dari 150 warga Tibet yang terdiri dari kalangan biksu dan umat awam membakar diri sebagai bentuk penentangan. Seringkali, para pembakar diri memuja Dalai Lama dengan nafas terakhir mereka. Meski biasanya berpesan agar menghindari tindak kekerasan, Dalai Lama telah dikritisi karena tidak mengharamkan tindakan ini. “Ini adalah keadaan yang rumit,” sebut beliau. “Bila aku mengkritisi [para pembakar diri], maka keluarga mereka mungkin merasa teramat pedih.” Hanya saja, beliau juga menambahkan bahwa pengorbanan mereka “tidak berdampak dan menimbulkan lebih banyak masalah.”
Beijing dengan sangat keras menolak tuduhan pelanggaran hak asasi manusia di Tibet dan bersikeras bahwa mereka menghormati kebebasan beragama dan berbudaya masyarakat Tibet, serta menekankan bahwa pengembangan Tibet telah menaikkan kualitas kehidupan di daerah yang sebelumnya miskin terisolasi. Cina telah menggelontorkan lebih dari 450 juta dolar merenovasi biara-biara dan situs keagamaan utama di Tibet sejak tahun 1980an, menurut laporan resmi, dengan 290 dolar lagi dianggarkan hingga 2023. Negara dengan ekonomi nomor dua di dunia ini juga menyetujui proyek-proyek infrastruktur skala masif bernilai 97 milyar dolar untuk membangun bandar udara dan jalan tol melintasi gunung-gunung tertinggi di dunia. Tujuannya, menurut pengakuan mereka, adalah untuk mendorong kemakmuran 6 juta masyarakat etnik Tibet.
Tingkat investasi ini menjadi dilema bagi masyarakat Tibet dalam pengasingan. Sebagian besar dari mereka tinggal di India dengan status ‘tamu’ khusus yang memungkinkan mereka bekerja dan menempuh pendidikan, namun tidak dapat membeli tanah dan bangunan. Banyak dari mereka membanting tulang sebagai buruh jalanan atau pengrajin cenderamata turis. Karena itu, sejumlah besar pemuda Tibet memilih untuk kembali, tergoda oleh tanah air yang tak pernah mereka kenali. “Jika kau menginginkan masa depan yang aman dan nyaman bagi anak-anakmu, maka antara kau kembali ke Tibet atau pergi ke negara lain yang dapat memberikanmu kewarganegaraan,” kata Dorji Kyi, direktur lembaga swadaya Lha di Dharamsala yang mendukung para perantau Tibet.
Banyak perantau yang kembali dengan pendidikan dan pengalaman hidup yang lebih kaya dari teman sebaya mereka yang tumbuh besar di Tibet. “Beberapa dari mereka cukup sukses,” kata Thupten Dorjee, pemimpin Children’s Village, jaringan lima panti asuhan dan delapan sekolah yang telah melayani lebih dari 52.000 warga Tibet di India. “Namun bila mereka terlibat dalam kegiatan politik, mereka akan berada dalam masalah.”
Tibet masih memiliki pemerintahan terasing di Dharamsala, Pemerintahan Pusat Tibet (Central Tibetan Administration/CTA), namun organisasi ini terhalang oleh skandal dan masalah internal. Para perantau memilih berjuang sendiri. September lalu, sang Dalai Lama sendiri terekam menganjurkan pemuda Tibet di kuilnya bahwa lebih baik hidup di bawah kuasa Beijing daripada bertahan sebagai ‘pengemis’ dalam pengasingan. Dalam percakapannya dengan TIME, beliau menyatakan bahwa ‘tidak masalah’ apabila warga Tibet yang terasing memilih kembali ke Cina.
Bahkan mereka yang telah mencapai kemakmuran di tempat lain memilih untuk kembali. Songtsen Gyalzur, 45 tahun, menjual bisnis propertinya di Swiss, tempat orang tuanya yang lahir di Tibet berimigrasi setelah kabur ke India, untuk membuka bisnis Shangri-La Highland Craft Brewery di Cina.
Saat ini, pabrik peracik minumannya telah mendapat beragam penghargaan dan memiliki kapasitas produksi 2.6 juta galon bir, tuak, dan arak. Dia merekrut 80% pegawainya dari panti asuhan yang dibuka ibunya di daerah Tibet pada tahun 1990an. “Tibet memiliki banyak warga berpendidikan dan terlatih di luar negeri. Mereka dapat berdampak besar bagi kehidupan warga di sini,” ujarnya.
Terlepas dari legenda ‘Surga yang Hilang’, kerajaan Tibet tak pernah jadi utopia pertanian dan spiritual. Kebanyakan penduduknya tinggal dalam dunia ala Hobbes. Bangsawan dikategorikan dalam tujuh kelas, dengan Dalai Lama sendiri berada di puncaknya. Sedikit masyarakat awam yang memperoleh pendidikan dalam bentuk apapun. Pengobatan modern dilarang, terutama pembedahan, sehingga penyakit sekecil apapun dapat menjadi fatal. Angka harapan hidup hanya 36 tahun. Pesakitan diamputasi tangan-kakinya dan lukanya disterilkan dengan mentega mendidih. Bahkan roda pun jarang digunakan karena sedikitnya jalan yang dapat dilalui dengan mulus.
Dalai Lama telah mengakui bahwa Tibet “sungguh-sungguh terbelakang” dan bersikeras bahwa beliau menghendaki perubahan. Namun beliau juga menekankan bahwa kehidupan tradisional Tibet lebih dekat dengan alam daripada saat ini. Tibet merupakan rumah dari persediaan air bersih terbesar selain Arktik dan Antartika, sampai-sampai perbukitan bekunya disebut oleh sebagian ahli lingkungan hidup sebagai ‘kutub ketiga’. Daerah ini sangat rentan terhadap pengembangan destruktif yang dilakukan oleh pemerintah Beijing.
“Global warming tidak membuat perkecualian hanya benua ini atau itu, ataupun hanya negara ini atau itu,” ujar Dalai Lama. Ketika ditanyakan siapa yang menurut beliau mesti bertanggung jawab memperbaiki keadaan, beliau tidak menunjuk Beijing namun Washington. “Amerika, sebagai negara terdepan di dunia yang bebas, seharusnya mempertimbangkan permasalahan global dengan lebih serius.”
Sang Dalai Lama adalah sosok yang tidak malu-malu ketika ditemui secara langsung. Sikapnya menyegarkan. Tawanya yang kerap muncul dan telinganya yang menonjol membuatnya terlihat ramah dan menyenangkan, dan beliau amat senang menyentuh dan disentuh. Dia nampak nyaman dengan hal-hal fisik maupun spiritual, dengan tradisi maupun modernitas. Dia bermeditasi dengan iPad yang disetel untuk menampilkan gambar gunung serta aliran sungai, dan beberapa menit kemudian dapat mengalihkan perhatian sepenuhnya ke naskah-naskah Tibet yang tertulis di satu helaian lebar tanpa jilidan. Beliau beristirahat pada pukul 6 sore dan bangun pada pukul 4 pagi. Beliau memulai harinya dalam meditasi.
“Peradaban Barat, termasuk Amerika, sangat berorientasi kepada hal-hal materialistis,” ujarnya. “Namun budaya itu menciptakan terlalu banyak tekanan, kecemasan, dan iri hati, hal-hal semacam itu. Jadi komitmen utamaku adalah mencoba menyebarkan kesadaran tentang nilai-nilai dalam diri kita.” Dari semenjak TK, ujarnya, anak-anak seharusnya diajarkan untuk ‘merawat perasaan’.
“Baik beragama ataupun tidak, seharusnya kita sebagai manusia mempelajari sistem perasaan kita lebih jauh agar kita dapat melawan perasaan destruktif dan menjadi lebih tenang serta mendapatkan kedamaian dalam diri.”
SIMAK JUGA POSTINGAN BERIKUT :
https://www.instagram.com/p/BulV5GtHiw7/
Dalai Lama menyebutkan bahwa komitmen prioritas keduanya adalah keharmonisan antarumat beragama. Konflik di Timur Tengah seringkali melibatkan persaingan aliran-aliran dalam Islam. “Iran utamanya Shi’ite. Saudi Arabia dan segala hartanya adalah Sunni. Inilah masalahnya,” sebutnya, mengeluhkan ‘terlalu banyak orang berpikiran sempit’ dan mendorong umat segala agama dan kepercayaan untuk memperluas pandangan mereka.
Buddhisme pun punya masalah esktremis sendiri. Topik utama Buddhisme yang menekankan kepada harmoni dan kebersihan pikiran, sebagai agama tanpa tuhan dan konsep Sang Pencipta tunggal, membuatnya mudah diterima oleh pengikut agama lain dan ateis garis depan sekalipun. Namun, Dalai Lama menyebutkan bahwa beliau ‘teramat sedih’ terhadap situasi di Myanmar. Biksu-biksu Buddha garis keras telah menginisiasi pembantaian terhadap umat Muslim Rohingya. “Semua agama sejatinya memiliki tradisi cinta kasih antar umat manusia,” ujarnya, “namun malah menyebabkan kekerasan dan perpecahan.”
Beliau adalah pemerhati isu-isu dunia dan antusias berpendapat. Kebijakan politik Trump yang mengutamakan Amerika serta obsesinya terhadap dinding di perbatasan selatan Amerika Serikat membuat beliau merasa tidak nyaman, sebut beliau, merujuk Meksiko sebagai ‘tetangga yang baik’ bagi Amerika Serikat. Keluarnya Inggris dari Uni Eropa juga menurutnya patut disayangkan, karena beliau selalu mengagumi Uni Eropa.
Dalam usianya yang sudah mencapai kepala sembilan dan pergerakan yang dibantu oleh asisten-asisten, Dalai Lama masih terus menelusuri kesadaran manusia dan mempertanyakan tradisi serta kepercayaan yang telah lama diterima apa adanya. Dalam serangkaian kuliah di bulan Februari untuk merayakan tahun baru Tibet, beliau membahas segala hal dari kecerdasan buatan –baginya, kecerdasan buatan takkan pernah dapat mengalahkan otak manusia– hingga taklid buta terhadap dogma agama. “Buddha sendiri berpesan, ‘Jangan percaya begitu saja pada ajaranku, namun selidiki dan ujilah,’” tuturnya. “Jadi apabila ada ajaran yang melawan akal sehat, kita tidak perlu menerimanya.”
Hal ini termasuk institusi Dalai Lama sendiri. Bahkan sejak kecil, otak ilmuwan beliau mempertanyakan konsep bahwa dirinya adalah inkarnasi ke-14 dari seorang raja dewa. Salah satu guru lamanya mengingat bahwa Dalai Lama kecil merasa aneh karena Dalai Lama sebelumnya begitu menyukai kuda, namun beliau tidak merasakan ketertarikan yang signifikan. Saat ini Dalai Lama menyatakan bahwa institusi yang diwakilinya bersifat feudal. Terlepas dari komponen spiritualnya, beliau menyatakan bahwa dia tidak merasa perlu ada kekuasaan politik yang dipindahtangankan sepeninggal dirinya. “Pada suatu masa institusi Dalai Lama dimulai,” sebutnya, “yang berarti akan ada suatu masa institusi ini tak lagi relevan. Berhentilah. Tidak masalah. Aku tidak cemas sama sekali. Bagiku, sepertinya komunis Cina jauh lebih mencemaskan hal ini.”
Dan memang benar. Sebagai tamparan bagi komunitas pengasingan Tibet, Cina telah mencoba membawa kepemimpinan Buddhisme Tibet di bawah naungan partai. Ketika sang Dalai Lama menunjuk seorang anak Tibet sebagai reinkarnasi dari Panchen Lama (posisi tertinggi di Buddhisme Tibet setelah Dalai Lama sendiri) sebelumnya di tahun 1995, Cina mengambil anak tersebut ‘dalam perlindungan’ dan memberikan gelar tersebut pada sosok yang lebih mudah diatur. Keberadaan anak yang dipilih sang Dalai Lama masih belum diketahui hingga sekarang.
Karena itu, ketika sang Dalai Lama meninggalkan dunia fana, kemungkinan besar inkarnasi ke-15 akan dipilih oleh partai komunis yang tak bertuhan. “Jelas bahwa negara Cina tengah mempersiapkannya. Sungguh konyol,” kata Tuttle. Pemeluk Buddhisme Tibet akan dipaksa memilih antara Dalai Lama pilihan partai dan pilihan komunitas Tibet dalam pengasingan. Pada titik ini setidaknya petahana sudah jelas. Segala keputusan mengenai Dalai Lama berikutnya seharusnya ‘tergantung warga Tibet’, sebutnya.
Tak pelak lagi alasan partai komunis ingin menunjuk Dalai Lama adalah fakta bahwa saat ini ada 244 juta pemeluk agama Buddha di Cina, angka yang tiga kali lipat jauh lebih besar dari jumlah pengikut partai tersebut. Partai komunis haus akan kesempatan mengesahkan kekuasaannya dengan cara apapun dan mempercayai bahwa menggulingkan institusi Dalai Lama akan membantunya mencapai tujuan tersebut. Namun, Beijing jelas-jelas mempercayai pula bahwa hal ini akan menjadi puncak dari kematian simbolis Tibet dan melengkapi pencaplokan Tibet ke dalam wilayah Republik Rakyat Cina yang dimulai tujuh dekade lalu.
Dalam puntiran nasib yang ironis, sepertinya harapan sang Raja Dewa yang tergulirkan dari tahtanya akan terwujud cepat atau lambat. Suatu hari, sang Dalai Lama akan kembali ke Cina, baik dalam kehidupan ini ataupun kehidupan mendatang, dengan atau tanpa persetujuannya.
Artikel asli dalam Bahasa Inggris dapat dibaca di TIME Magazine.
Diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Lisa Santika Onggrid.
Baca kisah inspiratif beliau di buku “Bebas di Pengasingan”, dan “Negeriku & Rakyatku” .
Dapatkan penawaran khusus untuk kedua buku beliau, klik disini!