Data buku:
Judul :Bebas di Pengasingan
Penulis :Dalai Lama
Ketebalan Buku : v + 386 hlm
Dimensi buku :21×14.5×2.5 cm
Cetakan : I
Tahun Terbit :April 2011
Lihat di toko
Bebas di Pengasingan adalah memoar kedua dari Dalai Lama, setelah Negeriku dan Rakyatku. Terbit tahun 1991, ada gap sekitar 29 tahun antara buku ini dan buku yang pertama, yang pada gilirannya membuat Bebas di Pengasingan tampil sebagai semacam memoar versi panjang dari Negeriku dan Rakyatku. Buku ini masih disebut sebagai memoar, berhubung beberapa aspek dan peristiwa dari buku pertama kembali ditulis di sini, seperti bagaimana Dalai Lama terlahir dalam sebuah keluarga petani yang sederhana, bagaimana ia dikenali sebagai reinkarnasi dari Dalai Lama ke-13, hubungan Tibet yang tegang dengan Cina, dan kehidupannya dalam pengasingan di India. Tujuan pengulangan ini mungkin untuk menyajikan latar pergumulan bangsa Tibet melawan (apa yang mereka pahami sebagai pendudukan oleh) Cina bagi pembaca yang belum sempat membaca buku pertama.
Satu tambahan yang terdapat dalam buku kedua adalah soal bagaimana Dalai Lama berusaha membandingkan antara tradisi Buddhisme-Tibet yang tradisional dan tradisi Barat yang modern, seraya menunjukkan gap antara dunia Timur dan Barat ini. Mengikuti harapannya agar umat manusia keluar dari sekat-sekat agama untuk menyasar sebuah semangat kemanusiaan yang universal, Dalai Lama menelusuri aneka kesamaan antara agama dan sains (atau nilai-nilai Barat), bahkan sampai ke tahap ‘melucuti’ agama dari mistisismenya (kalau perlu). Di sisi lain, beberapa aspek dari budaya Barat juga tak bebas dari kritikan. Misalnya gaya hidup individualis di Barat, di mana orang-orang tampaknya “hanya mampu menunjukkan perasaan mereka yang sebenarnya pada anjing atau kucing peliharaan mereka”. Di sini, Dalai Lama melihat bahwa Timur dan Barat semestinya bisa saling melengkapi.
Tambahan lainnya yang penting dalam buku kedua ini adalah ihwal kritik Dalai Lama soal keterlibatan CIA dalam gerakan kemerdekaan Tibet yang memakan banyak korban jiwa. Menurut Dalai Lama, CIA terlibat bukan karena peduli terhadap rakyat Tibet, melainkan karena mereka ingin menggerus semua negara komunis di dunia. Lagipula, gerakan kemerdekaan macam ini bertentangan dengan keyakinan Dalai Lama akan paham non-kekerasan, yang terinspirasi oleh Mahatma Gandhi. Sebagai tambahan, dalam bab terakhir buku ini, Dalai Lama juga menjelaskan rencananya bagi masa depan Tibet berikut harapannya agar Tibet kelak bisa menjadi zona perdamaian dan cagar alam terbesar di dunia.
Sebagai memoar kedua, Bebas di Pengasingan mencakup semua kisah yang terdapat dalam memoar pertama dalam satu sapuan yang ringkas namun padat (tentunya dengan menghilangkan detail-detail yang teknis). Namun, mengatakannya sebagai ringkasan juga tak terlalu tepat, karena ada kebaruan dan perspektif yang lebih personal dalam penyajiannya. Misalnya, ketika sedang menimbang-nimbang untuk melarikan diri ke India, Dalai Lama sempat terpikir untuk mengundurkan diri dari jabatannya agar konfrontasi dengan Cina bisa dihindari (bila, misalnya, ia tiba di India sebagai warga Tibet biasa alih-alih pemimpin mereka, tentu ada kemungkinan bahwa Cina takkan bereaksi dengan keras) – detail-detail baru yang demikian tak tercantum dalam buku pertama.
Secara keseluruhan, memoar kedua Dalai Lama bersifat sangat personal, di mana Tibet di sepanjang abad ke-20 diteropong dengan sudut pandang orang pertama (bukan sembarang orang, melainkan pemimpinnya sendiri). Dengan keunikan dan keintiman sudut pandang ini, buku Bebas di Pengasingan adalah perpaduan menarik antara biografi, sejarah, dan renungan.