Tanggal 8 Agustus 2017 lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia bersama majalah Historia menyelenggarakan seminar bertajuk “Membangkitkan Kembali Lintasan Peradaban Sriwijaya-Nalanda” di gedung Kemendikbud RI, Jakarta. Acara ini dibuka oleh menteri luar negeri RI ke-15 dan anggota tim penasihat Nalanda University in India, Dr. Hassan Wirajuda, dan diisi oleh Dr. Andrea Acri dari Nalanda-Sriwijaya Center dan Prof. Agus Munandar dari Universitas Indonesia.
Seminar ini dibuka dengan keynote speech dari Dr. Hassan Wirajuda. Beliau menjelaskan sekilas tentang hubungan dekat antara Biara Universitas Nalanda dengan Kerajaan Sriwijaya sejak abad V Masehi. Beliau mengutip sebuah disertasi yang menyebut Atisha Dipankarasrijnana, penyusun teks akar lamrim Bodhipatapradipa dan reformis Buddhisme Tibet, pernah mengatakan bahwa mempelajari Buddhadharma tidaklah lengkap jika tidak belajar di Sriwijaya. Beliau juga mengatakan bahwa kini di situs reruntuhan Nalanda, khususnya di kompleks biara pertama yang dapat dikunjungi, kita dapat menemukan penanda yang menjelaskan bahwa kompleks biara tersebut merupakan sumbangan dari Raja Balaputradewa dari Sriwijaya.
“Nenek moyang kita itu biasa memberi,” kata Beliau.
Dr. Andrea Acri, peneliti dari Nalanda-Sriwijaya Centre sekaligus dosen di Nalanda University in India, membabarkan hasil risetnya mengenai hubungan intelektual antara Sriwijaya dan Nalanda. Selama ini, hubungan antarnegara atau kerajaan dalam sejarah yang diakui hanya yang bersifat materi seperti perdagangan atau pemberian upeti. Namun, berdasarkan bukti-bukti sejarah yang ada, ditemukan bahwa keterikatan antara Sriwijaya dan Nalanda melebihi sekedar materi. Ada pertukaran ilmu dan pemikiran serta hubungan religius, terbukti dengan adanya pertukaran pelajar filsafat Buddha, karya-karya sastra yang mirip namun memiliki ciri khas masing-masing negara, kesamaan tokoh istadewata serta detail arsitektur yang ditemukan di kedua negara. Menurut Dr. Acri, hubungan ini dapat dijadikan basis untuk mempererat hubungan Indonesia dan India di era ini dan membangkitkan kembali kerja sama intelektual yang sudah ada sejak berabad-abad yang lalu.
Terakhir, Prof. Agus Munandar membahas makna Kerajaan Sriwijaya di Nusantara. Peran Sriwijaya di Nusantara dapat dirangkum menjadi 5 poin: sebagai kerajaan maritim pertama di Nusantara, kerajaan pertama berlandaskan agama Buddha sekaligus salah satu pusat perkembangan agama tersebut, cikal-bakal nasionalisme yang terlihat dari penggunaan bahasa Melayu kuno dalam salah satu prasasti peninggalannya, satu-satunya kerajaan yang tercatat di dua sumber dari jauh (India dan Cina), serta pendukung kesenian bergaya Syailendra. Khususnya pada poin kedua, ditekankan bahwa Buddhadharma di Sriwijaya bukan hanya agama impor yang diikuti begitu saja oleh penduduk, melainkan menjadi sebuah ilmu filsafat yang dipelajari secara mendalam dan dikembangkan lebih jauh. Ini diperkuat oleh keberadaan kompleks biara Muaro Jambi, sebuah biara universitas dengan sistem serupa dengan Biara Universitas Nalanda yang merupakan pusat pendidikan agama Buddha terbesar pada zamannya. Dalam sistem tersebut, biksu-biksu menjadi filsuf yang mempelajari, merenungkan, dan memeditasikan Buddhadharma sehingga menghasilkan karya-karya yang membantu membawa pencerahan bagi orang banyak. Sistem yang sama ini dibawa kembali ke Tibet oleh Guru Atisha setelah berguru kepada Swarnadwipa Dharmakirti, pangeran Sriwijaya yang akhirnya menjadi guru Buddhis agung. Dengan kata lain, pengaruh Sriwijaya dalam hal pengembangan Buddhadharma amat penting dan tak tergantikan serta menjangkau amat jauh, melebihi India, Cina, hingga mencapai Tibet.
Seminar ini sungguh membuka wawasan mengenai betapa besarnya bangsa kita sejak zaman dahulu kala. Kita juga jadi mengetahui banyak sekali bukti yang mendapat penegasan bahwa Buddhadharma merupakan bagian dari warisan Nusantara. Sahabat-sahabat sedharma wajib berbangga akan fakta ini! (KC)
Foto-foto: