Oleh Pema Chödrön
Secara tradisional, kemalasan diajarkan sebagai salah satu penghalang pencerahan. Ada bermacam jenis kemalasan. Pertama, ada rasa malas yang didasari kenyamanan. Kita berusaha tak keluar dari zona nyaman. Kemudian, ada pula rasa malas yang didasari hilangnya semangat, yang membuat kita merasa tak termotivasi dan menyerah pada diri sendiri. Ada pula kemalasan yang didasari perasaan tak acuh. Pada titik ini, kita berkeras tak ingin ikut campur dengan urusan pihak lain dan menutup diri.
Orientasi kenyamanan
Orientasi kenyamanan hadir dalam beragam bentuk pula. Dalam tulisan Sogyal Rinpoche, contohnya, dikatakan bahwa di Timur kemalasan hadir dalam bentuk berkumpul-kumpul dengan teman, minum teh, bersantai sepanjang hari. Di Barat, kemalasan justru hadir dalam bentuk ketergesaan. Orang-orang terburu-buru melakukan satu hal ke hal lain, dari sasana olahraga ke kantor ke bar ke pegunungan ke kelas meditasi ke bak cuci di dapur, ke halaman belakang, lalu ke klub malam. Kita terus, terus, terus berusaha mencari kenyamanan dan kemudahan.
Entah kita berlambat-lambat atau terburu-buru, atau di belahan dunia manapun kita berada sekarang, kemalasan dilandasi oleh rasa nyaman dan dicirikan oleh kesengajaan untuk tak peduli. Kita mencari ketidaktahuan, sebuah kehidupan yang tak melukai, tak menyulitkan, tak menimbulkan keraguan ataupun keresahan pada diri. Kita ingin beristirahat dari diri sendiri dan kehidupan yang kita jalani. Melalui kemalasan, kita mengejar rasa lenggang dan lega. Tapi, menemukan apa yang kita cari dengan cara ini ibarat meminum air garam, karena kehausan kita akan kenyamanan dan kemudahan takkan terpuaskan.
Kehilangan semangat hidup
Kemalasan yang didasari hilangnya semangat hidup dicirikan oleh kerentanan, trauma, dan ketidaktahuan harus berbuat apa. Kita berusaha menjadi diri sendiri namun hasilnya tak memuaskan. Diri kita saat ini tak terasa cukup. Kita mengejar kesenangan namun tak menemukan apapun yang bertahan lama. Kita meminta istirahat, pergi berlibur, belajar meditasi, mendalami ajaran spiritual, atau mendedikasikan banyak waktu merenungi pandangan politik dan filsafat tertentu. Kita telah membantu kaum papa atau menyelamatkan lingkungan atau minum-minum dan mencoba narkotika, namun kita tak juga merasa puas. Kita mencoba dan gagal hingga akhirnya mencapai tempat yang gelap dan menyakitkan. Kita tak lagi ingin bergerak, serasa lebih baik tidur ribuan tahun. Kehidupan kita terasa hampa. Kita begitu putus asa hingga kelu rasanya.
Bukan Urusan Saya
Ini adalah bentuk ketidakpedulian yang lebih fatalistik dan dingin. Sosok kemalasan yang ini dipenuhi sinisme dan kepahitan. Kita merasa kita sama sekali tak bisa peduli lagi. Kita merasa malas dan dengki di waktu yang sama. Kita merasa dengki pada dunia yang menyedihkan dan mengecewakan ini, pada si A dan si B. Utamanya, kita merasa dengki pada diri sendiri. Kita telah melakukan kesalahan, apapun itu, tapi kesalahan ini begitu besarnya sehingga kita kini merasa bahwa segala sesuatu bukan urusan kita lagi! Kita berusaha melupakannya dengan segala cara. Kita berhenti melakukan banyak hal, karena toh kita tak bisa berbuat banyak. Lagipula, itu bukan urusan kita, kan.
Apa yang Harus Dilakukan?
Manusia seolah lahir dengan asumsi bahwa kita harus melenyapkan kelemahan kita; sebagai seseorang yang mampu dan berharga, kita harus dapat melampaui kelemahan-kelemahan kita begitu saja. Mungkin, hal yang pantas dilakukan sesuai cara orang dewasa adalah meledakkan kemalasan dengan bom atau menjatuhkannya ke Samudera Atlantik dengan pemberat yang amat besar sehingga Ia takkan lagi muncul, atau mengirimnya ke ruang angkasa sehingga ia akan melayang selamanya dalam kehampaan dan kita takkan pernah perlu berurusan dengannya lagi.
Namun kita perlu menanyakan pada diri sendiri. Dari mana kebahagiaan muncul? Dari mana inspirasi muncul? Kita akan menemukan bahwa mereka tak muncul dari membuang ini-itu, membelah diri sendiri menjadi dua, atau mati-matian melawan sembari menghabiskan tenaga sendiri. Mereka tak muncul dari memandang kemalasan sebagai musuh atau sesuatu yang harus dilampaui. Mereka tak muncul dari upaya merendahkan diri sendiri.
Jalan menuju pencerahan adalah sebuah proses belajar, secara perlahan, untuk mengakrabi ‘halangan-halangan’ yang muncul. Maka dari itulah, daripada dikecewakan oleh kemalasan, kita bisa memperhatikannya lebih dekat dan membangkitkan rasa ingin tahu terhadapnya, sehingga akhirnya kita bisa mengenalnya dengan baik.
Kita dapat bersatu dengan kemalasan, menjadi kemalasan kita sendiri, mengetahui bau dan rasanya dalam badan kita. Perjalanan spiritual adalah proses untuk bisa sungguh-sungguh merasa nyaman pada saat ini. Kita berusaha terhubung dengan momen kelesuan atau hilang semangat ini, dengan momen rasa sakit, penghindaran, dan sikap tak peduli ini. Kita menghubungkan diri dengan semua perasaan ini, kemudian melepasnya. In adalah sebuah latihan. Baik dalam meditasi formal atau dalam siang-malam yang kita lewati, kita dapat berlatih untuk berhenti mengomentari diri sendiri dan menghubungkan diri dengan pengalaman yang dirasakan tanpa tersangkut ke alur ceritanya. Kita bisa meresapi momen saat ini dan membiarkannya pergi.
Kita bisa jadi tengah duduk bermeditasi atau melakukan kebiasaan sehari-hari, dan tiba-tiba saja kita mendengar apa yang sedang diri kita katakan. Yang kita dengar adalah, “Hoi oi, hoi oi, inilah aku, seorang yang gagal. Tiada harapan”. Lihatlah apa yang kita lakukan dan katakan pada diri sendiri, bagaimana kata-kata ini menghilangkan semangat hidup atau mencoba mengalihkan perhatian kita. Kemudian, biarkan kata-kata ini pergi menyentuh hati kita saat ini. Sentuhlah momen keberadaan saat ini, lalu biarkan ia pergi. Beginilah cara kita berlatih. Lagi dan lagi, inilah praktik kita.
Kita memulihkan semangat hidup dengan kejujuran dan kebaikan. Kita tak kabur dari sakitnya kemalasan, namun malah bergerak mendekat. Kita membungkukkan badan pada arusnya, berenang ke arahnya.
Di tengah proses penyatuan diri dengan saat ini, mungkin kita akan tersadarkan bahwa di luar sana ada banyak saudara/i kita yang juga tengah menderita. Dengan mengakrabi rasa sakit dan malas yang kita alami, kita mendekatkan diri dengan mereka semua, mengetahui, dan mengerti bagaimana kita semua terhubung.
Kita duduk di depan televisi, makan keripik, minum bir, merokok. Selama berjam-jam kita hanya duduk diam. Lalu, tiba-tiba kita melihat diri kita sejelas-jelasnya. Kita dapat memilih makan bungkus keripik ke-10 dan menonton sinetron ke-16, atau memahami rasa tertekan dan malas yang kita alami dengan jujur dan terbuka. Kita meresapi perasaan dan merasa nyaman, bukannya terus-menerus menutup diri dan pura-pura tak tahu. Beginilah caranya berlatih.
Bisa jadi kita tengah membuka jendela atau berjalan-jalan keluar, atau duduk dalam diam, namun apapun yang kita lakukan, kita sadar untuk tetap mawas diri, untuk melampaui kata-kata dan rasa tak peduli, untuk sungguh-sungguh merasakan momen saat ini di hati kita, di perut kita, untuk diri sendiri dan jutaan orang yang juga mengalaminya. Kita mulai melatih keterbukaan dan welas asih terhadap momen saat ini. Momen saat ini menjadi tahap yang memulihkan dan menggugah. Seketika itu juga, momen kemalasan menjadi guru pribadi kita.
(Sumber: Lionsroar.com | Diterjemahkan oleh Lisa Santika Onggrid)