A Space for The Unbound (ASFTU) karya Mojiken Studio adalah salah satu video game asli Indonesia yang paling ditunggu-tunggu. Selain menarik perhatian pecinta game dalam negeri dengan latar kota kecil di Indonesia era 90-an lengkap dengan pengalaman-pengalaman khas era tersebut, ASFTU juga sudah menyabet berbagai penghargaan internasional. Terlepas dari itu semua, memainkan game ini bagi saya merupakan pengalaman istimewa yang sarat nilai Dharma.
Dalam ASFTU, kita berperan sebagai Atma, pemuda kelas 3 SMA yang “bermimpi” mendapatkan kekuatan untuk menyelami “ruang” batin orang lain. Ketika ia “bangun”, Atma dan pacarnya, Raya, mengalami berbagai kejadian supranatural dan ancaman kiamat yang harus ia hadapi dengan kekuatan barunya itu. Sepanjang permainan, kita bertualang bersama Atma ke dalam batin warga Kota Loka sambil berusaha menguak misteri tentang Raya dan gadis kecil bernama Nirmala yang merupakan teman dekat Atma dalam mimpinya.
Seiring dengan berjalannya cerita, nilai Dharma yang saya temukan lebih dari sekadar “pesan moral” seperti jawaban ujian bahasa Indonesia. Nilai ini disampaikan lengkap dengan “rasa” seputar betapa sulit menerapkannya di dunia nyata beserta alasan mengapa kita tetap harus memperjuangkannya dan apa yang kita butuhkan untuk bisa terus berjuang.
Semuanya Saling Bergantung
Saya selalu merasa bahwa semua game naratif, termasuk ASFTU, adalah simulasi hukum karma dan kesalingbergantungan. Dalam permainan seperti ini, pemain memengaruhi apa yang terjadi dalam cerita dengan berbagai macam pilihan tindakan maupun dialog. Kadang pilihan-pilihan ini menjadi sebab yang “berbuah” menjadi percabangan cerita. Kadang pilihan-pilihan ini hanya menimbulkan perubahan-perubahan kecil. Dari situ, pemain jadi terbiasa berpikir bahwa apapun yang dilakukan akan mendatangkan konsekuensi. Dalam ASTFU, pilihan-pilihan kita tidak sampai banyak mengubah alur cerita, tapi cerita tidak akan berlanjut jika kita tidak mengambil langkah tertentu. Dari situ saja kita bisa merasakan langsung bahwa apa yang kita harapkan hanya bisa tercapai jika kita bertindak.
Lebih jauh, ASFTU menunjukkan kepada kita bagaimana pribadi seseorang tidak “jadi” dengan sendirinya, melainkan bergantung pada banyak faktor–orang tua, teman-teman, pengalaman, dan banyak lagi. Inilah yang kita lihat setiap kali melakukan spacedive–sebutan untuk kemampuan Atma memasuki ruang batin orang lain. Selain si pemilik batin, kita akan bertemu dengan orang-orang atau kejadian yang amat membekas sehingga berpengaruh pada diri mereka sekarang.
Baca juga: Pratityasamutpada: 12 Mata Rantai yang Saling Bergantungan
Saling Memahami, Kunci Welas Asih
Kita pasti pernah bertemu orang yang kita rasa “aneh” atau “tak masuk akal”.Tak jarang orang-orang seperti ini menjadi bulan-bulanan publik, terlepas dari keanehnya itu baik, buruk, atau biasa saja. Tokoh-tokoh dalam ASFTU juga mengalami hal yang sama sampai pemain masuk ke dalam batin mereka dan melihat apa yang terjadi di dalam. Pemahaman kita terhadap orang itu berdasarkan apa yang kita lihat (dan lakukan) dalam ruang batin para tokoh ini akan menjadi petunjuk untuk membantu mereka.
“Saling memahami” di sini juga menjadi elemen kunci untuk mengurai semua konflik. Perjalanan ke dalam batin yang terakhir dalam game ini secara khusus menggambarkan bagaimana memahami orang lain dapat menjadi langkah awal untuk memulihkan luka batin. Menyadari bahwa orang-orang yang pernah menyakiti kita, tidak kita sukai, atau berbeda dengan kita pada dasarnya punya kesamaan dengan kita, yaitu sama-sama ingin bahagia, bisa membantu kita untuk melepaskan kebencian. Dalam permainan ini, kita bisa melihat bahwa ini bukan hanya bisa menolong diri kita sendiri, tapi juga menolong orang lain tersebut.
Di dunia nyata, kita tentunya tidak punya kemampuan memasuki batin orang lain. Namun, kita bisa tetap berusaha memahami orang lain dengan berbagai cara. Kita bisa mulai dengan berkomunikasi untuk lebih mengenal orang lain, lalu mencoba untuk menempatkan diri kita di posisi mereka. Pemahaman yang kita dapat bisa kita bawa saat menyelami batin kita sendiri.
Misalnya, ketika kita tidak menyukai seseorang, kita bisa mulai dengan bertanya pada diri kita: kenapa tidak suka padanya? Bagian apa dari dirinya yang tidak kita sukai? Kenapa dia bisa seperti itu? Apakah dia selalu seperti itu? Di sinilah pemahaman kita tentang orang tersebut bisa berguna. Kita akan menemukan bahwa di balik sikapnya yang menyinggung kita, dia hanya sedang berusaha untuk bahagia, sama seperti kita. Kita pun pasti pernah melakukan hal yang sama. Ketika kita bisa melihat kesamaan itu, kebencian kita akan berkurang. Penderitaan kita pun akan berkurang.
Ini merupakan salah satu cara menyetarakan diri kita dengan orang lain yang diajarkan sang Buddha sebagai langkah awal dalam tahapan mengembangkan welas asih universal. Kalau terus dilatih, cara kita memandang dunia akan berubah. Bukan hanya orang yang dekat dan baik pada kita, kita akan merasakan kedekatan dengan semua makhluk, baik yang tak dikenal maupun yang membenci kita. Perasaan ini akan menjadi bahan bakar bagi kita untuk melampaui segala macam kesulitan dan kesedihan dan berjuang sampai bisa meraih kebahagiaan sejati.
Baca juga: Hati Tanpa Gentar: Berani Berwelas Asih untuk Mengubah Hidup
Pentingnya dan Sulitnya Bersabar
Je Tsongkhapa dalam Risalah Agung Tahapan Jalan Menuju Pencerahan menjelaskan ada 3 jenis kesabaran yang perlu kita sempurnakan untuk mencapai pencerahan (kshanti paramita): kesabaran melawan kemarahan, kesabaran menahan penderitaan, dan kesabaran dalam upaya praktik Dharma.
Baca juga: Kesabaran Penawar Kemarahan
ASFTU menggambarkan kesabaran jenis pertama secara gamblang. Kita kadang sering salah memahami “bersabar” sebagai tindakan instan, menyamakannya dengan sekadar menahan diri untuk tidak bereaksi “marah” secara fisik ataupun verbal. Namun, game ini berhasil menunjukkan bahwa bersabar melawan kemarahan adalah upaya mental aktif yang butuh waktu, dimulai dengan melangkah mundur sambil merenungkan kerugian dari kemarahan itu sendiri.
Langkah selanjutnya adalah memahami bahwa orang lain menyakiti kita karena mereka didorong oleh karma dan klesha (kotoran batin) mereka. Dalam ASFTU, kita bisa “mengalami” proses ini berulang kali sepanjang permainan melalui mekanisme spacedive. Seperti yang sudah dibahas di bagian sebelumnya, PR kita adalah berlatih melakukan spacedive ke batin kita sendiri untuk mengatasi kemarahan di dunia nyata.
Kesabaran jenis kedua, yaitu kesabaran untuk menahan penderitaan, mungkin bisa menjadi “ringkasan” untuk keseluruhan cerita ASFTU. Ini semakin kentara menuju akhir (dan pastinya sayang kalau di-spoil di sini). Satu lagi kesalahpahaman terkait kesabaran yang “diluruskan” di sini adalah pandangan bahwa bersabar sama dengan bersikap pasif. Seaneh dan sesulit apapun situasi yang dihadapi Atma, ia selalu berusaha mencari jalan keluar. Kita sendiri sebagai pemain mungkin akan lebih dari sekali kesulitan dengan minigame atau puzzle tertentu. Upaya kita untuk tidak berhenti bermain, mencari tahu kenapa kita kesulitan, dan mencari cara untuk menyelesaikannya juga merupakan satu bentuk kesadaran. “PR” kita adalah berupaya untuk menerapkan kesabaran ini ketika penderitaan nyata melanda kita dalam kehidupan sehari-hari.
Bagaimana dengan kesabaran yang terakhir? Ini kan bukan game Buddhis, mana mungkin ada cerita tentang kesabaran dalam praktik Dharma? Eits, kalau kita berpikir seperti itu, artinya kita yang salah memahami apa itu praktik Dharma. Kita perlu ingat bahwa Buddha mengajari kita untuk meraih kebahagiaan sejati dengan mengubah cara pandang kita, dari yang tercemar menjadi murni dan mampu mencerap semua fenomena sebagaimana adanya. Bab-bab terakhir game ini menunjukkan betapa sulitnya proses tersebut. Kadang kita berjuang mati-matian, tapi hanya mendapatkan sedikit kemajuan atau bahkan gagal sama sekali dan harus mengulang dari awal. Kadang kita buah karma buruk kita begitu berat dan tak bisa kita lawan sehingga kita harus bersabar dan menunggu sebelum bisa kembali melangkah maju. Di perjalanan itu, kita harus mengakui hal-hal yang tidak menyenangkan dan bertemu dengan hal-hal yang terasa menyakitkan.
Tidak berhenti sampai menunjukkan betapa sulitnya mengembangkan batin, ASFTU menunjukkan apa yang akan kita dapat jika kita terus berjuang, yaitu kesempatan untuk berbahagia dan penghargaan atas kelahiran kita sebagai manusia. Bukankah itu juga yang seharusnya kita perjuangkan dengan praktik Dharma?
“Rasa” dari Keyakinan
Abhidhamma menjelaskan bahwa ada 11 faktor mental bajik yang bermanfaat bagi hidup kita. Salah satu faktor mental yang paling penting adalah keyakinan–khususnya keyakinan terhadap Triratna.
“Keyakinan adalah pelopor, dan, ibarat seorang ibu, sang penghasil
Ratnolka dharani
Ia menjaga dan meningkatkan segala kualitas unggul.
Ia mengenyahkan keraguan dan membebaskanmu dari keempat sungai besar.
Keyakinan menandakan kota kebahagiaan dan kebajikan.”
Kita mungkin berpikir, “Aku sudah yakin kok sama Triratna! Buktinya aku sudah ikut upacara Tisarana, punya kartu identitas agama Buddha, rajin ikut kebaktian.” Tentunya yang seperti ini tidak termasuk dalam tiga jenis keyakinan yang perlu kita kembangkan.
Kisah ASFTU bermula dari keyakinan salah satu tokoh terhadap tokoh yang lain. Tokoh itu begitu yakin bahwa sosok yang dia yakini ini bisa menyelamatkannya. Kita bisa menyaksikan keyakinan yang berlandaskan pada obsesi berubah seiring dengan si tokoh melihat welas asih, kesabaran, dan perjuangan tokoh yang dia yakini untuk menolongnya.
Tak sedikit umat Buddha dan “penggemar” Buddhisme yang berpikir bahwa Buddhisme adalah “sains” yang tidak membutuhkan keyakinan. Mereka berpendapat bahwa Buddha sudah mati meninggalkan setumpuk kitab. Mereka berpikir kita hanya perlu mengandalkan diri sendiri untuk memahami Dharma dan menggunakannya untuk berjuang sendiri untuk mencapai pembebasan. Namun, bukankah aneh jika Buddha berjuang selama jutaan kalpa untuk mencapai pencerahan hanya untuk mengajar selama beberapa puluh tahun saja? Di sisi lain, Buddha tidak bisa mencuci dosa kita dengan air atau memindahkan kita ke surga untuk bersenang-senang selamanya.
Baca juga: Hai, Bambank, Buddha di Altar Bukan Cuma Patung Pajangan!
Di penghujung ASFTU, si tokoh tetap harus berjuang untuk keluar dari penderitaan dengan kemauan dan upayanya sendiri, tapi sosok yang ia yakini selalu hadir meski tak selalu tampak. Sosok itu menjadi sumber kekuatan dan harapan yang membantu si tokoh agar dapat terus berjuang. Bagi seseorang yang kagum pada Buddha dan ingin mengikuti jejaknya, kita mungkin bisa mulai dengan membangun keyakinan seperti ini pada sosok Buddha. Setelah mengetahui segala upaya yang Beliau lakukan demi kepentingan semua makhluk termasuk kita, kita bisa mengandalkan Beliau untuk senantiasa hadir untuk menuntun dan menemani kita di setiap langkah menuju kebahagiaan.
Penutup
Ketika dilakukan untuk menyelami batin sendiri, saya menginterpretasikan “spacedive” sebagai proses perenungan, tahapan penting dalam proses belajar, merenung, dan meditasi untuk mengembangkan batin yang diajarkan oleh Raja Je Tsongkhapa. Dalam proses ini, pemahaman Dharma yang diperoleh dari belajar “dipertemukan” dengan pengalaman pribadi dan perasaan yang tersimpan di dalam batin. Dari proses itu, kita akan menemukan kaitan langsung antara Dharma dan kehidupan kita. Kita akan menemukan bagaimana Dharma bisa mengatasi berbagai persoalan yang kita hadapi dan membantu kita untuk menjadi lebih bahagia.
Cuap-cuap saya dalam tulisan ini adalah hasil dari percobaan saya melakukan “spacedive” ke batin saya sendiri setelah memainkan A Space for the Unbound. Kira-kira apa yang akan kamu temukan dari menyelami batinmu?
Game “A Space for the Unbound” bisa dimainkan di Nintendo Switch, PS4, PS5, dan komputer melalui platform Steam.